saat baru saja keluar dari dalam rumah Air, sebuah tepukan tepat di bahunya, langsung membuat Dayana mencari si tersangka.
"hi Dayana!" sapanya dengan khas.
Dayana menatapnya tak percaya, bagaimana bisa pria itu ada di hadapannya sekarang?
"kenapa?" tanyanya yang tersenyum tipis karena menghargai keluarga yang sedang berduka.
"lho Pra? gimana bisa kamu ada di sini?"
dan ternyata pria itu adalah Pra.
"jemput kamu." jawabnya.
ketiga orang yang juga hendak pergi itu mendadak jadi penonton antar kedua orang yang baru bertemu lagi.
"ekhem!" Malik pura-pura berdeham membuat Dayana terbuyar dari fokusnya pada Pra.
"yaudah Day, gue sama Btari duluan, permisi." ucap Kalam seraya tersenyum tipis ke arah Pra, dan membuat Btari menatapnya bingung,
karena Kalam menarik tangannya untuk segera meninggalkan sahabatnya yang sedang dalam proses membuka lembaran barunya.
Malik pun mengaruk dahinya yang tak gatal. "gue juga balik ya Day, inget hati-hati." kata Malik yang terdengar seperti memperingatkan Pra dibalik perkataannya pada Dayana, sembari sekilas menatapnya penuh selidik.
"hati-hati lo!" sahut Dayana yang hanya Malik timpali dengan lambaian tangan.
"ayo." kata Pra, dan Dayana mengikuti langkah kaki pria itu, menuju mobil yang ia parkirkan.
mereka pun berlari kecil menuju mobil, karena gerimis yang sejak tadi pagi tak kunjung reda.
"gimana kondisi ibumu, Pra?" tanya Dayana yang mulai mencairkan suasana.
sekilas Pra melirik Dayana. "alhamdulillah sudah membaik dan lusa ibu sudah boleh pulang."
"alhamdulillah kabar baik." sahut Dayana yang tiba-tiba terdengar sendu, karena teringat lagi kejadian wafatnya kedua orangtua Air.
mereka meninggal tiba-tiba, mereka meninggal saat sedang tertidur, dan sempat bicara dengan Aurora, jika mereka hendak tidur sejenak karena lelah baru saja pulang dari New York, usai menjenguk Air yang sedang merantau.
seperti petir di siang bolong untuk keluarga besar Air dan yang mengenal baik almarhum dan almarhumah orangtua Air.
dan Dayana merasakan kehilangan itu juga.
ada rasa trauma untuk mereka, terutama bagi Aurora dan Air.
penyesalan yang dirasakan Air lebih menyesakkan, karena dia menyalahkan diri atas meninggalnya kedua orangtua yang jauh-jauh mengunjunginya, dan masih sempat saja bertukar panggilan video sesampainya di Indonesia.
dan ada ribuan kata seandainya yang Aurora pendam dalam hatinya, jika dia seharusnya menyadari orangtuanya akan pergi secepat ini.
kata ikhlas dan menerima, masih sulit untuk mereka sanggupi.
"Dayana," panggil Pra yang sejak beberapa saat lalu membiarkan Dayana termenung dalam dukanya.
"ya Pra?" sahut Sana yang menoleh ke arah Pra.
"temani saya makan, ya?"
Dayana terdiam sejenak, dirinya memang belum makan dari kemarin siang hingga ketemu siang lagi yang hampir sore, tapi rasa lapar itu tidak terasa, bahkan entah menghilang ke mana.
"mau ya?" tanya Pra yang menatap Dayana, kebetulan di lampu merah.
ada helaan napas terdengar dari mulut Dayana. "iya Pra, saya temani."
helaan napas terdengar begitu saja saat Btari mengingat lagi awal pertemuannya dengan kedua orangtua Air.
ramah.
kesan pertama Btari untuk mendiang orangtua Air.
mereka menyambut hangat kehadiran Btari dan ketiga sahabatnya saat pertama kalinya mereka mengunjungi rumah Air di masa SMP.
"doakan terus, supaya mereka diberi tempat yang paling terbaik di sisi-Nya." ucap Kalam yang sama dukanya dengan Btari, namun ia tutupi.
Btari menyeka airmatanya yang tiba-tiba menetes. "mereka orang baik."
tiga kata itu yang mampu Btari utarakan untuk mendiang orangtua Air.
dia memilih menatap jalanan yang di susuri menuju arah rumahnya.
Kalam hanya mampu terdiam meredam dukanya seraya fokus pada jalanan di depannya.
"saya gak lapar Pra." ujar Dayana saat makanan yang sengaja Pra pesan datang, untuk wanita yang sejak turun dan duduk di hadapannya terdiam dengan segala pemikiran.
"mungkin kamu enggak lapar, tapi tubuh kamu butuh asupan."
Dayana masih terdiam.
pria itu mengelap sendok dan garpunya, lalu menyimpannya di depan Dayana. "dimakan ya."
"kenapa kamu repot sekali sih, Pra." desis Sana yang sebenarnya tersentuh tapi pura-pura kesal, lalu memakan makanan yang ada di depannya itu.
Pra terkekeh mendengarnya. "iya saya yang repot Ana."
tersedak sudah kawan.
Dayana tersedak saat sedang mengunyah makanannya.
dengan sigap, Pra memberikan minumannya pada Dayana.
"makanya kalau makan itu bismillah dulu."
Dayana menatap kesal Pra. "tanpa disuruh juga, saya udah baca itu dan baca doa makan!"
lagi-lagi Pra terkekeh dengan Dayana yang saat ini di depannya, dihadapannya itu.
"sebentar,"
Pra hanya menatap Dayana, saat hendak menyantap makannya.
"tadi kamu panggil saya apa?"
"Ana."
"Ana?" ulang Dayana sambil menatap Pra tak percaya.
"kenapa Ana?" tanya Dayana penasaran.
Pra menaruh sendoknya, lalu menatap dalam Dayana. "karena itu panggilan khusus saya untuk kamu."
"astagfirullah bener ini sahabatnya Kak Aksa." ucap Dayana yang terkejut mendengarnya, karena Pra terdengar seperti Aksa.
"memang saya sahabatnya, Ana." Dayana sedikit aneh mendengar panggilan barunya itu.
tidak pernah orang-orang sekali pun memanggilnya dengan panggilan itu.
jadi aneh sekali dan tidak terbiasa mendengarnya.
"kalo saya Ana, terus Elsa-nya di mana?" tiba-tiba pertanyaannya itu terlontar begitu saja dari mulut Dayana.
"Elsa, ada di rumah kakak saya." jawab Pra seraya menyantap makanannya yang mulai dingin.
"keponakanmu?"
"bukan."
"terus siapa?"
"nama kucingnya keponakan saya."
membulat sudah kedua mata dan mulut Dayana, ia sangat tak percaya dengan pria di depannya itu. "jadi saya itu sama dengan kucing keponakan kamu?!"
"beda pastinya, kamu manusia, dia hewan, Dayana." Pra tak ingin lagi memperkeruh suasana hati dan emosi Dayana.
Dayana mendengus. "terus kenapa harus Ana? aneh dengernya tahu."
"karena itu panggilan khusus saya untuk kamu, Ana." ulang Pra lagi.
menyerah sudah Dayana dengan Pra yang ternyata baik dalam pertahanannya.
"ya sudah saya nyerah kalo kamu memang keras kepala ingin memanggil saya dengan sebutan itu." cetus Dayana yang memilih menyantap makanannya, karena perutnya mulai terasa lapar.
Pra hanya menggelengkan kepalanya.
ada rasa senang yang ia rasakan, saat Dayana mulai kembali seperti biasanya.
"kapan kamu sampai di Jakarta?" tanya Dayana saat mereka hendak berlalu keluar dari restoran yang menjadi tempat debat persoalan Ana dan Elsa.
Pra yang mengeluarkan kunci mobilnya itu, menoleh ke arah Dayana yang berjalan di sampingnya. "siang tadi."
"enggak capek apa?" terdengar biasa sekali, tapi menyentuh hati Pra.
"gak, karena mau menemui seseorang."
Dayana terdiam sejenak saat hendak masuk ke dalam mobil Pra.
"oh iya, kenapa kamu bisa tahu alamat rumahnya Air?"
Pra tersenyum. "bisikan langit."
"serius Pra!" desis Dayana yang heran dengan sikap Pra hari ini.
"saya serius Dayana." sahut Pra yang mulai mengemudikan mobilnya.
Dayana berdecak kesal. "ck. heran deh, kenapa kamu jadi menyebalkan kayak Kak Aksa."
terkekeh sudah Pra mendengar perkataan Dayana.
dan entah sudah ke berapa kalinya Pra terkekeh saat bersama Dayana.
"perasaan gak ada yang lucu." sindir Dayana yang tak paham lagi dengan pria itu.
"saya seperti ini karena," Pra sengaja menggantung ucapannya.
karena saya rindu kamu, Dayana. lanjut Pra dalam hatinya.
"karena apa?"
"karena, ingin." jawab Pra sekenanya.
kali ini Dayana yang menggelengkan kepalanya, melihat kelakuan aneh Pra yang tidak ia lihat beberapa hari ke belakang.
"kamu tuh, aneh banget tahu gak Pra!"
dan Pra hanya tersenyum mendengarnya, suara yang dirinya rindukan, dan termasuk semua tentang Dayana,
Pra, rindu.
.
.
.
.
.
TBC