Raiga POV
Jalanan menuju tempat yang akan ku datangi ini sangat sepi, hanya ada pohon pohon besar di sisi kanan dan kiri. Tempatnya tak jauh dari komplek perumahanku. Hanya saja aku belum pernah ke daerah sini sebelumnya.
Banyak gosip beredar kalau orang yang tinggal disini hanya orang orang yang kayanya bukan kepalang. Aku bisa percaya itu sekarang, karna deretan rumah bak istana sudah mulai terlihat. Tidak seperti komplek perumahan pada umumnya yang berderet rapat. Rumah antar rumah disini jaraknya sangat berjauhan. Pekarangan rumah mereka saja lebih luas dari luas rumahku sepertinya.
Jadi minder.
Aku berhenti terkesima dan kembali fokus pada tujuanku saat menemukan rumah putih dengan pagar besi bercat hitam yang tinggi menjulang.
Aku menghentikan motorku tepat di pintu masuk gerbangnya. Percaya atau tidak, ini bahkan lebih besar dari gerbang sekolah.
Aku turun dari motorku dan berjalan untuk mengintip kedalam rumah. Tralis pagarnya agak renggang jadi halaman rumah masih terlihat dengan jelas. Gila. Halaman rumahnya saja sangat luas.
Aku memencet bel yang ada di tepi tembok gerbang beberapa kali. Tak lama pria tua berkumis dengan setelan jas rapi datang dan mendekat.
"Nyari siapa?."
Dia menatapku tanpa membuka gerbang.
"Nyari pregnant... Eh, preinan. "
Aku menepuk bibirku yang sering sembarangan memanggil nama orang ini.
"Maaf, tapi kamu siapa?. "
Dia mulai menatapku curiga
"Euh, saya temennya pak. "
"Sepertinya kamu salah alamat. Maaf. "
Pak tua itu berbalik dan pergi tanpa menungguku bicara.
"Eh, pak! Tapi ini bener alamatnya kok. "
Aku berteriak meyakinkannya. Tapi, dia sama sekali tidak menoleh.
"Pak!!! "
Ah, sialan.
Dia benar benar pergi.
Aku sangat yakin kalau alamatnya benar. Persis seperti informasi yang tertulis di data base sekolah. Lagipula, mana mungkin dia memalsukan alamat rumahnya sendiri.
Dengan menghela napas lesu aku kembali ke motor dan kembali memakai helm. Hari ini benar benar tidak beruntung.
"Tunggu!."
Suara pak tua itu kembali terdengar dibarengi dengan suara pintu gerbang yang di buka dari dalam. Aku melepas helmku dan kembali menghampirinya.
Tapi ternyata, Nggak cuma pak tua itu yang datang. Seseorang yang aku cari juga ada di sana.
"Prei.. -"
"Mau apa kamu kesini. "
Dia sama sekali nggak terlihat ramah.
"Aku. .. Mau bicara sama kamu sebentar, bisa?. "
Dia terlihat berpikir sejenak dan menyuruh si pak tua tadi pergi dengan isyarat tangannya. Lalu memberiku anggukan dan menyuruhku masuk.
Aku berjalan mengikuti langkahnya. Saat melewati pintu gerbang besar itu, atmosfernya tiba tiba terasa berbeda. Apa begini ya rasanya masuk kerumah orang kaya? Mataku tak bisa berhenti menatap sekitar. Hamparan rumput yang luas, taman bunga yang berderet rapi dan sebuah air mancur ditengahnya dengan patung dewa yang membawa guci di atasnya, membuatku menganga takjub. Sampai tak sadar kalau Preinan menatapku heran sambil berkacak pinggang.
"Eh, nggak masuk ke rumah?. "
Tanyaku heran karena kami berhenti sampai pekarangan saja.
"Nggak usah, ngomong aja disini. "
"Ah, oke... "
Uh, aku tiba tiba bingung harus mulai dari mana. Dia terus menatapku dan membuatku tambah canggung.
"Kenapa?. "
"Anu, aku.. Mau minta maaf soal yang hari itu. Aku nggak bermaksud bikin kamu sakit... Ah, sama ini juga, aku bawain kamu makanan buat permintaan maafku."
Aku menyodorkan kantong makanan yang sedari tadi aku bawa. Tapi, dia hanya melihatku dengan tatapan aneh dan malah tertawa.
"Apa yang lucu?. " Aku sendiri nggak ngerti.
"Kamu pikir ini sepadan sama semua yang kamu lakuin?. " dia melangkah mendekat dan menarik kantong itu dari tanganku lalu melemparnya kesamping.
"Hei, kok kamu buang? Aku kan udah berniat baik minta maaf sama kamu. " aku sedikit terbawa emosi.
Makanan itu sebenarnya kue kering buatanku dan Mamah semalam. Sekarang semuanya kebuang gitu aja.
"Harga makanan itu aja nggak sebanding sama harga obat yang harus aku minum." dia bicara sambil menunjuk pada kueku yang berserakan dirumput.
Nggak disangka, ternyata sifat aslinya sangat menyebalkan. "oh, jadi kamu mau aku ganti rugi semua biaya berobat kamu?! Oke. Biar aku ganti semua... Berapa?!." kataku kepalang emosi.
"Yakin?. " dia mendekatkan wajahnya pada wajahku.
"Berapa emang, hah?!." kataku tegas
"Sembilan. "
Aku tertawa geli. Hihh, cuma sembilan ratus ribu.
"Juta. "
"Hah!!. " wtf obat apa yang harganya semahal itu. Dia pasti main main.
"kenapa kaget? Nggak sanggup?." wajahnya yang pernah ku anggap lucu itu sekarang jadi super menyebalkan.
Ah, sialan. Aku uang dari mana kalau sebanyak itu. Aku mencoba memikirkan hal lain yang mungkin sebanding dengan uang sembilan juta.
Aha!..
"Kita ganti aja, gimana?. "
Aku terpikirkan satu hal gila yang mungkin berhasil.
"Aku.. Kasih kamu tiga permintaan. Dan kita impas. Gimana? oke, kan?."
Eh, Dianya malah ketawa.
"Kenapa susah susah ngasih tiga permintaan kalo kamu cuma tinggal bayar sembilan juta aja. Udah deh, gak usah aneh aneh."
Dia bilang sembilan juta itu "cuma"? Gak waras!.
"Oke.. Oke, aku jujur aja. Aku nggak punya uang sebanyak itu. Jadi sebagai gantinya aku bakal ngelakuin apapun yang kamu mau selama itu bukan uang. "
"kerdengarannya sih oke. Tapi, nggak ada jaminan kalo kamu bakal ngelakuin semuanya."
"Denger yah, apapun itu pasti aku lakuin. Apapun.. Dengerin!.. Apapun!. " aku mencoba meyakinkan dia terus menerus.
Dia tertawa sampai menutup setengah wajahnya dengan tangan. Ah, dia masih saja meledekku...
"Oke, kalau gitu.. Kamu jadi pacarku. " katanya tiba tiba
Mataku terbelalak, kagetnya bukan main, lidahku juga beku seketika. Aku nggak ngerti lagi harus ngomong gimana.
Gila!!!
Dia ini benar benar orang gila!!
Aku menghela napas dan mengepalkan tanganku untuk memukulnya, tapi sebisa mungkin aku coba tahan.
Tenang, dia cuma becanda.
Tenang Rai..
"Heh, anak nakal. Dengerin ya! Segila apapun aku, aku nggak sudi jadi pacar kamu. Ohh... Sekarang aku tau. Jadi kamu suka aku ya. Tapi, mohon maaf dengan berat hati aku katakan kalo aku nolak kamu. Karna aku cowok lurus, pikiranku masih waras. Nggak kayak kamu yang aneh dan nggak tau sopan santun. Dan sekali lagi aku tegesin, ya. kalo.. -"
Brugg!!
Suara jatuh sangat keras.
Jantungku rasanya berhenti saat itu juga. Kemarahanku yang meluap luap tiba tiba membuyar entah kemana.
"Hei?!. "
Aku terduduk lemas di hamparan rumput dengan pikiran yang bingung. barusan itu apa? Aku menarik napas dalam dan berusaha lebih tenang dan dengan tangan yang gemetar mencoba meraih tubuhnya ke panggkuanku.
"Preinan. Hei! Ini nggak lucu. "
Aku menepuk nepuk pipinya dan mengguncang tubuhnya juga. Tapi dia sama sekali nggak bergerak. Matanya tertutup dan tubuhnya terkulai lemas dipangkuanku.
Kenapa dia tiba tiba pingsan?.
Aku benar benar sangat bingung...