"Sekarang, karena dia udah dihukum seharian. Mending kamu biarin dia pulang. iya nggak?." Erik menepuk pundakku dan semua orang mengangguk.
Aku menatap si anak nakal, penampilannya sudah terlihat kusut dan berantakan. Mungkin benar kata Fiya tadi. Yang aku lakukan memang menyiksanya. Hahh, bahkan aku tidak menyadari dia sudah terlihat sangat buruk. Wajahnya yang putih pucat kini terlihat sangat lelah.
Aku menekan perasaanku sebelumnya padanya. Dan kini aku sudah ikhlas memaafkan perbuatannya waktu itu. Dan mulai sekarang, aku memutuskan akan membebaskan dia.
"Kamu udah makan?. "
Pertanyaan itu keluar dari bibirku begitu saja. Pandanganku dari wajah lelahnya masih tak bisa terlepas.
"Hah?. "
Lucu sekali, bahkan dia sendiri terlihat kaget saat aku bertanya begitu. Dan menggelengkan kepala.
"Yaudah, setelah beli air di depan kamu bisa makan bareng kita. Oke?. "
Sekarang nada suaraku terdengar berubah lembut.
kemudian dibalas anggukan.
...
"Oh, ya besok acaranya gimana?. Udah rampung?."
aku membolak balik file yang ada diatas meja. Dan menatap serius pada setiap anggota rapat.
kami mengadakan rapat dadakan sebelum makan malam untuk membahas program acara besok.
"Semua persiapan udah oke kok, gak ada masalah. " Kata Gial dengan santainya.
"Heem, besok kita bakal ngadain games biar mereka tahu lebih banyak soal sekolah kita."
"Bagus deh, jadi malem ini kita gak perlu gadang disekolah. " Aku menutup file besar dihadapanku yang bertanda rapat dadakan ini sudah berakhir.
"Tapi, Rai. Soal konser penutupan di hari keempat itu kita belum nemu bandnya, loh."
Kata Fadiah yang tiba tiba membuatku kaget.
"Eh, serius?! Bukannya kita udah deal sama bandnya marko?. " Aku menempelkan kedua siku diatas meja. Bersiap mendengarkan penjelasan
"Mereka batalin kemaren, katanya ada job yang bayarannya lebih gede di hari yang sama. Makanya sekarang kita bingung. "
"Lah, kok mereka gitu sih.. Kan udah ada perjanjian dan mereka juga-."
aku mengebrak meja dan berniat melayangkan protes sesaat sebelum hal lain mengalihkan pokus kami.
Tok! Tok! Tok!
Pintu ruang osis terdengar diketuk pelan.
Aku menghentikan pembicaraanku dan berpaling pada seseorang dibalik pintu yang berjalan sempoyongan sambil menyangga tubuhnya pada dinding.
"Maaf baru dateng, i-ini air kalian. "
Suara serak itu terdengar parau.
"Preinan! Hei kamu kenapa?. "
Fiya langsung berdiri dan berlari menghampiri si anak nakal yang berjalan kearah kami sambil meremas perutnya.
"Rai!! Sini cepetan. " Aku menggeser kursi dan ikut berlari ke arahnya. saat semua terlihat tidak beres.
"Hei, kenapa. " aku terbawa panik karena Preinan tiba tiba jatuh kelantai bersamaan dengan botol botol air yang ia bawa.
"S-Sakit... hiks."
Dia terus meringkih sambil menekuk perutnya ke lantai. Wajahnya berkeringat dan bibirnya terlihat gemetar.
Fiya mencoba membantunya bangun perlahan tapi dia malah semakin meringkukkan tubuhnya.
Hah... Aku tidak punya pilihan lain. Aku menggeser Fiya dan mengambil alih tubuh Preinan. Dia yang semakin mengerang kesakitan, membuatku tambah merasa takut.
Aku melingkarkan tangannya dibahu, merangkul pinggangnya dan membopong tubuhnya naik.
"Tenang... tahan sebentar, ya. Kita ke klinik sekarang." Aku mencoba menenangkannya meski aku sendiri sebenarnya tidak tenang sama sekali.
"Rai ...." si Fiya malah terlihat kebingungan dan mulai menangis. Membuatku semakin takut saja.
"Aduh, Fi. Jangan nangis deh. Mending kamu ikut aku nyari taksi terus bawa dia ke klinik. Ayo.!"
"Biar aku yang anter, aku bawa mobil. "
Fadiah berjalan ke arah kami.
Aku mengangguk dan berjalan dibelakang setelahnya. Fiya mengikuti langkahku sembari terus menatapku dengan cemas.
"Fi, kamu temenin aku, ya."
Fiya menatapku dan terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan.
Aku memegangi tubuh Preinan lebih kuat. Dia sedari tadi meremas remas bajuku begitu erat, seolah menahan rasa sakit yang teramat. Tubuhnya tambah gemetar dan peluh mengalir deras dipelipisnya. Membuat hatiku ikut merasakan sakit melihatnya.
Ingin rasanya aku berlari lebih cepat. Tapi lututku malah terasa melemas. Rasanya seperti akan jatuh tiba tiba. Tapi, aku tahan. aku coba paksakan sedikit lebih lama.
Kami menaiki mobil Fadiah dan langsung pergi ke klinik terdekat. Aku terus memeluknya sepanjang jalan berharap rasa sakit yang dia alami berkurang.
Aku menggenggam tangannya yang gemetaran. Rasanya begitu familiar. Sama seperti pertama kali aku memegang tangannya malam itu. Gemetar dan basah. Hanya saja hari ini. Aku, yang merasakan takutnya.
....
"Rai, minum dulu. "
Fiya berdiri di depanku dan memberiku sebotol air. Sudah setengah jam setelah Fadiah pulang, aku duduk di depan ruangan tempat Preinan dirawat. Dan Fiya masih menemaniku. Dia duduk disampingku dan terus memegangi tanganku.
"Kenapa? Kamu takut?. "Dia bertanya dengan suara yang lembut.
Apa wajahku terlalu jelas menunjukannya?.
Aku menggeleng pelan
"Nggak, bukan takut. "
Aku menoleh kearahnya dengan mata yang mulai terasa panas. Dan dengan perasaan aneh yang tiba tiba memenuhi hatiku.
"Aku cuma merasa bersalah, Fi... Aku nggak tau kalo semuanya bakal berakhir kayak gini. " Mendengar suaraku, Fiya memegang tanganku lebih erat. Dia menghela napas lalu tersenyum semu kearahku.
"Nggak apa apa. lagipula, kita semua pun nggak tau kalo kejadiannya bisa sampai kayak gini. Udah... Gak perlu merasa bersalah terus. " Dia mengusap bahuku dan sekaligus menenangkan hatiku.
"Mm, makasih. Oh, iya. udah malem. Kamu pulang duluan aja."
"Kamu yakin? aku masih bisa kok nemenin kamu." tawarnya sedikit memaksa.
"kamu pulang aja... Lagipula, orang tua dia bakal dateng sebentar lagi. Jadi, gak usah khawatir. " Dia masih terlihat ragu, tapi aku memberinya senyuman untuk lebih meyakinkan.
"Yaudah, oke... aku balik. Kamu hati hati ya disini."
Dia berdiri dan melambaikan tangan padaku.
Aku mengangguk dan membalas lambaian tangannya. "Hati hati dijalan."
"Mm. "
Jawabnya singkat lalu menghilang dipersimpangan koridor.
...
Suara detik jam memenuhi kepalaku. Aku menyandarkan punggungku pada kursi Stainless Steel yang berderet panjang. Tak ada siapapun kecuali diriku sendiri. Saat aku memejamkan mata, suara langkah kaki kaki besar terdengar mendekat.
Aku menghela napas dan membuka mataku perlahan, jika aku tak salah duga itu pasti orang tua si anak nakal ini. Tapi, di detik kemudian kerah bajuku terasa kencang, napas mulai tercekat dan aku mendapati diriku menempel di dinding dengan kaki yang tergantung.
Seorang pria besar berjas hitam itu menghantam tubuhku tiba tiba. Mataku menatap sekitar dan melihat orang berjas hitam lainnya di sisi kanan dan kiri serta seorang pria tua yang terlihat berwibawa diantara yang lainnya. Dia terus menatapku dengan dingin.
"Turunin dia."
Suara berat itu berhasil membuat cengkraman di leherku melonggar.
Aku yang masih setengah terkejut, hanya batuk batuk saat oksigen mengisi kerongkonganku lagi. Sedang Pria tua itu berjalan menghampiriku dan membuat detak jantungku tiba tiba berdebar kencang karena tatapan matanya yang tajam.
Tuhan!... aku sangat takut.
"Apa yang terjadi sama tuan Preinan? Apa yang kalian lakuin sampai dia bisa berakhir disini, hah?. " Bentaknya keras sembari mendekatkan wajah marahnya padaku.
Aku menelan ludah dengan berat. Tatapan matanya membuatku tersudut sampai aku menempelkan tubuhku pada tembok lebih rapat lagi. Dan dengan napas yang terengah, aku mencoba membuka suara.
"A-aku. Aku... Euhhh. "
Sial, kenapa mulutku sangat sulit untuk bicara.
"Oke,... kamu tidak perlu jelasin apapun."
Dia menjauhkan wajahnya dariku dan melangkah menjauh menuju pintu kamar Preinan.
"Kalian. Awasin anak itu." perintahnya tegas dengan menatap ke arahku.
Lalu dia masuk dan menutup pintu itu kembali.
Meninggalkanku dan tiga orang bodyguard yang sangat menyeramkan yang menatapku dengan tidak ramah. Karena tak berani berkutik, aku hanya menundukan pandanganku kebawah. Melihat ubin putih yang terbuat dari marmer.