Chereads / Menyembuhkan Luka / Chapter 14 - sang obat menyapa

Chapter 14 - sang obat menyapa

gemuruh petir di pagi hari, membuat Dayana semakin bersemangat untuk kembali tidur, karena situasi hatinya pun tidak bagus untuk beraktivitas.

suasana dingin semakin mendukung matanya untuk terpejam, namun,

"DAAAAAAAY!"

suara teriakan dari depan pintu kamarnya, mengacaukan harapan pagi seorang Dayana Halim.

helaan napas keluar begitu saja, dari mulut perempuan yang masih telentang di bawah selimutnya.

"DAYANAAAAAA!" teriak Aksa lagi dengan semangat, sembari mengetuki pintu kamar adik kesayangannya itu.

"DAYANA BUKA PINTUNYA DONG DEK!" teriaknya tanpa henti, dan kali ini membuat Dayana menyibak selimutnya kasar.

"bisa-bisanya dia dateng pas gue mau tidur lagi!" gerutunya sambil berjalan.

"apaan?!" tanya Dayana saat membuka pintu dan menemukan Aksa yang tengah berdiri seraya tersenyum lebar.

"jalan yuk?"

"jalan? gila lo! ini masih pagi buta dan lagi hujan juga!"

"santai dong, gue 'kan ngajaknya jalan pake mobil, bukan jalan yang lo maksud jalan kaki, princess." balas Aksa dengan hati-hati, agar tidak membuat suasana hati sang adik semakin memburuk.

"mau jalan pake apa pun itu, gue gak mau, males, pake titik!"

saat hendak masuk dan menutup pintu kamarnya, Aksa berhasil mencekal lengan Dayana, lalu menariknya keluar kamar.

"ih apaan sih lo! gue 'kan, gak mau!" desis Dayana yang mencoba melepaskan cekalan Aksa,

namun, tenaganya tidak sebanding dengan pria yang sedang menyeretnya ke depan rumah.

"sumpah ya lo emang manusia paling nyebelin dari semua spesies manusia di bumi ini!" gerutunya tanpa memedulikan Aksa.

"udah diem, gak usah banyak omong." sahut Aksa datar, membuat Dayana langsung terdiam.

paling males kalo dia udah mendadak datar gini. batin Dayana yang rasanya ingin menangis.

takut, sebenarnya.

"bentar." ucap Dayana, menghentikan langkah keduanya di tengah rumah.

"semuanya pada pergi ke Bali, kecuali kita sama Kak Tama." kata Aksa tepat menjawab semua kebingungan Dayana, saat melihat rumah sangat sepi.

tidak seperti hari libur biasanya.

kedua bola mata Dayana membulat, mendengar perkataan Aksa beberapa saat yang lalu.

"BALI? KOK GUE GAK TAHU?! KAPAN MEREKA BERANGKATNYA? TERUS KOK GU--" Aksa langsung membekap mulut sang adik yang mulai balik seperti Dayana pada mulanya.

"stttt, berisik! salah lo sendiri, semalem malah ngunci diri di kamar." sela Aksa yang sudah melepas bekapannya.

Dayana memajukan bibirnya, seperti kartun bebek yang tak lekang dimakan waktu.

dirinya menangis semalaman, hingga tertidur pulas, bahkan orangtua dan kakak pertamanya yang mengetuk sembari memanggilnya dari balik pintu kamarnya pun, tidak terdengar oleh anak bungsu itu.

saat mereka hendak memberi kabar pamit untuk berlibur.

tapi ya, memang seperti kata Aksa tadi, adiknya itu terlalu larut dalam emosinya, sampai tak sadar dengan hal penting yang ia lewatkan.

"udah, gak usah ngerajuk gitu, mending kita jalan sekarang."

"yaudah jalannya ke Bali aja."

Aksa langsung memutar kedua bola matanya. "yaudah lo pergi sendiri sono, kalo gak inget sama kerjaan."

"ah iya, deadline gue." cetusnya sembari menepuk dahi.

"mending lo mandi, abis itu kita pergi, kasian tuh kakak lo udah siap pergi." ujar Aksa yang tepat dengan munculnya Tama dari lantai atas.

"kakak lo juga kali!" cibir Dayana yang berlalu menuju kamarnya lagi, lebih tepatnya untuk mandi.

"kirain gak jadi." seru Tama, membuat Dayana nyengir dan berlari ke arah kamarnya,

sementara Aksa hanya menunjuk ke arah si penyebab 'ngaret' perginya tiga saudara itu.

"yaudah kita sarapan dulu." kata Tama yang berlalu begitu saja menuju ruang makan yang memang selalu tersedia roti juga kawanannya.

"yaudah kita sarapan dulu." cibir Aksa yang mengikuti perkataan Tama.

kakak beradik itu, kini sudah sampai di sebuah tempat yang nyaman untuk menenangkan diri sejenak dari hiruk-pikuk dunia mereka.

Dayana tak bisa melewatkan pemandangan indah dengan hamparan pepohonan rindang nan hijau, yang menyejukkan mata dan hatinya yang juga sedang tidak baik-baik saja.

dan ya, mereka pergi ke suatu tempat indah di kota kembang, Bandung.

"siapa yang tahu tempat ini?" tanya si bungsu membuat dua kakaknya itu menoleh.

"siapa lagi, kalo bukan gue." jawab Aksa sendiri yang terdengar bangga.

"gak aneh sih, kalo Kak Tama yang rekomendasi sih baru aneh." balas Dayana membuat Tama hanya tersenyum tipis mendengarnya.

bagaimana tidak aneh, Tama termasuk manusia yang jarang sekali bepergian, kecuali acara keluarga, itu pun harus disesuaikan dengan jadwalnya.

ya kalau tidak sesuai dengan jadwalnya, mau tak mau hanya dia sendiri yang harus ditinggalkan.

karena sibuk dengan mengejar pendidikannya sejak jaman sekolah hingga kuliah dan kuliah terus.

namanya juga dokter.

begitulah kehidupan seorang Diratama, masih untung bisa dipertemukan lagi dengan Indira yang itu pun pertemuan tak sengaja.

saat menikmati makanan yang sudah dipesan Aksa, perempuan bernama Dayana, kini sedang sibuk dengan ponselnya.

karena dia sedang melihat hasil jepretan foto yang diambil Tama.

orang yang selalu berhasil membuatnya berdecak kagum, dengan hasil jepretannya.

tiba-tiba.

trining.

suara notifikasi pesan masuk pada ponsel Dayana, membuat matanya membulat saat melihat nama si pengirim pesan itu.

nama yang beberapa hari ini membuat dirinya merasa tidak baik-baik saja.

senyuman yang hilang, terbit lagi hingga kentara lebar.

membuat Tama dan Aksa saling melempar tatapan.

jarinya dengan cepat membuka aplikasi pesan singkat itu.

Praha H.

hi dayana! apa kabar? maaf saya baru bisa mengabarimu skrg :)

lagi-lagi Dayana semakin melebarkan senyumnya, membuat dua kakaknya itu bergidik ngeri.

"sembuh udah dia." kata Aksa yang membuat Tama terkekeh.

"obatnya baru kasih kabar." sahut Tama yang langsung disetujui Aksa.

"kalo itu manusia balik, gue langsung interogasi dia." ujar Aksa membuat Tama menatapnya.

"gue gak bisa nahan lagi, gue mau nanya keseriusan dia sama adek kita ini." jelas Aksa dengan penuh keyakinan.

dan Tama hanya terdiam sambil berpikir, apa yang harus dia lakukan untuk kedua adiknya.

Dayana? dia sibuk dengan dunianya yang mendadak jadi hamparan bunga bermekaran.

dering ponsel Dayana membuat dirinya sendiri terkejut, karena itu adalah panggilan dari Pra.

"udah angkat aja elah." seru Aksa, dan Dayana langsung beranjak dari duduknya, berlalu ke tempat yang sedikit jauh jaraknya dari kedua kakaknya.

"Dayana?" suara yang lama tidak terdengar dan suara yang selalu membuat namanya makin terdengar indah, akhirnya terdengar lagi dalam pendengaran Dayana.

adem. kalau dalam batin Dayana.

Dayana berdeham sejenak, menghilang rasa aneh yang tiba-tiba menyerbu dadanya.

"hi Pra!" sahut Dayana pada Pra yang entah masih di Semarang atau sudah balik ke Jakarta.

"apa kabar kamu?" tanya Pra dalam versi langsungnya.

refleks Dayana menepuk dahinya, karena tadi hanya membaca tanpa membalas pesan dari si penelfon.

"halo Dayana?"

"ah iya, kabar saya baik, gimana kabarmu?"

terdengar suara dehaman yang sangat kecil, namun Dayana masih mampu mendengarnya.

"kabar saya baik."

"oh iya, saya dengar ibu kamu sakit? gimana keadaannya sekarang? by the way ada salam juga dari orangtua saya untuk ibu kamu, katanya lekas sembuh." panjang dikali lebar sekali ya Dayana.

tanpa Pra sadari, dirinya masih tersenyum dari awal sambungan panggilannya diangkat Dayana.

"iya, tapi sekarang ibu dalam tahap pemulihan dan mulai membaik lagi, nanti saya sampaikan ya, omong-omong terimakasih untuk doanya."

"alhamdulillah kalo sudah mulai pulih lagi, iya sama-sama Pra."

tiba-tiba, Pra mengaruk dahinya yang tak gatal. "lusa, sepulang kerja, kamu gak ada kegiatan lain, 'kan?"

.

.

.

.

.

TBC