Pagi itu Shafa mulai melakukan olahraga ringan di kampung nenek nya. Perutnya yang masih rata sama sekali tidak menunjukkan jika sedang hamil muda.
"Shafa..." Sebuah suara memanggil namanya, namanya. Rupanya tantenya yang saat itu sedang melintas mengendarai sepeda motor berhenti di sana.
"Bentuk dari mana Tante darimana?" Bisakah bertanya setelah sejak pagi tantenya tidak terlihat di rumah sang nenek.
"Kamu tahu beberapa hari ini ada ada orang asing yang sering berhenti di dekat rumah nenek, seakan sedang mengawasi rumah kita." Ujar tantenya.
"Lalu apa hubungannya dengan Safa? Sepertinya kita juga tidak punya musuh." Shafa berkata kemudian dengan sangat yakin.
"Sebaiknya kamu tetap berhati-hati karena Tante perhatikan mereka itu ada setelah kamu ada disini. " Peringatan tantenya membuat Shafa berpikir jika Devan telah mengetahui keberadaan nya saat ini.
Tante saya ikut pulang saja ke rumah, lagi pula sudah selesai jalan-jalannya. Ungkap Shafa seraya naik keatas motor.
Sebaiknya seperti itu, saya nggak mau kamu ada masalah di sini, apa yang akan Tante katakan nanti sama orang tuamu jika kamu tiba-tiba hilang di culik orang." Tantenya berkata seraya melajukan mobilnya menuju pulang ke rumahnya.
Saat shafa sudah sampai di depan rumah nenek nya, tatapan nya tertuju pada sebuah mobil yang terparkir di bahu jalan di depan rumah neneknya. Ia masih tidak mengenali siapa pemilik mobil tersebut namun ia yakin jika mobil itu merupakan mobil lokal di lihat dari plat mobilnya yang berplat nomor daerah.
"Seorang pria tampan sedang duduk di teras depan rumah neneknya. Dengan secangkir teh di sampingnya, pria itu sedang melihat kearahnya dan tersenyum setelah melihat kehadiran Shafa dan tantenya.
"Dafa ... Pagi-pagi sudah sampai di sini." Salah Tante Rini yang merupakan adik dari mama nya Shafa.
"Iya Tante... Nyari rejeki harus pagi-pagi, kalau siang takut rejekinya keburu di patok ayam." Dafa memberikan candaan yang membuat Shafa tertawa kecil saat mendengarnya.
"Mas Dafa apaan sih. Bisa saja kalau ngomong." Shafa berkata dengan senyum sumringah di wajahnya.
"Ya sudah kalian teruskan ngobrol nya, bibi mau memasak di dapur dulu." Bibi.
"Bibi atau Tante?, Saya harus manggil apa ini?." Tanya Dafa yang sedikit canggung karena usia bibinya Safa yang hanya terpaut dua tahun lebih tua darinya.
"Apa saja, panggil mbak Rini saja juga ngga apa-apa. Umur bibi ini masih muda, hanya wajah nya saja boros karena menikah di usia muda." Ucap Rini kemudian.
"Baiklah mbak rini.terima kasih ya..." ucap Dafa yang kembali duduk.
"Sejak dulu enak banget teh buatan nenek."
"Bisa saja kamu?, Sudah lama datangnya?" Tanya Shafa basa-basi.
"Lumayan sudah cukup lama."
"Bagaimana jika hari ini aku ingin kita pergi jalan-jalan ke pantai misalnya..." Ajak Dafa. Pria tampan ya g sudah sejak lama naksir berat dengan Safa.
"Aku lelah banget, kamu kan tau aku sedang hamil muda."
"Aku nggak tau , maaf. Aku belum punya istri. Dan aku masih tidak percaya jika
"Tapi itu ke ke kenyataan nya, dan saat ini sudah memiliki suami." Safa kembali mengatakan jujur untuk meyakinkan pria tampan di sampingnya.
"Kalau gitu kita berteman saja. Masih bisa kan jadi teman dan kita jalan-jalan? Jika boleh aku ingin mengenal siapa orang yang bahagia itu mendapatkan wanita sebaik kamu."
"Aku nggak sebaik itu mas ..."
"Ya baiklah kita bahas yang lain saja."
Hari itu Dafa dan juga Shafa ngobrol panjang lebar hingga siang hari. Setelah merasa lega dan puas mengobrol bareng Shafa. Dafa pamit pulang pada nenek dan bibinya.
Safa terlihat begitu senang karena ada Dafa hari itu yang menemaninya. Ingatannya akan devanatm bersama Sheryl kembali terngiang dalam pikirannya saat ia melihat sebuah cincin yang sudah tak di pakai olehnya.
Sore harinya Safa bermaksud pergi ke ATM di kota dengan mengendarai kendaraan sepeda motornya. Ketika ia sampai di gerai ATM, dia pun terkejut karena ternyata ATM dari suaminya sudah di blokir.
***Bersambung***