Hari ini aku pindah ruangan, efek dari email kemarin. Parahnya, ruanganku berada di sebelah Dani yang hanya dibatasi oleh kaca bening. Tengok kiri, langsung memandang Dani dengan leluasa, tanpa hambatan, begitu juga sebaliknya. Dani bebas memandangiku kapan pun dia mau, tinggal tengok kanan.
Tak bisa kubayangkan jika Om bule menjemput ke kantor, lalu masuk ke ruangan. Biasanya ada adegan mencium dan memeluk, haruskah Dani menonton?
Duh, kenapa hanya ruangan ini yang tersisa? Kurang nyaman. Kalau saja antara aku dan Dani tak ada kisah, mungkin rasanya tak akan seperti ini.
Serba salah duduk di sini. Apalagi pendingin udara belum dipasang. Jadi sedikit panas jika pintu ditutup. Kulepas blazer sehingga hanya menyisakan blouse tanpa lengan yang ketat melekat. Begini lebih nyaman.
Ting!
Sebuah pesan dari Steve.
[Miss you, Honey. Please send me your picture.]
Segera kukirim fotoku dengan berbagai gaya. Beberapa saat kemudian, Steve membalas.
[You make me wanna ....]
Lengkap dengan emoticon hati dan ciuman.
Kubalas segera.
[Pengen apa hayo? Kok nggak diterusin sih?]
Balasan dari Steve membuat pelipisku berdenyut.
[Later, when i get you in my arms.]
Ah Steve! Gara-gara baca pesan cepat dari kamu, otakku belok. Kuteguk segelas air putih di hadapanku.
'Sudah Kania, ayo kerja lagi. Ingat biaya nikah tidak murah,' bujukku dalam hati. Lalu aku tenggelam dalam kesibukan.
Tak terasa sudah sore. Dani berkemas lalu meninggalkan ruangan. Seharian ini kami tak saling bicara. Dani hanya mencuri pandang jika ada kesempatan tanpa bicara.
"Hai, gimana ruang barunya?" tanya Beck yang muncul dari balik pintu.
"Ya gitu deh, agak panas. AC belum dipasang," jawabku.
"Cie, bisa langsung flirting-flirtingan ama Dani nih," goda Beck tatkala melihat kaca pembatas bening.
"Nah itu dia, besok aku mau pasang tirai. Gak nyaman. Belum lagi kalau ada Steve di sini. Bisa masalah ntar," jawabku.
"Kania ...." kata Steve. Kepalanya menyembul dari balik pintu. Ternyata Dia datang lebih cepat untuk menjemputku.
"Hi, Steve!" Kata Beck.
Mereka bersalaman dan berpelukan. Lalu mengobrol sambil menungguku selesai berkemas. Sebentar kemudian, Beck berpamitan. Sementara aku belum selesai, masih menunggu satu email.
"Steve, aku ke toilet dulu ya bentar," kataku.
Steve tersenyum dan membalas, "Butuh teman?"
"Dasar Bambang! Nyari kesempatan," kataku sambil tertawa.
"Aku usaha, Markonah," jawab Om bule sambil terkekeh.
Setengah berlari menuju toilet karena sudah mendesak di ujung. Untunglah kantor sudah tak ada orang, sepi. Bisa langsung pakai tanpa mengantri.
Kembali masuk ke ruangan, kulihat Om bule sudah duduk di kursi dan sedang tersambung dengan seseorang melalui video call menggunakan layar monitorku.
Saat mendekat, tangan Om bule memberi isyarat agar aku duduk di pangkuannya. Sejenak aku ragu, tapi hatiku berdesir mau. Dasar! Akibat bergaul dengan Om-om. Steve sedang mendengarkan cerita Amanda, putri semata wayangnya yang berada di Bali.
"Sini, Kania!" Steve menarik tanganku, memaksaku duduk di pangkuannya.
"Daddy, where is Mama Kania? Aku kangen," kata Amanda.
"Halo Amanda," sapaku.
Terpaksa aku duduk di pangkuan Steve.
Amanda tersenyum, mata indahnya berbinar.
"Mama, kapan ke sini? Aku pengen dibacain dongeng," rajuk Amanda.
"Mama kangen juga sama Amanda. Nanti Mama bacain dongeng ya kalau ke rumah Amanda," kataku lembut.
Amanda mengangguk. Selanjutnya aku mendengar mulut gadis kecil itu bercerita. Tentang harinya di sekolah, teman bermainnya. Sesekali aku menanggapi dengan bertanya atau menggoda.
Saat aku asyik berbicara dengan Amanda, Steve kumat jahilnya. Kurasakan tangan Steve di punggungku. Menyusup di balik blouse yang kukenakan. Bergerak naik dan turun di punggungku. Satu tanganku bergerak ke belakang untuk mencubit perutnya. Tak berhasil menghentikan aksi Steve.
Sementara wajahku harus tetap datar di depan Amanda walau menahan rasa geli yang menyiksa akibat perbuatan ayahnya.
Tak berhenti sampai di situ. Hidung mancung Steve mulai menempel di punggungku. Dengan satu tangan, Steve menyibakkan rambutku yang panjang lalu mencium tengkukku. Mentang-mentang terhalang badanku, tak terlihat oleh Amanda.
Namun, aku salah. Gadis mungil itu bertanya pada ayahnya.
"What are you doing, Daddy?" tanya Amanda tiba-tiba.
Ekspresinya sadis, persis ketika Steve marah. Aku tak bisa menahan tawa melihat Steve terkejut.
"I'm doing nothing, Amanda," kata Steve antara terkejut dan malu.
"Really?" tanya Amanda dengan pipi kemerahan.
"Ya," jawab Steve menahan tawa. Mengangkat kedua tangan agar Amanda yakin jika Steve tidak berbuat apa-apa.
"Don't disturb Mama Kania!" ucap Amanda kemudian.
"Oh ok," kata Steve sambil terkekeh.
Dalam hati kecilku berkata, 'Rasain ditegur anak sendiri, makanya jangan jahil!'
Wajah Ibu terlihat di monitor mengambil alih Amanda.
"Doakan aku, Bu. Malam ini, aku akan meminta izin pada ibunya Kania. I want to marry Kania," kata Steve.
Kupandangi wajah Om bule. Mendadak sekali, tanpa bicara apa pun padaku.
"Niat baik jangan ditunda, Steve. Kania itu cantik sekali loh. Nanti kalau kamu keduluan orang gimana?" goda Ibu.
Segalak-galaknya Steve, Ia tetap menundukkan kepala jika berhadapan dengan ibunya. Wanita yang sangat dihormati Steve. Tutur kata Steve lembut dan bicara dalam bahasa Indonesia walau terdengar lucu di telinga.
Kok malam ini, Steve lebih ganteng ya? Mungkin aku mulai butuh kacamata. Duh, kenapa jantungku berdesir hebat. Aku pun mulai membayangkan serunya jadi Nyonya Bregmann. Nikah sama Steve, dapat bonus Amanda. Apalagi aku suka sama anak kecil. Aku membayangkan tidur bertiga. Aku, Amanda, dan Steve. Pasti menyenangkan jadi seorang Ibu bagi Amanda.
Kayaknya harus punya kamar cadangan deh. Nanti kalau Amanda minta adik bisa diproses di kamar cadangan. Ish apa sih aku berkhayal jorok.
Aku tersentak tatkala Steve mengeratkan pelukannya dan menggigit telingaku. Rupanya dari tadi aku melamun. Aku bahkan tak tahu jika sambungan video call sudah terputus.
"What are you doing, Steve? No, please don't ...." kataku sambil mendorong tubuh Steve.
"Don't stop ya .., wanna say that huh?!" ledek Steve bibirnya tersenyum nakal, jari Steve menggelitik pinggangku.
"Steve, jangan disini, Honey!" jeritku gemas menahan geli.
"Ok, kita booking hotel abis ini," goda Steve disertai kerlingan.
"Aku lagi nunggu email, Bambang! Kamu jangan nakal!" jeritku.
Steve tertawa senang berhasil menggangguku.
Mataku melihat monitor, memeriksa email yang ternyata sudah dikirim dari tadi, dengan cepat aku membalasnya. Ok, selesai semua. Kututup laptop dan mengajak Om bule yang otaknya mulai error segera pulang.
"Kita nikah aja ya, Honey," kata Steve sambil menyetir.
"Untuk nikah, banyak yang harus kita omongin, Steve," jawabku.
"I know. That's why we need to talk," jawab Steve sambil mengangguk.
"Aku punya masa lalu di Dortmund sama Dani," kataku.
"Sst Kania .., that's your past. I don't care ya. Even if you and Dani have kids. We talk about us, now and future for us, Honey," jawab Steve.
"Iya, aku mau diajak nikah. Pengen jadi ibu yang baik buat Amanda Bregmann dan adik-adiknya," ucapku sambil melirik Steve.
Steve tersenyum.
Dasar Om bule, jahil minta ampun, tiba-tiba dia bertanya, "Where is the hotel?"
Steve melirikku, lalu tawanya meledak.
"Mau ngapain, Bambang?" tanyaku lalu mencubit lengannya.
"I want to make you happy, Markonah. Otong lama nganggur, nggak ada kerjaan. Butuh kerja," jawab Steve tertawa.
Aku tertawa mendengar kosakata 'Otong.'
"Oh my gosh, Steve! Who taught you to speak like that? You give it a name, Otong?" tanyaku sambil tertawa.
"Yes, for toilet contest. I won the contest, by the way. Twice." jawab Steve sambil tertawa.
Astaga Steve! Ya iyalah jelas kamu menang. Aku masih ingat waktu Steve buka handuk, ganti baju di depanku. Kalau kuingat kejadian itu, rasanya ada yang ngilu di bagian tubuh tertentu. Ish, apa sih!
Kita sudah sampai di rumah, segera turun. Steve mulai tampak tegang. Pasti sedang mengatur kalimat untuk bicara dengan Ibu. Kutinggalkan Steve di ruang tamu. Aku mencari Ibu yang sedang bereksperimen di dapur.
"Bu, dicariin Steve tuh. Ada yang mau diomongin," kataku.
Ibu mengernyitkan dahi.
"Steve ya? Bukan Dani? Yakin Steve?" goda ibuku.
"Steve, Bu. Mau minta izin ngajak nikah," jawabku.
Ibu menoleh ke arahku, menatap beberapa detik.
"Serius?! Terus kalau kamu nikah sama Steve, Dani gimana Kania?" bisik Ibu takut Steve mendengar.
"Aku sudah putus lama sama Dani, Bu. Apa salahnya aku punya kehidupan baru sama Steve," jawabku.
"Ini bukan masalah benar dan salah. Dani kesini ngejar kamu, Kania. Sekarang dia dalam kondisi sakit. Ditambah lagi dia harus dengar kamu nikah sama Steve? Kok kamu tega ya sama Dani?" tanya Ibu.
Mataku mulai panas mendengar pertanyaan Ibu. Aku tahu, ibuku sangat menyayangi Dani. Berharap lebih pada Dani. Ya karena ibu kenal Dani terlebih dahulu. Ibuku hanya belum mengenal Steve.
Haruskah kuceritakan pertengkaran serta caci maki Dani yang keji kemarin?
"Bu, tolong kasih kesempatan Kania dan Steve," pintaku mulai menangis.
"Mbuh, Ibu ndak tahu Nduk. Ibu ndak mau kamu kualat sama Dani. Dani selalu ada di saat kamu susah. Sekarang, kamu sudah kerja, bisa jadi hebat, terus Dani ditinggal gitu aja? Di mana perasaanmu, Kania? Dani itu sakit dan kita nggak tahu umurnya sampai kapan. Kamu ndak mau mendampingi Dani untuk saat terakhirnya?" tanya Ibu. Beliau ikut menangis.
Air mataku bertambah deras.
"Haruskah Kania jadi penipu untuk Dani, Bu? Kania nggak merasakan apa pun bersama Dani saat ini. Maaf Bu, Kania nggak bisa," jawabku menangis sambil memeluk kaki Ibu.
Aku bersimpuh dan memeluk kaki Ibu.
"Kania cuma butuh restu Ibu, untuk bersama Steve."
Kami berdua bertangis- tangisan di dapur. Hingga tak menyadari kehadiran Steve. Entah sudah berapa lama Steve berdiri di dapur.
"Bu, tolong beri saya izin menikahi Kania," kata Steve dengan suaranya yang serak.
Kami berdua terkejut, menoleh ke sumber suara. Steve berjalan mendekati Ibu. Setelah itu, aku tak menyangka seorang Steve Bregmann menanggalkan semua gengsinya. Ia bersimpuh dan memohon di kaki Ibuku.
Aku dan Steve menangis bersama, memohon restu di kaki Ibu. Hingga akhirnya Ibu mengangguk, memberikan restunya. Ibu memelukku dan Steve bergantian.
"Lusa, Ibu saya akan datang melamar," kata Steve.
Ibuku mengangguk," Ya, Ibu tunggu."
"Carilah cara agar Dani tak terlalu tersakiti dengan hal ini," kata Ibuku.
Kami berdua mengangguk.
Walau sempat susah memohon restu di awal tapi aku akan mengenangnya bagaimana seorang Steve Bregmann memintaku di depan Ibu. Ah Om bule, you're the best. Akan kuceritakan pada anak cucu kelak. Lega rasanya dapat restu Ibu. Aku bisa tidur malam ini dengan gembira.