Chereads / Legenda Mawar Biru / Chapter 6 - 6. Lala dan Azura

Chapter 6 - 6. Lala dan Azura

Sudah tiga hari berlalu sejak Krav berangkat menuju Desa Dain dan Kota Seran. Selama tiga hari itu pulalah Azura dan Lala berlatih dengan giat. Tidak ada peningkatan yang signifikan terhadap perkembangan aura Azura. Dia bisa merasakan ada sedikit penebalan pada auranya, tapi masih jauh dari target setengah sentimeternya. Lala juga sama, masih belum terlihat ada tanda-tanda auranya akan keluar. Meski begitu Lala sudah mampu bermeditasi selama setengah hari tanpa kehilangan fokus. Itu sendiri sudah merupakan pencapaian yang menakjubkan baginya.

Tapi Azura masih belum puas. Dia merasa harus berlatih lebih banyak, berkembang lebih cepat. Dia merasa terlalu lemah.

Karena itu dia merasa bimbang saat pagi hari keempat, Lala mendatanginya untuk meminta tolong.

"Az, bisakah kita tidak berlatih hari ini? Lala ingin pergi ke suatu tempat, dan Lala ingin Az menemani Lala," pinta Lala dengan mata merajuk. Azura merasa kesulitan menolak permintaan semacam itu.

Tapi pada akhirnya Azura menggelengkan kepala.

"Maaf, tapi tidak bisa. Krav ingin kita terus berlatih, dan aku juga tidak bisa membuang waktu. Aku harus segera menjadi kuat, agar bisa membalaskan dendam Mama," tolak Azura.

"Tapi ayah juga pasti memberi izin. Ayah pasti lupa memberitahu Az," bujuk Lala lagi. Azura mengernyitkan dahinya.

"Krav memberi izin?" Azura curiga. "Memangnya apa tempat yang ingin kau datangi?"

"Lala tidak bisa memberitahu Az sekarang, jadi ayolaaah temani Lala. Ya? Ya? Ya? Tolooong…" Lala memeluk lengan Azura dengan muka memelas. Kali ini Azura benar-benar goyah.

"Baiklah. Ayo kita berangkat," Azura mengalah. Tapi dalam hatinya dia membuat rencana untuk segera mengajak pulang Lala sebelum siang dan melanjutkan latihannya.

"Yeay! Ayo ayo ayo!" Lala langsung melesat keluar rumah. Azura mengikuti dibelakangnya.

Pantai Tuka dan sungai tempat latihan mereka terletak di sebelah selatan rumah Wald, namun kali ini Lala berjalan kearah timur. Di daerah ini juga merupakan hutan, dengan vegetasi yang sedikit lebih lebat dibandingkan area selatan.

Lala melompat-lompat sambil mendendangkan irama yang asing di telinga Azura. Azura berjalan disebelahnya sembari melatih meditasinya. Dia masih belum bisa membagi fokus antara meditasi dengan aktifitas lain, jadi dia menganggap ini sebagai bentuk latihan juga.

"Az, Mama itu… Em… Ibu itu, sosok yang seperti apa?" Tanya Lala tiba-tiba. Azura sedikit kaget karena Lala yang riang gembira tiba-tiba mengutarakan pertanyaan seperti itu dengan suara pelan.

Namun Azura tidak berfikir lama untuk menjawabnya.

"Mama… Adalah orang yang selalu ada saat aku membutuhkannya. Sosok yang menolongku bangun saat aku terjatuh. Sosok yang memijat kakiku saat aku terkilir. Sosok yang menyuapiku saat aku sakit. Sosok yang membacakan cerita sebelum aku tidur. Mama… Adalah segalanya bagiku," jawab Azura dengan wajah sendu.

Lala berhenti dan tersenyum.

"Az pasti sangat merindukan Mama," bisik Lala. Azura mengangguk dengan mata berkaca-kaca.

"Lala… Tidak pernah bertemu dengan ibu Lala. Sejak Lala kecil, hanya ada ayah. Ayah yang suka mencubit pipi Lala. Ayah yang suka menoyor kepala Lala. Ayah yang suka memukul pantat Lala." Lala tertawa kecil. Dia mengingat semua tingkah konyolnya yang membuat ayahnya gemas.

"Tapi aku bisa melihat dia sangat menyayangimu," kata Azura. Lala mengangguk setuju.

"Lala juga sangat menyayanginya. Lala tidak bisa membayangkan bagaimana jika ayah pergi meninggalkan Lala," Lala gemetar. "Maafkan Lala ya Az, membuat Az teringat lagi kejadian itu…" Lala menunduk sedih.

"Tidak apa-apa. Aku harus bisa menerima kenyataan juga." Azura menepuk bahu Lala. Lala mengangkat kepalanya dan memandang Azura dengan penuh terima kasih.

"Ayo kita lanjutkan perjalanan," kata Azura. Lala mengangguk, dan kembali melangkah.

Azura tidak lagi merasakan keinginan kuat untuk pulang cepat dan berlatih hari ini. Lagi-lagi tanpa sadar Lala membuatnya merubah keputusan.

Setelah tak lama berjalan, mereka tiba di sebuah batu persegi besar setinggi dada pria dewasa. Area di sekitar batu itu bersih dari pohon dan rerumputan, yang menandakan bahwa batu itu sering dikunjungi dan dibersihkan. Azura bahkan melihat ada rangkaian bunga yang sudah layu disekitar batu besar itu.

"Ini makam ibu Lala," Lala memberitahu Azura. Suaranya terdengar bergetar, sangat berbeda dari suara cempreng Lala yang biasa. Azura tidak bisa melihat wajah Lala karena Lala membelakanginya.

"Ayah bilang ibu Lala meninggal saat melahirkan Lala, jadi Lala belum pernah sekalipun melihat seperti apa ibu Lala. Tapi kata ayah, ibu sangat cantik, secantik Lala. Ibu juga riang gembira, seperti Lala. Jadi Lala senang bisa mewarisi sifat-sifat ibu," Lala berjalan mendekati nisan besar ibunya dan memeluknya dengan penuh rindu. "Tapi Lala masih tetap ingin melihat seperti apa wajah ibu, sekali saja. Lala ingin…" Air mata Lala tumpah. Azura pun mulai berkaca-kaca.

Dia berjalan mendekati Lala dan membelai punggungnya.

"Tapi ibumu pasti melihat bagaimana kau tumbuh, bagaimana kau selalu riang gembira, bagaimana kau membuat orang lain ikut bahagia," Azura menghiburnya.

"Semoga ibu tidak kecewa melihat Lala," Lala mengusap air mata yang sudah membasahi pipinya.

"Tentu saja tidak. Kau juga sudah membantuku untuk melupakan kesedihanku. Tidak ada yang akan kecewa terhadapmu," bisik Azura. Lala menoleh kearahnya.

"Benarkah? Lala membantu Az untuk tidak sedih?" Suara cempreng Lala mulai kembali.

"Mmm!" Azura mengangguk pasti. Senyum indah mulai merekah di wajah Lala.

"Lala senang…" Lala kembali memeluk batu nisan ibunya. "Ibu, Lala bisa membuat Az bahagia. Lala senang…"

Bisikan Lala terdengar di telinga Azura. Tanpa dia sadari seberkas senyum pun terbentuk di bibirnya. Senyuman alami yang pertama kali muncul sejak kepergiannya dari Pulau Niaka.

'Lala…' satu perasaan yang asing mulai muncul di hati Azura.

Beberapa menit selanjutnya, mereka terlena dalam diam. Lala masih memeluk batu nisan dan mulai membisikkan kata-kata seolah batu itu bisa mendengar. Azura, yang menghargai kebersamaan Lala dengan almarhum ibunya, perlahan mundur dan duduk di bawah pohon, cukup jauh dari batu nisan besar itu untuk tidak mendengar bisikan-bisikan Lala.

"Mama…" Hanya ditemani hembusan angin sepoi-sepoi, Azura kembali teringat ibunya. Dari Lala, dia menyadari bahwa masa-masa bersama ibunya sangatlah berharga. Dia tidak menyadarinya saat masih berada di Pulau Niaka, namun sekarang, saat dia telah kehilangan ibunya dan terdampar di Desa Tuka ini, dia sering merasakan kehilangan yang menyesakkan dadanya.

Namun perlahan, tinggal bersama Kakek Wald, Krav, dan Lala memberikan kehangatan baru baginya. Kehangatan yang masih asing, namun sama sekali tidak dia benci. Malah, alam bawah sadarnya seolah ingin mendekap kehangatan baru ini.

Azura mulai belajar menerima situasi barunya ini ketika Lala berjalan kearahnya. Langkah kakinya mulai memperlihatkan keceriaannya, dan raut wajahnya terlihat lepas, dengan senyum lebar yang memperlihatkan deretan gigi putihnya.

"Az, bolehkah aku minta tolong Az untuk membersihkan area disekitar nisan ibu? Lala mau mencari bunga untuk ibu," Lala kembali merajuk. Kali ini Azura tidak ragu untuk menerima permintaannya.

"Baiklah," Azura bangkit dan menepuk bahu Lala. Lala berteriak gembira.

"Hore! Lala mencari bunga dulu ya Az!" Lala pun langsung berlari masuk kedalam hutan. Dia seperti sudah tahu dimana lokasi bunga yang dia cari tumbuh.

Azura pun tidak berdiam diri. Dia mulai mengambil daun-daun mati yang jatuh di area sekitar nisan, beserta ranting-ranting pohon dan kotoran lain. Dia juga memgambil bunga yang sudah layu, yang sebelumnya diletakkan disini oleh entah Krav atau Lala.

Setelah menyingkirkan semua sampah itu dan memastikan area sekitar nisan bersih, Azura duduk di depan nisan dan memperhatikan tulisan yang terukir di permukaan batunya.

DISINI TERBARING

€π–€--

ISTRI DARI KRAV DAN IBU DARI LALA

Bagian nisan yang menuliskan nama terlihat digesek dengan sesuatu yang tajam, mengakibatkan nama yang tertulis tidak bisa terbaca sama sekali. Namun Azura tidak peduli. Yang dia pikirkan adalah keberadaan batu nisan, yang merepresentasikan makam, itu sendiri.

'Apakah Andalene benar-benar membunuh Mama?'

'Kalau iya, bagaimana dengan jasad Mama?'

'Tidak mungkin kan Andalene mengubur jasad Mama kalau dia membunuh Mama?'

'Bagaimana kalau tubuh Mama dimakan burung gagak?'

'Bagaimana kalau tubuh Mama tersapu ombak dan terombang-ambing di lautan?'

'Bagaimana kalau Andalene sendiri yang mengoyak tubuh Mama?'

Segala pemikiran buruk berkecamuk di otak Azura, membuat tubuhnya gemetar hebat. Rasa sedih yang amat dalam menyingkirkan kehangatan yang baru saja dia rasakan, dan memenuhi hati dan pikirannya serta menghancurkan benteng pertahanan yang selama ini menahannya.

AAAHHHHHHH!!!

Teriakan Azura menggema di seantero hutan, membuat burung-burung yang hinggap di pohon sekitar nisan terbang bersamaan, meninggalkan Azura yang meraung penuh tangis. Pertahanannya hancur, dan semua kesedihan, kekhawatiran, kemarahan yang selama ini dia pendam keluar sekaligus. Kedua tangan Azura menjambak rambutnya, mencakar tanah, memukul-mukul batu nisan. Siapapun yang mendengar raungannya akan merasakan getaran di hati mereka. Raungan yang penuh luka, dan duka.

Lala berlari mendekati Azura segera setelah mendengar teriakannya. Bunga yang sudah dia kumpulkan terlupakan begitu saja, terjatuh berserakan di tanah. Lala dengan sigap memeluk Azura, sedikit meredam suara tangisnya, namun Azura masih berusaha berontak, ingin meluapkan semua laranya tanpa kendali. Lala pun tidak berusaha menahannya, hanya memeluk dan membelai punggungnya lembut, sambil berbisik di telinga Azura berkali-kali.

"Lala disini, disamping Az… Lala disini…"

Dengan stamina Azura, raungannya tidak bertahan lama. Suaranya mulai serak, tubuhnya mulai lemas, dan air matanya pun kering, tak lagi mau keluar. Lala, yang rambutnya ikut berantakan karena terkena jambakan Azura, tetap teguh memeluknya, terus mengulang bisikannya tadi. Raungan Azura pun mulai hilang, tergantikan oleh isakan sendu.

"Lala disini… Lala menemani Az… Lala disini…"

Azura mulai tenang. Isakannya pun memelan dan tak lagi terdengar. Namun detak jantungnya masih berdegup kencang, dan Lala bisa merasakannya dengan jelas melalui pelukannya yang erat.

"Az…" Lala melepaskan pelukannya perlahan dan menatap Azura dengan penuh kasih. Azura membalas tatapan Lala dengan mata sayu.

"Biar Az tidak sedih, Lala mau kasih Az jimat," Lala berkata dengan lembut.

Lala kemudian menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya pada Azura, menyatukannya, dan mengecupnya di bibir. Dua jari yang telah dikecup itu diusapkan Lala pada kening Azura.

Azura tidak tahu kenapa, tapi gerakan sederhana itu mengirim aliran kejut yang membekukan seluruh badannya, mulai dari keningnya yang diusap Lala, menuju seluruh kepala, dua tangan, dua kaki, dan berakhir di jantung hatinya. Keputus-asaan yang dia rasakan lenyap tak berbekas, digantikan senyum tulus penuh kelembutan dari Lala. Senyum itu menggetarkan tubuhnya, dan memperkuat rasa yang sebelumnya muncul. Senyum itu mulai terukir di hatinya.

"Bagaimana? Az merasa baikan?" Lala bertanya dengan suara khasnya. Azura terbangun dari keterpanaannya.

"Eh… Ya, aku… Baik-baik saja…" Tergagap, Azura menjawab Lala. Lala mendesah lega.

"Syukurlah. Lala sangat khawatir tadi Az tiba-tiba berteriak keras sekali," Lala kembali memeluk Azura. Azura dengan sedikit canggung membalas pelukannya.

"Oh iya! Bunga-bunga tadi jatuh!" Lala tiba-tiba berdiri, mengagetkan Azura sekali lagi. "Lala mau ambil bunga-bunga dulu ya Az! Tidak apa-apa kok, Az tidak usah takut, Lala udah kasih jimat biar Az tidak sedih!" Suara cempreng Lala menggema di telinga Azura. Lala kemudian berbalik dan melompat-lompat seperti kelinci, kembali ke tempat dia menjatuhkan bunga-bunga tadi.

Melihat keriangan Lala itu, Azura merasakan getar di hatinya belum juga usai.

Kehangatan ini… Sangat mirip dengan kehangatan yang dia rasakan saat bersama ibunya.

Dia tidak menyadarinya dulu karena dia merasa kehangatan itu akan ada selamanya, tapi tidak. Jika kehangatan itu bisa datang, maka dia juga bisa pergi.

Dan untuk memastikan kehangatan itu tidak pergi untuk yang kedua kali, Azura mengeraskan tekadnya sekali lagi.

'Kehangatan yang datang dari Lala ini, aku akan melindunginya.'

'Aku tidak akan membiarkannya pergi seperti sebelumnya!'

'Aku akan melindungi Lala!!!'