Chereads / Love you, My Prince / Chapter 14 - Hari Pertama

Chapter 14 - Hari Pertama

.

.

.

Raiga POV

Hari pertama semester baru.

Seperti kebiasaan sekolah sebelumnya, aku berangkat dari rumah pukul 06.15. Karena jarak sekolah memang lumayan jauh. Aku menyapa Mamah yang sedang masak didapur. Lalu duduk di meja makan yang masih terlihat kosong.

"Maahhhh." aku merengek "Udah mau telat, kok belom siap sih.. " protesku dengan bibir cemberut.

"Sebentar dong, kan, tadi Mamah kesiangan bangunnya, jadi baru sempet masak." katanya dari arah dapur.

Huhhh.  Aku menghela lesu.

Akhir akhir ini mamah sering tidur larut dan bangun kesiangan karena banyaknya orderan kue kering yang harus dihandle. Waktu liburan semester sebenarnya aku sering bantu, tapi saat masuk waktu sekolah seperti sekarang, semua jadi mamah yang ngerjain sendiri. Dari mulai belanja, bikin kue, sama nganterin ke konsumen.

Kasian sih, tapi ya gimana lagi. Karena kita cuma hidup berdua.

Papah meninggal waktu aku SMP, dan itu bikin Mamah terpaksa bikin usaha untuk menafkahi keluarga.

"Nasi goreng aja, gak apa apa kan?." ucapnya sambil menaruh piring di depanku.

Lagi? Hampir seminggu ini sarapanku nasi goreng polos terus. Yang benar saja!.

Tapi, yang bisa kubilang cuma. "Iya, gak apa apa."

"Oh, iya. Hari ini pulangnya jam berapa?. "

"Jam 5 sore." jawabku agak lesu. Karena nasi gorengnya keasinan.

Ihhh moodku jadi jelek kalo makan makanan nggak sesuai selera. Kalo tahu gini, mending makan nasi uduk bu Ema deh. Tapi semua sudah terlanjur ku telan.

"Anter kue ke bu Lastri ya? Mamah nggak sempet."

"Mm," jawabku singkat lalu minum segelas air putih sekaligus.

"Berangkat dulu."

Aku mencium tangan Mamah lalu mengambil kunci motor diatas meja.

Sebenarnya moodku kacau bukan gara gara nasi goreng saja, tapi dari hari sabtu lalu, saat puncak acara penerimaan siswa baru berakhir.

[ Flashback ]

"Eh, brengsek!!. Sakit jiwa, lu?!."

Aku terkejut saat tiba tiba dia mendorongku dengan keras sampai aku jatuh tersungkur.

Aku mematung seketika.

Sialan!!! Apa yang barusan aku lakuin?

Dia terlihat kesal sembari mengelap bibirnya dengan kasar.

"Prei, jangan! Ngusapnya jangan kayak gitu. Nanti bibir kamu bisa berdarah." tegurku sembari menarik paksa lengannya.

"Nggak usah pegang pegang!!." protesnya keras dan menepis tanganku.

"Aku minta maaf. Aku... Aku nggak bermaksud. Aku cuma... Sedikit kebawa suasana." Ujarku sedikit mengada ngada.

Karena kenyataannya, aku memang bernafsu tadi. Tapi, aku nggak menyangka kalo Preinan bakalan setidak suka ini.

Tanpa mendengarkan penjelasanku, dia pergi begitu saja.  Meninggalkanku dengan kebingungan kebingungan yang berputar di kepala.

Hhhh...

....*

"Rai!." suara Erik membuyarkan lamunanku. Aku baru saja melangkahkan kaki ke dalam ruang kelas baru. Dan dia sudah menyapaku. Dia terlihat melambaikan tangan dari tempat duduk paling belakang.

"Kok, duduk disini?." Tanyaku heran saat sampai di depannya.

"Emang harusnya dimana?." dia malah balik bertanya.

"Oh, Iya. Aku lupa kalo kamu autis." jawabku lesu lalu duduk di sampingnya.

"Eh, masih pagi itu mulut udah pedes aja." sahutnya protes.

"Biarin."

"Kenapa, sih. Raiga culunku ini ngedumel melulu?." dia bertanya sambil menggodaku.

"Nggak apa apa!."

"PMS, ya?." lanjutnya sambil mencolek ketiakku.

"Ck, nggak usah kepo, deh." aku mendecak risih

Dia tertawa sejenak dan membenarkan posisi duduknya karena guru sudah masuk ke dalam kelas.

"Pagi semuanya." sapa ibu Rossa.

"Pagi, buuu."

"Hari ini, kita belum mulai belajar, ya. Karena... "

Ibu Rossa berbicara dengan ceria di depan sana. Tapi, aku malah tak bisa benar benar fokus.

Aku hanya menggaruk garuk kepala karena bingung sendiri.

"Cerita aja kali. Dipendem sendiri jadi jerawat, loh." kata Erik tanpa melihat kearahku.

"Heuh, gimana mau cerita. Aku aja malu ngingetnya." bisikku pelan.

"Ya, omongin aja. Daripada stres sendirian. Kan, nggak enak."

Erik benar, mungkin dengan bicarain ini sama orang lain, bebanku bakal sedikit berkurang.

"Euh, anu..." aku tiba tiba gugup sendiri.

"Apa!!." dia mulai terlihat penasaran.

Aku menghela napas sejenak lalu mendekat kearah telinganya. "Aku, nyium seseorang."

"Hah?!."

Seketika seisi ruangan melihat ke arah kami berdua.

"Jangan berisik, dong." protesku pelan sambil mencubit pahanya.

"Ada apa dibelakang?." ibu Rossa melihat kearahku.

"Nggak ada, bu. Erik tadi lagi ngelamun. Jadi saya cubit dia. Maaf, silahkan dilanjutin bu." Kataku sambil tersenyum kecut.

"Kamu, nyium siapa?." Bisik Erik yang tambah terdengar penasaran.

"Nyium tembok!." sahutku ketus. "Udah, lupain aja."

"Kampret, bikin penasaran aja, sih."

....*

Preinan POV

"Hallo, nama aku Panji. Senang bisa kenalan dengan kalian." Ucap seseorang yang duduk di sebelahku sambil menyatukan tangannya di dada.

Hari ini, aku masuk kelas 10 IPA 1. Yang akan menjadi kelas belajarku selama setahun kedepan. Tapi, sebelum materi pembelajaran di sampaikan, kami wajib memperkenalkan nama kami masing masing sesuai urutan tempat duduk.

Dan sekarang adalah giliranku, aku berdiri dan menyatukan kedua tangan didada sambil tersenyum ramah. "Hai, aku Preinan. Senang bisa berkenalan dengan kalian semua." lalu duduk kembali.

Dan setelah siswi terakhir selesai memperkenalkan diri. pak guru kembali bicara. "Nah, anak anak. Untuk tugas pertama kalian sebagai murid baru disini, kalian harus buat karangan cerita tentang pengalaman kalian di masa orientasi kemarin. Tugasnya harus selesai hari ini juga, ya. Bapak tunggu di kantor."

Hah?! Aku spontan saja tertawa. Karangan cerita? Apa yang bisa aku tulis kalau aku sendiri tidak ikut acara itu sama sekali?.

Lucu!!...

Selama beberapa menit aku hanya mengetuk ngetuk ujung pulpen di atas meja. Lembar jawabanku masih sangat bersih, belum ternodai tinta sedikit pun. Lagi pula, apa yang mau aku tuliskan?

"Hei, Preinan? Kamu nggak ngerjain?." tanya seseorang yang duduk sebangku denganku. Namanya Abi.

"Bingung." jawabku lesu.

"Kenapa? Kamu nggak ikut acaranya?."

Aku mengangguk pelan.

"Yah, kalo gitu, mah. Aku nggak bisa bantu."

"Nggak apa apa, kamu lanjut tulis ceritamu aja."

Dia terdiam sesaat, sambil memandangiku. Lalu, kembali lagi pada tulisannya.

Kalau emang harus dikumpulin, aku bakal tulis apa adanya saja. Toh, aku memang mengikuti acaranya meski cuma sebentar.

Aku membenarkan posisi dudukku, lalu mulai mengguratkan tulisan. Abi sedikit heran melihatku, tapi dia hanya menggeleng acuh tanpa bertanya apapun.

Dear, Raiga yang brengsek.

Aku harap guru bakal baca ceritaku, dan menjatuhkan hukuman untukmu.

.....*

Bel istirahat berbunyi. Kami menutup buku lalu memasukkannya ke dalam tas. Saat pak guru keluar dari kelas, Abi menepuk bahuku.

"Ke kantin, yu?."

Sebenarnya aku sedikit risih karena dia bertingkah seolah kita sudah berteman lama. Tapi, aku tidak berani untuk protes.

Aku menggeleng pelan. "Aku mau ke toilet."

"Biar aku anterin, terus nanti kita ke kantin bareng. Oke?."

Ahhh... Aku tidak bisa menolak.

"Oke."

Sepanjang kami berjalan di kolidor, aku melihat lingkungan sekolah yang ramai dan harmonis. Suasananya tidak begitu buruk seperti dugaanku dulu. Disini ternyata cukup menyenangkan. Meski aku masih merasa sedikit canggung.

"Aku tunggu disini, ya." kata Abi yang berhenti di depan pintu toilet.

"Oke." aku langsung masuk begitu saja tanpa menyadari ternyata seseorang juga hendak keluar. Alhasil, tabrakan pun tak terhindarkan.

Aku spontan meremas pakaiannya saat tubuhku sedikit oleng. Dan dia pun dengan sigap memegangi pinggangku.

"Nggak apa apa?." aku terkejut saat orang itu bicara. Dia terdengar seperti...

Raiga!!

Aku dengan cepat melangkah mundur dan melepaskan seragamnya.

Setelah kejadian kemarin lalu, aku tidak mau lagi melihat wajahnya. Jadi aku memalingkan wajah dan mendiamkannya.

"Hei..."  dia masih bicara ke arahku, tapi aku tidak mau membalasnya.

Abi yang melihat tingkah aneh kami, hanya mengerutkan alisnya karena aku yakin dia pasti kebingungan.

"Aku, nggak jadi ke toilet. Kita langsung ke kantin aja." kataku sambil menarik lengan Abi dan meninggalkan Raiga yang masih berdiri didepan toilet.

"Preinan!."

Ah, sialan. Kenapa dia harus memanggil namaku di depan Abi?! Tanpa menghiraukannya, aku mempercepat langkah kakiku.

"Kamu, kenal sama dia?." Abi terlihat penasaran.

"Nggak!." jawabku ketus.

Ahhhhrrgggttt.....  dia itu benar benar sangat menyebalkan.