Chereads / Menyembuhkan Luka / Chapter 13 - rindu?

Chapter 13 - rindu?

merasa frustasi karena terus menerus memikirkan Pra yang hilang kabar, walau sang kakak sudah memberi kabar tentang pria itu.

tapi Dayana masih merasa tidak bisa menghilangkan rasa aneh dalam dirinya, jika belum Pra sendiri yang memberinya kabar.

perasaan apa itu?

"sumpah kenapa sih sama lo Dayana?! yaudah mau Pra ada atau gak ada pun, gak ada masalahnya buat lo!" gerutu dirinya sendiri seraya beranjak dari depan meja riasnya,

dan berlalu keluar kamar, mencari sesuatu yang bisa membuat suasana hatinya balik seperti biasanya.

"makan dek." suara Tama hampir membuat Dayana terjatuh, karena langkah kakinya yang tak seimbang.

hampir saja dirinya jatuh konyol, karena tersandung kaki sendiri.

"makanya kalo jalan tuh jangan sambil mikirin yang lain coba." kata Aksa yang sejak tadi memperhatikan Dayana.

"siapa juga sambil mikirin yang lain!" sungut Dayana berlalu begitu saja menuju ruang keluarga, namun terhenti sejenak karena Sandra bersuara.

"tadi kenapa sahabat-sahabat kamu cuman sebentar di sininya?" tanya Sandra saat melihat anak bungsunya itu, hendak berjalan menuju para keponakannya berada.

"mereka ada acara dadakan, jadi pergi deh."

"ohhh, eh iya tadi mama ketemu sama mamanya Air."

"di mana?"

"di toko bunga, katanya titip salam buat kamu." Sandra mengatakan itu seraya menatap anaknya yang terlihat berbeda.

"waalaikumussalam." jawab Dayana yang melanjutkan langkahnya menuju ruang keluarga, diikuti sang mama dari belakang.

menghampiri papa dan kakak iparnya yang sedang berbincang santai menjelang malam, sambil bermain dengan dua keponakannya.

"eh ada ganteng-gantengnya aunty!" seru Dayana yang terlihat sedikit lebih cerah dari sebelumnya.

Kai cemberut saat melihat Dayana. "aunty kok tumben sih, gak nepatin janjinya ke aku."

"janji apa mas?" tanya Dayana yang tidak ingat apa yang ia janjikan pada ponakannya itu.

"jalan-jalan ke taman, katanya tadi abis aunty makan mau jalan-jalan sama aku, Kala, dan mama!" jelas Kai membuat Dayana menepuk dahinya tanpa sadar.

"maafin aunty ya mas, aunty lupa soalnya tadi ada temen-temen aunty dateng." ucap Dayana yang memeluk Kai dari belakang, karena keponakannya itu terlihat kecewa dengan Dayana.

"kalo aunty gak bisa nepatin janji ya gak usah buat janji palsu."

semua orang yang ada di sana langsung tertawa mendengar ucapan Kai yang terdengar bak orang dewasa.

Dayana hampir ikut tertawa, namun ia tahan karena merasa bersalah dengan Kai.

"anakmu itu Tam." kata Candra yang terkekeh, lalu menyeruput teh hangatnya.

sementara bapaknya si anak? hanya terkekeh sembari menggelengkan kepala.

"anaknya siapa sih ini?" tanya Aksa yang ikut duduk bergabung, namun tidak dihiraukan oleh Kai.

"ih kalian kenapa ketawa? emangnya apa yang lucu?"

"semuanya ketawa karena mas jenius, mending liat tuh aunty Day mau nangis lho, karena mas gak maafin aunty." sahut Indira yang mengalihkan topik perbincangan sang anak.

Kai melirik Dayana, lalu mengelus puncak kepala sang tante, karena merasa salah.

hatinya memang selembut itu.

"aunty jangan nangis, aku gak marah kok, cuman kecewa aja."

entah kenapa, kata-kata Kai mampu meluruhkan pertahanan Dayana.

sebulir air matanya lolos begitu saja, hingga menangis dalam pelukan Kai.

"ih aunty jangan nangis, 'kan, aku udah maafin aunty." ucap Kai yang mencoba menenangkan aunty kesayangannya.

namun, Dayana semakin terisak hingga membuat semua orang yang ada di sana langsung terdiam dan saling lirik.

"kenapa?" tanya Aksa tanpa suara pada mamanya, padahal dia yakin jika adiknya itu sedang ada di ambang rindu dan galau.

"lagi datang bulan." sahut Indira yang juga tanpa suara ke arah Sandra dan Aksa.

memang benar, jika Dayana sedang datang bulan, jadi suasana hatinya naik turun, ditambah lagi ada yang namanya rindu sedang melekat erat dalam dirinya.

"mas, coba cium kepalanya auntymu, pasti aunty gak akan nangis lagi." ujar Candra merasa sakit saat melihat putri semata wayangnya itu menangis.

tanpa menunggu lama, Kai pun mencium lama puncak kepala Dayana, lalu berbisik.

"aunty, jangan sedih lagi ya, aku selalu bersama aunty, aku sayang aunty." bak obat ajaib, Dayana menyeka air matanya kasar.

namun, sebulir air matanya luruh saat menatap kedua bola mata Kai, yang tidak ia sangka bisa sedewasa itu, bahkan melebihi dirinya sendiri.

"mas kapan bisa sedewasa ini?" tanya Dayana yang terdengar parau.

"aku 'kan, masih kecil aunty." jawaban polos Kai membuat Dayana terkekeh.

iya terkekeh, tapi dibarengi air mata yang terus lolos membasahi pipinya.

setelah itu, Dayana memilih berlalu menuju kamarnya, tanpa mengatakan sepatah kata pun.

"memangnya Pra ke mana?" kini Tama bersuara setelah adiknya benar-benar pergi.

dan benar-benar langsung ke intinya.

begitulah seorang Diratama.

"tuh, tanya adikmu." sahut Candra membuat Aksa menghela napasnya.

"rumah sakit---"

"innalillahi, kenapa Sa? sakit? atau kenapa?" sela Sandra panik setelah mendengar kalimat anaknya yang belum selesai.

"ma, jangan panik dulu, dengarkan omongan Aksa sampai beres." timpal Candra.

"bukan dia ma yang sakit, tapi ibunya." tuntas Aksa.

"ya Allah, sakit apa? dari kapan?" tanya Sandra dan Indira bersamaan.

"gak tahu, dia orangnya susah dihubungi kalo lagi keluarganya sakit." jawab Aksa sekenanya.

"dari kapan?" lagi-lagi Sandra dan Indira bertanya.

"dua hari lalu ibunya di operasi."

"operasi apa?" kini giliran Tama yang bertanya, karena dirinya seorang dokter.

apa hubungannya?! mungkin hubungannya dengan jiwa dokternya kali ya.

"appendicitis kakakku sayang." jawab Aksa yang terlihat hendak beranjak dari duduknya.

dan Tama hanya menghela napasnya, mendengar jawaban dari sang adik.

"ya ampun, usus buntu. semoga cepat diberi pulih lagi ya ibunya Pra." ucap Sandra seraya diamini yang lain.

"di mana Sa?" pertanyaan Candra membuat Aksa berpikir sejenak.

"di mana apanya pa?"

"di rawatnya." sahut Tama yang satu spesies sifat dengan sang papa.

"yang jelas dong, kalo setengah-setengah gitu Aksa jadi mikir, 'kan." gerutu Aksa membuat Candra hanya menatapnya lurus.

"Semarang." kata Aksa lagi, karena dirinya merasa tidak sanggup lagi ditatap papanya, dan lebih memilih berlalu ke kamarnya.

"kalo di Jakarta ya kita bisa tengok, kalo Semarang ya hanya bisa tengok lewat doa." ujar Sandra yang terdengar begitu tulus.

"pantesan Day begitu." gumam Indira, namun Sandra dapat mendengarnya.

"dia udah ada rasa, tapi masih gak sadar." cetus papanya yang juga berlalu menuju kamar.

kan. kan.

tingkat kepekaannya itu di luar nalar, diam-diam tahu apa yang dirasakan keluarganya tanpa harus bertanya.

membuat semua yang ada di sana saling melempar tatapan.

"rindu tapi bikin dia galau sendiri, gak paham sama isi hatinya seorang Dayana Halim." kata Sandra membuat Indira terkekeh.

"nanti juga Day sadar sama perasaannya itu ma." sahut Indira dan diiyakan Sandra.

"ya semoga ini memang jalan kebahagiaan buat Dayana ya ma." sahut Tama, dan di aminkan ibu juga ibu dari anak-anaknya, dan memilih melipir menuju dapur.

"tapi yang aku liat, Day itu masih ragu ma." kini mulai perbincangan antara menantu dan mertua dimulai.

Sandra menatap Indira. "ragu? karena luka kemarin?"

"iya ma, aku takut malah nanti bikin dia gak berani buat buka hatinya lagi."

"mama juga ngerasain begitu, tapi kita doakan saja yang terbaik untuk Day, mama gak bisa lihat dia terus menerus begini." ucap Sandra yang terdengar menghela napasnya.

dan yang dibicarakan, kini telentang sembari menatap langit-langit kamarnya.

pastinya masih menangis, namun tanpa suara.

hanya bulir-bulir air matanya yang keluar bebas, tanpa bisa ia tahan.

"tapi kenapa rasa sakit yang kemarin ke rasa lagi?" desis Dayana dengan suara paraunya.

.

.

.

.

.

TBC