Raiga POV
"Raiga!!! Kesambet ya?! Kok malah ngelamun sih."
"Ah, iya kenapa?. " aku sedikit tersentak saat Fiya menepuk bahuku.
Kami dan anggota panitia lain sedang istirahat makan siang diruang osis. Suasananya sangat ramai tapi entah kenapa pikiranku malah terfokus pada anak nakal yang kami pergoki tadi.
Anak itu, dari yang terakhir ku lihat dibawah cahaya jalan, sekarang terlihat sangat berbeda. Ah, aku tidak mengerti sebenarnya apa yang sedang aku pikirkan.
Sampai aku menemukan wajah si nenek sihir begitu dekat dengan wajahku. Sangat mengagetkan.
"Kan tadi aku tanya, anak yang kabur itu enaknya dikasih hukuman apa? Kamu malah bengong kayak ayam. "
"Terserah, kan kamu yang jadi pimpinan regu. Kok nanya aku. "
"Rai, mau nitip ketomprak nggak?. "
Si rambut pirang Fadiah bertanya saat berjalan keluar ruangan.
"Nggak, nanti aja. Santai. "
Aku mengangkat tanganku ke udara untuk menolak.
"Oke."
"Nih, ya. Kalo disuruh bersihin toilet kayaknya nggak mungkin... Enaknya apa, ya?. "
Dia masih terlihat berpikir keras. Ujung jarinya mengetuk ngetuk permukaan meja.
"Kenapa nggak?. "
Tanyaku sambil memakan kacang garing sisa si Erik.
"Ya, kasian dong. Dia kan ganteng. "
Mendengar kalimat barusan aku langsung melempar kulit kacang padanya. "Gak ada hubungannya ya, nenek sihir. "
"Suka suka aku lah. Wlee."
Dia menjulurkan lidah padaku.
Hihh, sok cantik.
Dia kembali terdiam beberapa saat dan tiba tiba menggeser kursi yang dia duduki dengan kasar. Membuatku tersentak kaget.
"Ngapain, sih. "
"Aku tahu, mau kasih dia hukuman apa. Aku samperin dia dulu deh. Mau ikut nggak?. "
Katanya sambil berdiri dan berjalan ke ambang pintu.
"Nggak!. "
Jawabku ketus
"Yee, biasa aja kali. "
Dia menjulurkan lidahnya lagi dan langsung ku serang dengan kulit kacang. Sial, dia menghilang dengan cepat. Tapi, setidaknya dia sempat kena tembakanku sebelum pergi.
Entah kenapa pikiranku mendadak kacau setelah bertemu anak nakal tadi. Aku masih ingat betul bagaimana aku mengumpulkan nyali untuk menolongnya malam itu. Eh, tapi dia bahkan tidak berteimakasih sama sekali. Menyebalkan. Ditambah perlakuan orangtuanya yang tidak sopan membuatku sedikit menyesal karena membantunya.
Kalo tuhan kasih aku kesempatan, ingin rasanya aku memberi dia sedikit pelajaran. Hah, tapi sayang keinginan seperti itu kayaknya tidak akan pernah bisa terwujud.
Aku menempelkan daguku diatas permukaan meja. Kacang garing sisa Erik sudah habis. Dan orang orang yang ada diruagan ini semua sibuk dengan ponsel masing masing. Hah, mungkin cuma aku yang merasa bosan sendiri disini. Aku jadi sedikit penasaran dengan Fiya. Kira kira dia bakal kasih hukuman apa ya..
Eh? Wait.. .
Sedetik kemudian sesuatu seperti ilham tiba tiba melintas di otakku, aku langsung berdiri dan mengejar Fiya. Aku tahu sekarang apa yang bisa aku lakukan. Haha, aku tidak sangka otakku bisa berpikir sampai kesana. Yang jelas ini adalah ide yang bagus.
"Fi!!."
Aku menepuk pundak Fiya saat dia baru saja akan membuka suara pada anak nakal yang kini sedang berdiri di depan tiang bendera.
Sudah kuduga si nenek sihir hanya akan menghukumnya dengan ringan.
"Kenapa?!. "
Dia dan si anak nakal itu menatapku dengan aneh.
Aku meliriknya sejenak dengan sinis, dia terlihat mengerutkan alis dan melihatku dengan canggung.
"Biar aku yang kasih dia hukuman. "
Kataku sambil terus menatap pada anak laki laki bermata abu abu itu. Sial, kenapa dia malah terlihat sok ganteng.
"Katanya bukan urusanmu. "
"Sekarang urusanku."
"Yaudah, terserah. Mau dihukum apa emangnya? Hormat bendera seharian? Atau bersihin toilet?."
Hoho, lebih dari itu. Aku yakin kamu excited.
"Nggak, bukan itu. Aku mau... Dia jadi asistenku selama 4 hari kedepan. "
"What?!. " Fiya berteriak di depan telingaku.
Ekspresi kaget si nenek sihir ini terlalu overacting.
Aku mengusap telingaku yang penging lalu kembali menatap si anak nakal itu dan melihat ekspresi anehnya. Dia terlihat terkejut. Alisnya berkerut karena bingung dan ekspresi wajah kagetnya yang polos membuatku geli sendiri. Sial, dia malah terlihat semakin lucu.
Oke fokus Rai!. Itu nggak akan bertahan lama. Sebentar lagi wajah sok innocent nya itu bakal berubah menjadi raut muka kesengseraan.
Haha, bisa apa dia sekarang? Hidupnya kini sudah terikat denganku.
...
"Pregnant! Sini kamu. "
Dengan bingung dia menunjuk diri sendiri seolah bertanya padaku.
"Iya. Aku manggil kamu. "
"Tapi, nama aku Prei.. -"
"Bodo amat. Itu nggak penting."
Dia mulai berjalan menghampiriku dengan wajah sedikit menunduk. Apa dia takut? Aku bahkan belum ngapa ngapain dia. Dasar bocah.
Aku mengangkat dagunya dengan jari telunjukku. Agar dia menatap langsung padaku. Tinggi badannya sedikit pendek dariku. Makanya dia harus sedikit mendongkak saat menatap wajahku.
Mata abu abunya yang bulat terlihat bergetar saat melihatku, bibir tipis merah muda yang mengkilap dan rona pipi yang merah padam karena malu. Membuat dia sangat terlihat menggemaskan dari jarak sedekat ini.
Sial, kenapa malah aku yang terpesona.
Eh, huss.. huss.. Fokus Raiga fokus!.
"Kamu... Ambil semua kardus yang isinya alat lomba di gudang. Semuanya, ya. Jangan sampe ada yang ketinggalan. Oke? Dan taro dipinggir lapangan. "
"Oke. "
Dia berjalan melewatiku, tapi wangi parfum dari tubuhnya masih sedikit tertinggal.
Hahh, bau tubuhnya sangat enak.
Tapi, aku tidak akan terpengaruh, mau seharum apapun, atau seganteng siapapun dia, aku tetap tidak akan membuat hidupnya mudah dalam 4 hari kedepan. Lihat saja, pembalasan apa yang bakal aku kasih atas ketidaktahudirian dia waktu itu.
Setelah semua kardus itu dirapikan dipinggir lapangan, aku memanggilnya lagi.
"Ada apa lagi?. "
Napasnya terengah engah saat menghampiriku.
"Kamu coba pergi lantai paling atas, terus keperpustakaan di sudut sana dan ambil beberapa berkas yang ditumpuk dekat rak buku paling pojok. "
"Hah? Gimana? Aku nggak ngerti. "
Wajahnya celingukan mengikuti alur telunjukku yang menunjukan arah.
"Aduh, masa nggak ngerti sih. "
"Aku kan belum tahu tempat tempat di sekolah ini. Dan lagi, lantai paling atas kan lantai 4... Jadi-."
"Jadi apa?! Jadi kamu harus naik tangga kelantai 4, bawa barang yang aku minta terus turun tangga lagi dan temuin aku diruang osis. Segitu, udah ngerti?!. "
Aku menjelaskan sambil mendekatkan wajahku padanya.
Dia terlihat tertegun sesaat, lalu melangkah sedikit mundur. Pipinya tiba tiba merah padam. Hah, aku sangat suka saat wajahnya seperti itu.
"Iya iya... Aku kerjain. "
Dia menghela napas lalu berjalan dengan kesal melewatiku. Aku sedikit tergelitik, tingkahnya seperti anak TK yang ngambekan.
Fiya menatapku dari ujung koridor sambil melipat tangannya di dada. Sepertinya dia sedang kesal. Dia terlihat menghela napas sebelum berjalan kearahku.
"Heh, iga babi!. "
Sesampainya dia padaku, dia tiba tiba memukul kepalaku.
"Apasih, Fi. "
Aku mengelus elus kepalaku yang perih.
"Kira kira dong kalo ngehukum anak orang. Kamu gak kasian apa. Liat dia! udah kecapean gitu masih aja disuruh suruh. " bibir emak emaknya mulai menceramahiku.
"Ya, terserah aku dong. Lagian kan dia emang pantes dihukum. "
"Dihukum apanya. Itu namanya disiksa. Lagipula dia cuma bolos setengah hari. Kenapa mesti dihukum sampe acara selesai? Gak adil banget sih. "
"Dah lah, diem aja. Kamu gak tau dia itu orangnya kayak apa. Sekali kali mesti dikasih pelajaran biar tahu diri. "
"Emang kamu kenal dia?. "
Dia mengerutkan alis dan mendekatkan wajahnya padaku.
"Ya, nggak juga, sih. Aku cuma pernah ketemu dia sekali."
"Terus? Kamu udah sok nilai dia gituh? Hih... Dasar aneh. "
"Ya udah sih kamu kan gak tau kejadiannya kayak apa. Jadi gak usah ikut campur!."
"Yaudah TERSERAH. Aku nggak ikut tanggung jawab ya kalo kamu nanti dapet masalah."
Mata sipit dibalik kacamata tebalnya menatapku dengan sinis.
Siapa yang peduli dengan ocehannya itu.
Lagipula aku nggak akan dapet masalah apapun cuma karena ngerjain dia.
Si nenek sihir ini, kadang kadang emang suka berlebihan.
....
Waktu berputar ke arah jam 5 sore. Acara tour keliling dan pengenalan setiap inci sekolah sudah usai digelar. Anak anak dari setiap regu hampir pulang semua setelah selesai mengerjakan tugas yang kami berikan.
Tapi, lain cerita dengan si anak nakal yang kini jadi asistenku. Dia tetap akan bersamaku sampai aku pulang nanti. Walaupun aku tidak yakin akan pulang kerumah hari ini. Karena banyak sekali hal yang harus diurus untuk acara selanjutnya besok.
"Hei kamu!. Sini. "
Aku memanggilnya saat dia keluar dari toilet.
Dan dia menghampiriku yang sedang berkumpul dengan anggota panitia yang lain di lapangan.
"Siapa nama kamu tuh, aku lupa. Ahh, pregnant... Iya ya. Tolong beliin kami air dong ditoko depan sekolah. Soalnya kantin udah tutup. "
"Hehh, manggil nama orang sembarangan banget. "
Kata si gendut Gial. Dia salah satu anggota panitia juga.
"Suka suka lah."
"Rai, apa kamu nggak berlebihan? Liat dia udah cape gitu masih aja kamu kerjain. "
"Heem, mukanya juga udah pias. Kasian. "
"Hei, Preinan. kamu udah makan?. Makan aja dulu yuk. Bareng kita. "
Tiba tiba semua perhatian orang orang tertuju pada si anak nakal ini. Ah, walaupun aku akui aku sedikit kejam padanya. Tapi semua respon orang orang terhadapku sangat berlebihan.
"Kalian apa sih. Lebay banget. Dia itu cowok! Gausah diperlakuin kayak cewe lemah yang manja. Udah deh."
"Sejak kapan sih, kamu jadi kejam kek gini Rai. Seumur umur aku baru liat kamu hukum anak orang kayak gini. "
"Ya... Karena dia kan, emang udah sepantesnya dapet h-hukuman." gelagatku semakin kikuk saja saat semua mulai menatap padaku.
Apa yang salah disini. Aku hanya menghukumnya meski sebenarnya sekaligus balas dendam. Tapi, kenapa? Semua orang seolah menganggap aku yang jahat. Hah. Meski aku pun sebenarnya merasa begitu.
Mulai dari tadi siamg hingga saat ini, aku bahkan tidak membiarkannya duduk untuk beristirahat. Aku juga tidak tahu, dia sudah makan atau belum.
Hah... Aku benar benar merasa jahat sekarang.