Preinan POV
"Prei!." teriak Abi sambil melambaikan tangannya di depan wajahku. Membuatku seketika tersadar.
"Hah?."
"Ngelamun mulu, kenapa sih?." tanyanya dengan wajah yang terlihat heran.
"Ah, nggak apa apa. Kamu, lanjutin makan aja." jawabku kikuk.
Aku dan Abi sedang makan batagor dikantin. Suasananya begitu ramai dan berisik karena banyak orang yang berkumpul dan mengobrol disekeliling kami tapi aku tidak sadar sejak kapan aku melamun.
Aku mengais ngais batagor yang ada dipiringku. Malas sekali makan makanan yang bentuknya seperti muntahan sapi ini. Tapi, Abi terus memaksaku membeli makanan yang sama dengannya. Dasar pemaksa.
Kalau bisa memilih teman, aku akan memilih siapapun selain dia. Heuh, lihat saja cara makannya. Jorok. Dan berisik seperti anjing.
"Ck, nggak nafsu." aku berdecak dan membanting garpu ke atas makananku. Dan sontak membuat Abi terheran heran.
"Eh, kenapa? Nggak enak, ya?."
"Aku nggak suka batagor." sahutku sedikit tegas
"Mau beli yang lain?." tanyanya sambil menyedot jus alpukat yang sudah hampir habis.
Aku mengangkat tanganku dan melirik jam. "Nggak, ah. Waktu istirahatnya udah mau abis."
"Tapi, kamu kan belum makan apa apa."
"Nggak apa apa. Kamu udah selesai, kan? Balik ke kelas yuk?!." kataku sedikit menuntut
Dia menggangguk dan meminum tetesan terakhir jusnya "Yaudah, yuk."
...*
Krruuukkk... Krruukkk... Kkrruukk...
Uh, nyesel tadi nggak makan. Sekarang pas guru lagi ngajar, perut malah keroncongan.
Aku memegangi perutku supaya suara laparnya tidak terlalu terdengar. Tapi, sepertinya Abi sudah bisa menebak situasiku.
"Laper, ya?." tanyanya sambil bisik bisik.
"Nggak." jawabku sedikit gengsi.
"Kalo mau, kita ijin ke toilet aja. Terus nanti ke kantin."
"Nggak mau, ah. Takut ketauan."
"Ck, nggak bakalan, percaya deh." seperti dugaanku, dia selalu memaksa.
Aku hanya menggelengkan kepala tanpa menjawabnya lagi. 'Males banget ngomong sama orang kukuh kayak dia. Mending nahan lapar sampai bubar sekolah daripada diem diem pergi ke kantin'.
...*
Akhirnya... Bel tanda pulang pun berbunyi. Aku buru buru memasukkan buku dan alat tulisku ke dalam tas. Karena tak sabar ingin pulang dan makan sesuatu yang lebih manusiawi dari muntahan sapi kesukaan Abi.
"Kamu, pulang naik apa?." suara dari orang yang sama yang membuat hariku terasa menjengkelkan. Dia yang sudah selesai membereskan barang miliknya kini berdiri dan melihat ke arahku.
"Dijemput."
"Mau bareng aku nggak?."
"Aku bilang aku dijemput." sahutku sedikit geram.
"Oh, yaudah. Kalo gitu aku duluan ya." katanya sambil melambaikan tangan dan pergi meninggalkanku.
'Tumben nggak maksa'
"Preinan!." suara dari belakang membuatku menoleh.
Itu teman sekelasku, tapi aku tidak ingat siapa namanya.
"Iya?."
"Ada yang nutipin ini buat kamu." dia menyodorkan plastik bening yang isinya seperti box makanan.
"Dari siapa?." tanyaku saat menerima plastik itu.
"Dari senior."
"Hah? senior yang mana?." aku heran karena aku sendiri tidak kenal siapapun di sekolah ini.
"Aduh, nggak tau. Lupa namanya siapa. Yaudah terima aja, lah. Aku lagi buru buru nih. Mau balik."
Hah.. Bikin penasaran aja. "Yaudah, makasih."
.....*
aku memandangi bungkusan plastik ini sambil berjalan menuju gerbang tempat pak Eko menungguku.
Isinya seperti cookies atau mungkin kue coklat, entahlah. Aku sendiri nggak terlalu yakin.
Pak Eko membukakan pintu mobil belakang untukku, dan aku langsung memberikan plastik itu padanya.
"Ini apa?." tanyanya bingung.
"Buat bapak aja, tadi ada yang ngasih."
Dia terlihat sedikit penasaran dan langsung membuka isinya. Dan ekspresi wajahnya tiba tiba berubah.
"Kue kering? Buat saya, tuan? Ah... Terimakasih. Anak saya suka banget sama kue kue seperti ini." katanya dengan senyum semringah.
Aku berdecak "Ck, seseneng itu ya dapet kue? Emang gaji bapak nggak cukup apa buat beli begituan?."
Dia memberiku senyuman kecut. "Cukup kok tuan. Saya cuma seneng karena ini kali pertamanya tuan ngasih saya sesuatu."
"Mm, nanti aku bakal sering sering ngasih sesuatu buat pak Eko, tapi bisa nggak kita pulang sekarang? Aku laper."
"Ah, iya. Maaf tuan." dia menutup pintu mobil dan menyalakan mesinnya.
Daripada memikirkan rasa lapar yang menguasai perutku, aku lebih penasaran dengan orang yang memberiku makanan itu.
Siapa ya...
Si Raiga?
Haha, aku jadi geli sendiri.
Kalau memang dia, ini benar benar sangat konyol.
Apa dia benar benar sesuka itu padaku?
*****/
Raiga POV
Ddrrtt.... Ddrrtt... ddrttt....
"Tumben banyak yang chat." gumamku pelan sambil merogoh ponsel di atas nakas.
Jam dilayar menunjukan pukul 11.00 malam. Dengan beberapa notifikasi chat dari nomor tak dikenal.
08xxxx
( Aku pesan kue coklat 150 buah, kue vanilla 100 buah dan kue keju 100 buah)
...
(Aku tunggu jam 06.00 didepan sekolah)
...
(Jangan terlambat)
...
Aku berdecak "Ck, Paling cuma orang iseng, lagipula gimana aku bisa percaya kalo dia itu pelanggan beneran."
Aku meletakkan ponselku kembali tanpa membalas pesannya dan merebahkan tubuhku di kasur sambil menunggu rasa kantuk. Tapi, tak lama ponselku bergetar lagi. Aku menghela napas. Jika itu pesan dari nomor yang sama, aku akan balas dengan langsung memakinya.
08xxxx
( Jangan kira kalau aku bohong, aku udah siapin uang buat bayar kamu besok)
...
One pict'
Aku terkekeh, dia ini kurang kerjaan atau emang nggak waras?
Replay ~ { kamu siapa? }
08xxxx
(Preinan)
What!!!!
Replay ~ {Kamu dapet nomorku dari mana? }
08xxxx
(Apa itu penting? Kamu harusnya mulai bikin kue pesananku, atau nanti bakalan nggak keburu)
Replay ~ {Kamu serius? }
08xxxx
(😑)
Replay ~ { Iya, oke oke aku percaya }
...
Aku melompat dari tempat tidurku dan langsung pergi ke kamar Mamah. Pintu kamarnya sedikit terbuka, jadi aku tidak perlu mengetuknya lagi.
Aku membuka pintu itu perlahan, biasanya Mamah tidur sangat larut, makanya kali ini aku mau meminta bantuannya untuk membuat kue pesanan Preinan. Tapi, langkahku berhenti segera saat aku melihat bahwa Mamah sudah tidur.
Hah... Bagaimana ini?
Mau tak mau aku akan mambuatnya sendirian.
Aku menutup pintu kamar Mamah perlahan agar tidak mengeluarkan suara yang bisa membuat Mamah bangun.
Jika aku tolak pesanannya, aku akan menyesal. Karena bagaimana pun aku dan Mamah memang sangat butuh uang. Tidak apa apa, deh. Untuk kali ini biar aku yang buat semuanya sendiri.
....*
Jam dinding sudah berputar kearah 03.45
Sudah hampir subuh dan aku belum menyelesaikan semuanya. Sebenarnya tinggal 50 kue keju saja, tapi mataku sudah tidak kuat lagi untuk terjaga dan aku juga sudah menguap berkali kali.
Tidak!! Jangan ketiduran!
Aku menampar pipiku sendiri saat mataku terpejam selama beberapa saat. Untung suara oven yang menandakan kueku sudah matang itu berbunyi nyaring. Jadi, aku bisa kembali tersadar.
"Rai?! Kamu lagi ngapain di dapur?."
Suara Mamah tiba tiba membuatku kaget.
"Lagi bikin kue, Ma." jawabku gugup
"Kue buat siapa? Kok nggak kasih tahu Mamah?." tanyanya heran sembari memakai kain celemek dan berjalan ke arahku.
"Temenku pesen, Mah. Tapi, Mamah udah keburu tidur. Yaudah, aku kerjain sendiri aja. Kan, sayang kalo pesenannya ditolak."
"Kamu nggak ngantuk apa? Sini biar Mamah yang terusin. Kamu mending lanjut tidur aja." katanya dengan langsung mengambil alih loyang kue yang aku pegang.
"Nggak apa apa?." tanyaku sedikit ragu.
"Iya nggak apa apa. Nanti kalo sampe kamu ngantuk waktu nyetir kan bahaya." lanjutnya tegas.
Aku menghela napas lalu membuka kain celemekku yang kotor dan meletakkannya ke atas meja makan. "Yaudah, Rai tidur, ya, Mah."
"Mm," jawabnya singkat tanpa menoleh ke arahku.
.....*
Ahhhh.. .. Akhirnya bisa tidur. Sejam juga tidak masalah daripada tidak tidur sama sekali.
Aku menjatuhkan diriku dikasur dan merogoh ponsel yang ada diatas nakas. Untuk berjaga jaga agar tidak kesiangan. Aku menyetel alarm terlebih dahulu.
Sip..
Semua sudah beres.