dengan langkah kaki yang tergesa, Malik langsung masuk ke dalam kantor tempat kerjanya Dayana.
"Malik?" panggil Rissa yang memang sudah pernah bertemu dan sedikit tahu tentangnya dari Dayana, termasuk sahabatnya yang lain.
"eh Rissa, Dayana di mana ya?" tanyanya yang terdengar buru-buru.
"dia lagi meeting di luar, sama Mbak Anggi."
"oh, makasih ya." Malik berlalu keluar dan memilih menunggu Dayana di depan kantornya dengan perasaan yang campur aduk.
"kayaknya itu cowok yang tadi nelfon Mbak Dayan." seru Jefri yang memang benar definisi tembok tetangga.
Rissa hanya mengangkat bahunya dan memilih kembali ke mejanya.
Malik yang sejak lima menit lalu menunggu sahabat perempuannya itu di depan kantornya, langsung menghampiri Dayana saat melihatnya berjalan bersama Anggi.
"lo dari mana aja sih Day?! gue telfonin malah yang jawab temen kantor lo!" gerutu Malik tanpa melihat keadaan sekitar.
Dayana menatapnya tak percaya.
"eh halo Mbak Anggi!" sapa Malik saat menatap Anggi.
bisa-bisanya memang mata buaya satu itu.
"maklum ya mbak." bisik Dayana pada Anggi yang untungnya mengenal Malik, karena Dayana menceritakan semua sahabatnya.
"silakan kalian lanjut ngobrolnya, yang santai aja ya Dayan." kata Anggi yang hendak berlalu masuk ke dalam kantor.
"makasih ya Mbak Anggi." ucap Malik dengan nada buayanya, tapi sebenarnya itu adalah cara untuk menghilangkan perasaan syoknya dengan kabar yang dia terima.
Anggi hanya menggelengkan kepalanya dan berlalu meninggalkan mereka berdua.
"ngapain lo di sini?!" tanya Dayana yang langsung ke intinya.
"orangtuanya Air, sudah berpulang." jawab Malik yang kini terdengar serius.
Dayana terdiam sejenak, mencerna kata demi kata yang diucapkan Malik barusan.
"lo gak lagi bercanda, 'kan?" tanya Dayana yang mencoba untuk percaya dan berharap jika Malik sedang mengerjainya.
Malik menghela napasnya sejenak. "gue harap juga begitu."
mereka terdiam sejenak, dengan segala bayangan yang belum pernah ada dalam pemikiran mereka sebelumnya.
"kapan?"
hanya satu kata itu yang mampu keluar dari mulut Dayana, setelah menerima semua kenyataannya.
"satu jam yang lalu, dan Air sekarang lagi on the way balik ke sini."
Dayana masih mematung di tempatnya, semua perasaannya campur aduk, dan hari ini dirinya mendapat banyak sekali kejutan.
trauma dan kabar duka.
Malik membawa Dayana dalam peluknya. "it's okay Day, lebih baik kita pergi ke rumahnya Air, yang lain udah nunggu di sana."
Dayana meminta izin terlebih dulu ke Anggi dan menjelaskan semuanya, setelah itu mereka berdua pun bergegas menuju kediaman Air.
dalam perjalanan menuju rumah duka, keduanya terdiam satu sama lain dengan pemikiran masing-masing.
tidak ada Malik yang selalu heboh dengan segala candaan juga perilaku gilanya.
dan tidak ada Dayana yang selalu menggelengkan kepalanya dan menyuruh Malik diam.
hanya ada keheningan dan tetesan air mata yang menemani mereka.
bendera kuning terpasang di depan gerbang rumah itu.
innalillahi wa innaillaihi rojiun. batin Dayana sambil menatap lekat bendara kuning itu.
Dayana dan Malik terdiam sejenak, lalu keduanya masuk.
isak tangis terdengar jelas, hingga terasa begitu perih didengar.
Btari dan Kalam menatap mereka, Dayana dan Malik memilih menemui keluarga Air dan mengucapkan belasungkawa mereka.
terlebih adiknya Air terus menangis di samping tubuh orangtuanya yang sudah tiada.
Dayana mengelus bahu Aurora Mahendra---adik perempuan satu-satunya yang dimiliki Air.
hanya Aurora yang masih tinggal bersama mendiang kedua orangtuanya di sisa terakhir hidup mereka, karena Air dan kedua kakaknya, Binar juga Bumi, tinggal di luar negeri dan luar kota.
Aurora langsung memeluk Dayana. "aku takut kak." ucap gadis yang baru berusia dua puluh tahun itu.
Dayana larut tenggelam dalam duka keluarga Air, dirinya menangis sambil memeluk dan mengelus punggung Aurora.
"menangislah sepuasnya Ra, jangan ditahan ya, masih ada aku dan yang lainnya di sini." bisik Dayana mencoba untuk membuat Aurora tidak memendam lukanya seorang diri.
keempat sekawan itu memilih duduk di depan teras sembari menanti kedatangan Air, setelah sempat pergi sebentar ke rumah mereka untuk bersih-bersih dan berganti pakaian.
"ternyata pada dasarnya hidup memang untuk kembali." ucap Dayana yang tidak bisa menutupi rasa dukanya.
"kita hanya hidup untuk waktu yang sudah ditentukan, kapan kita harus berpulang." sahut Malik yang tidak seperti biasanya.
"gimana ya keadaan Air sekarang." sahut Btari yang menyeka air matanya terus keluar.
"gue gak bisa bayangin ada di posisinya Air sekarang." kata Btari lagi yang masih berderai airmata.
helaan napas berat berasal dari Kalam yang beranjak dari duduknya untuk mengambil botol air mineral.
"kalian minum yang banyak supaya gak dehidrasi." ucap Kalam seraya menyodorkan botol yang tadi dia bawa pada tiga sahabatnya itu.
"gue harap Air kuat menerima dan melalui semua ini." gumam Dayana seraya menyandarkan kepalanya pada bahu Kalam.
hening kembali diantara mereka, kecuali isak tangis dari dalam dan bisikan para pelayat juga suara orang-orang yang sedang membacakan yasin, mengisi keheningan empat sekawan yang enggan menyuarakan apa pun.
setelah menunggu kedatangan seluruh anak-anaknya, terutama kedatangan Air yang harus menunda pemakaman selama semalaman, akhirnya prosesi pemakaman mendiang orangtua Air selesai.
suasana duka masih terasa begitu kuat, walau prosesi pemakaman usai beberapa jam lalu.
keluarga keempat sekawan itu, sudah pamit terlebih dahulu dan membiarkan anak-anak mereka untuk tinggal di sana.
karena mereka memilih tinggal di sana untuk berbagi kekuatan.
mereka pun kini berada di kamar Air, hening menyelimuti kelima sahabat itu.
mereka kalut dengan pikirannya masing-masing.
namun Air memilih ingin menyendiri dan akhirnya menyuruh para sahabatnya untuk pulang.
"lebih baik kalian balik, sekarang gue butuh waktu sendiri, dan kalian gak perlu khawatir." kata Air yang terlihat tidak baik-baik saja.
tapi pada kenyataannya dia membutuhkan sandaran untuk menumpahkan dukanya. "yaudah kalo itu membuat lo nyaman, kita bakal balik." sahut Malik yang disetujui Kalam.
mereka pun beranjak dari duduknya untuk bergegas meninggalkan Air.
"kalo ada apa-apa, hubungi gue sama yang lainnya." kata Kalam seraya menepuk bahu Air.
Btari lalu memeluk Air dan mengelus punggungnya untuk menyalurkan kekuatan yang dimilikinya. "lo harus istirahat ya Air, karena sedih juga butuh energi." ucap Btari yang berusaha tersenyum.
Air hanya mampu mengelus puncak kepala Btari.
kini giliran Dayana yang memeluknya. "lo gak perlu harus selalu terlihat kuat dan tegar, gue tahu kalo lo kuat, tapi jangan rusak diri lo sendiri karena ingin terlihat baik-baik aja." bisik Dayana dalam pelukan mereka.
airmatanya lolos begitu saja, saat mendengar ucapan Dayana.
ada perasaan sedikit lega saat Dayana mengatakan itu, beban yang dirinya sembunyikan, terlihat hari ini.
lukanya karena duka terbuka lebar, di depan para sahabatnya.
Air semakin terisak dalam peluk Dayana, ia sudah tidak mempedulikan sekitarnya.
Btari malah ikut menangis.
sementara Kalam dan Malik terdiam, menahan airmatanya agar tidak jatuh.
cukup lama Air menangis dalam peluk Dayana, ia pun melepaskan pelukannya dan menyeka airmatanya kasar.
Dayana yang masih berhadapan dengan Air, dengan lembut menyeka airmata yang tersisa di sudut mata Air.
"jangan pedulikan apa pun kecuali keadaan lo dan Aurora, untuk hari ini lo boleh sedih sepuasnya, besok baru lo harus bangkit lagi demi diri lo sendiri." ucap Dayana sembari tersenyum.
Air menitikkan airmatanya lagi, entah kenapa Dayana membuatnya bisa selemah itu.
"yaudah gue balik ya sama yang lain." pamit Dayana yang sudah siap pergi bersama yang lain.
Kalam menepuk bahu Air lagi dan berlalu terlebih dulu menuju luar rumah.
"semangat bro!" ujar Malik seraya memeluk sekilas Air dan mengikuti jejak Kalam.
"kita pamit ya, Air!"
Air hanya mampu menganggukkan kepalanya, dan keempat sahabatnya pun pergi.
dirinya mengunci diri dan terdiam cukup lama, lalu mengambil air wudhu.
"Day, terimakasih karena ada saat gue butuh lo."
.
.
.
.
.
TBC