"pagi Dayan!" sapa Anggi yang baru saja sampai di kantor.
Dayana yang sudah sampai setengah jam yang lalu itu, berjalan santai menuju mejanya yang baru saja selesai membuat lemon tea hangat untuk dirinya sendiri.
"tumben pagi mbak, bareng siapa ke sininya?" tanya Dayana, padahal dia sendiri sudah tahu jawabannya.
"kamu udah sarapan belum?" Anggi mengalihkan pembicaraan Dayana.
"eh ada Mas Gibran, tumben nih dateng ke sini." seru Dayana saat melihat Gibran memasuki kantor mereka.
"gue mau bicara sama atasan lo Day." sahut Gibran yang berjalan menuju meja Dayana yang mana ada Anggi juga di situ.
Dayana hanya bisa tersenyum jahil saat melihat atasannya dengan kakak tingkatnya itu saling salah tingkah.
"ada perlu apa?"
"apa bisa kita bicara di ruangan kamu?" Anggi menganggukkan kepalanya, dan keduanya pun berlalu menuju ruangan Anggi.
"wih bau-bau kasmaran nih." cetus Jefri yang sejak tadi mendengarkan obrolan singkat antar ketiga manusia itu.
"dasar tukang nguping lo Jef!"
Jefri berdecak kesal. "ck. bukan tukang nguping, yang ada kalian ngobrolnya ke kencengan, jadi kuping gue bisa mendengarkan semuanya dengan baik Mbak Day."
"sama aja Jefri."
"eh sebentar," Jefri langsung menghentikan langkahnya, dan menoleh ke arah Dayana.
"kenapa mbak?"
Dayana menatap penuh Jefri. "mau sampe kapan lo manggil gue terus dengan sebutan mbak? panas tahu kuping gue dengernya!"
"ya selamanya."
"jangan bilang karena,"
"ya betul seratus persen, karena lo lebih tua dari gue, jadi mau gak mau lo harus menerima ketetapan paten itu." sela Jefri penuh kejelasan.
"paten, paten, lo kira obat sama hak cipta apa paten!" gerutu Dayana yang tak bisa tak mengomel jika berhadapan dengan Jefri.
"terus juga, gue sama lo tuh cuman beda dua tahun doang Jef."
"ya karena itu mbak, kalo gue nurut sama lo soal panggilan, takutnya gue nyaman sama lo, emang mau lo, gue crush-in?"
Sana terkekeh mendengar omongan Jefri yang baginya hanya sebuah candaan.
"mau banget gue di-crush-in sama asisten gue yang super duper famous segedung ini." guyon Dayana yang hanya ditanggapi Jefri dengan gelengan kepala, dan Jefri memilih berlalu menuju pantry.
bagaimana tidak famous dan jadi idola para kaum hawa satu gedung, Jefri termasuk pria idaman yang tampan, mapan, juga menawan.
tampan dengan kesempurnaan segala bentuk dalam dirinya, baik itu wajah dan tubuhnya.
mapan karena dirinya sebenarnya mempunyai usaha sendiri, namun lebih mencintai pekerjaannya sebagai asisten designer, juga terlahir dari sendok emas.
dan menawan, karena pesonanya yang tidak bisa dipungkiri orang-orang saat melihatnya.
sungguh sempurna bukan seorang Jefri Erlangga itu.
sayangnya dia tidak ahli dalam sebuah hubungan.
tapi beda hal lagi dengan penglihatan Dayana, baginya Jefri hanya pria tampan seperti pada umumnya, juga orang yang sangat menyebalkan baginya, tapi masih ada sedikit sisi baiknya.
ya masih ada mendingnya juga.
"eh Mbak Dayana, ada salam tuh dari lantai 19." sampai Andin---pegawai magang yang baru dua minggu lalu bekerja di sana.
"lantai 19? siapa?" tanya Dayana yang bingung.
karena di lantai 19 itu, di mana hanya ada satu perusahaan baru dan itu pun Dayana kurang mengetahuinya.
"kalo gak salah, namanya itu Pak Randi Aditama." jawab Andin.
Dayana terkekeh mendengar nama yang disebut Andin barusan.
"ah ternyata perusahaan baru itu milik dia." gumam Dayana sembari memainkan jarinya di atas meja.
"kenapa mbak?" tanya Andin yang kebingungan.
"oh enggak."
"katanya ada hal yang mau dia bicarakan sama mbak." lanjut Andin.
Dayana mengernyitkan dahinya, setelah mendengar salam yang disampaikan Andin dari mantannya itu.
"yaudah mbak, aku balik ke meja ya soalnya Mbak Rissa minta salinan konsep minggu lalu."
"happy working Din!" kata Dayana yang kembali fokus.
"happy working juga mbak!"
Andin pun berlalu menuju mejanya, sementara Dayana terdiam sejenak, memikirkan salam itu.
"jangan ngelamun mulu lo Day." bisik Gibran yang baru keluar dari ruangan Anggi.
"gak ada kerjaannya ya lo mas!" ujar Dayana yang sama sekali tidak bereaksi sesuai dugaan Gibran.
"besok gue mau nepatin janji gue ke lo San." kata Gibran yang masih berada di meja Dayana.
Dayana menaikkan sebelah alisnya. "janji? janji apa mas?"
"janji yang waktu itu lho." sambil matanya mengarahkan ke ruangan Anggi.
dalam sekali tunjuk, Dayana langsung teringat janji Gibran yang lumayan lama belum ditepati.
"ah iya, iya mas, inget gue sekarang!" Dayana terkekeh mengingat sekarang Gibran dan Anggi sudah dekat, dan katanya mereka hampir menjalin hubungan.
masih hampir ya.
belum jadi.
"see you tomorrow Dayana!" ucap Gibran dan berlalu menuju perusahaannya berada.
"bisa lancar gitu ya, salut gue sama dia." gumam Dayana seraya mengerjakan pekerjaannya.
jam makan siang dimulai, Dayana memilih makan bersama Jefri dan Andin, karena Rissa makan siang dengan pacarnya, sementara Anggi? jelas bersama Gibran.
pendekatan yang benar-benar di gas terus, kalau kata Rissa.
dan sisa pegawai yang lain sudah melipir ke tempat lain.
"Mbak Day, lo gak ada niatan buat ganti nama gitu?" pertanyaan Jefri disela makan mereka membuat Dayana memutar kedua bolanya.
"kenapa gue harus ada niatan ganti nama Jefri Marjefri?"
"lha malah nama gue yang diganti."
"nah gak enak, 'kan, begitu juga dengan pertanyaan lo barusan." cetus Dayana yang melanjutkan makannya.
"bukan gitu maksud gue mbak, nama lo, 'kan kadang bikin orang yang gak kenal suka jadi ambigu gitu." kata Jefri.
"ambigu gimana maksud lo?!" tanya Dayana yang mencoba menahan emosinya.
"ya ambigu, coba deh gue tanya Andin,"
"apanya Mas Jef?" seru Andin yang sejak tadi menjadi penonton antar kedua seniornya.
"nih ya gue mau nanya sama lo, pas awal tahu nama Mbak Day, lo bingung gak sama nama panggilan dia? pernah ambigu gak pas yang lain manggil dia dengan panggilan Day?" tanya Jefri dengan panjang dan jelas.
Andin mengerjapkan kedua matanya saat mendengar pertanyaan yang entah harus dibilang seperti apa, sementara Dayana menggelengkan kepalanya, yang tak habis pikir dengan pemikiran Jefri.
"jawab Din!"
Andin pun mengaruk dahinya yang tak gatal. "mmm, awalnya pas aku belum tahu nama Mbak Dayana, waktu denger Mbak Rissa manggil Mbak Dayana dengan sebutan Day, aku pikir dia lagi nyuruh nyari hari, tapi ternyata itu nama panggilannya,"
"...dan pas Mas Jefri sama Mbak Anggi manggil Mbak Dayana dengan sebutan Mbak Day sama Dayan, terdengar unik buat aku dan itu nama yang gak pasaran buatku, Dayana, malah bagus lagi nama Mbak Day itu." tuntas Andin yang langsung di hadiahi Dayana tepuk tangan kecil untuk merayakan kekalahan Jefri.
"awalnya gue seneng denger Andin sependapat sama gue, tapi ujungnya gue kok malah males ya." sahut Jefri membuat Dayana terbahak.
"kenapa sih lo usil banget sama gue? bahkan nama gue aja lo permasalahkan, orangtua gue udah susah payah nyari nama yang baik dan bagus buat gue, tapi lo malah bilang ambigu, berdosa lo sama bokap nyokap gue Jef!"
"bukan gitu mbak, gue cuman pengen mempermudah aja soal nama lo gitu." bela Jefri yang lalu meneguk minumannya.
"lo ribet bener ya Jef, kayak netizen yang suka ngomen tapi gak ngotak dulu pas ngetik komenannya."
Andin melongo mendengar perbincangan panas antar Dayana dan Jefri, dirinya seperti anak kecil yang berada di tengah orangtuanya yang sedang cekcok rumahtangga karena si istri yang suka tidur lama.
saat saling lempar ujaran satu sama lain, tiba-tiba ada yang menghampiri meja mereka.
"hi Day! ternyata kita ketemu lagi di sini." ucapnya, dan Dayana hanya menatapnya datar.
.
.
.
.
.
TBC