Seperti dugaan Gardil, warga desa menerima penyelesaian masalah aura hitam Lala setelah Tarav menjanjikan akan mengirim prajurit untuk berjaga di desa.
Sikap mereka juga sedikit melunak kepada Lala, setelah Tarav memberikan pidato panjang tentang bagaimana anak seimut Lala tidak mungkin menjadi kejam seperti prajurit Demarka. Meski begitu mereka masih tidak setuju apabila Lala tinggal didalam desa, jadi seperti rencana sebelumnya, Krav dan Lala pindah ke rumah Wald, menemani pria tua itu dan Azura.
Dengan begitu, tirai permasalahan aura hitam Lala, telah tertutup.
---
"Roti?"
"Sudaaah."
"Air minum?"
"Sudaaah."
"Pakaian ganti?"
"Tiga pasaaang."
"Kurasa cukup itu saja yang perlu kau bawa, selebihnya akan dibawa Azura," Krav memeriksa tas yang akan dibawa Lala. "Tapi apa ini? Kenapa kau membawa boneka ini juga?" Dia mengeluarkan sebuah boneka kain yang terlihat masih baru dari dalam tas Lala. Tangan Lala segera menyambar boneka itu.
"Jangan sentuh! Ini boneka baru Lala, bikinan Az sama Lala!"
"Iya, iya, tapi apa kau harus membawanya? Itu hanya akan menambah berat tasmu. Kau juga sudah akan pulang minggu depan," tanya Krav.
"Harus! Haruuusss! Lala tidak bisa tidur tanpa boneka ini!"
"Terserah kau deh La," Krav menyerah. Dia menoleh kearah Wald dan Azure yang baru saja selesai memeriksa barang bawaan mereka. "Sudah siap?"
"Sudah," Wald menjawab sedangkan Azura mengangguk.
"Kalau begitu kita berangkat," Krav memakai tas punggungnya dan berjalan keluar rumah, diikuti Wald, Azura dan Lala.
Perjalanan dari Desa Tuka menuju Desa Dain membutuhkan waktu sehari semalam berjalan kaki, dan dari Desa Dain menuju Kota Seran membutuhkan waktu lebih lama, tiga hari berjalan kaki atau sehari semalam berkuda. Mereka berencana untuk menyewa kereta kuda, dengan pertimbangan kesehatan Wald yang sudah cukup berumur, namun Wald sendiri malah bersikeras untuk berjalan kaki.
"Aku kan mengangkat kayu-kayu itu sendirian setiap hari, masa hanya berjalan kaki saja aku sudah tidak kuat," kata Wald ngeyel. Krav hanya bisa tertawa canggung.
Dan begitulah, mereka akhirnya memulai perjalanan.
---
"Ayah, itu pegunungan apa?" Lala menunjuk kearah kanan mereka. Di kejauhan terlihat pegunungan yang berjajar pararel dengan jalur perjalanan mereka.
"Tidak ada nama resmi untuk pegunungan itu, jadi orang-orang hanya memanggilnya pegunungan Tuka," jawab Krav.
"Dibalik pegunungan itu ada apa ayah?"
Krav berhenti berjalan. Dia berbalik dan menatap Lala dengan wajah serius, seolah-olah Lala telah menanyakan pertanyaan yang tidak seharusnya ia tanyakan.
"Dibalik pegunungan itu adalah hutan berhantu, yang setiap malam akan menculik gadis-gadis kecil yang suka berkeliaran di malam hari. Mereka akan terperangkap di dalam hutan itu, tidak hidup tapi juga tidak bisa mati. Jiwa mereka terjebak diantara keduanya, membuat mereka melolong sedih setiap malam, sembari memanggil nama gadis-gadis lain untuk bergabung dengan mereka. Lala… Lala… Lala…"
Lala merasakan bulu kuduknya berdiri, dan dia langsung melompat kebelakang Azura, menggenggam bahunya erat-erat.
"Kau hobi sekali menggoda anakmu sendiri," Wald menggelengkan kepala prihatin.
"Hahaha!" Krav tertawa puas. Lala yang menyadari bahwa ayahnya hanya menakut-nakutinya langsung cemberut.
"Awas saja kalau ayah sudah tua nanti, Lala akan mengerjai ayah setiap hari," ancam Lala. Krav membeku.
"Eh, La, maafkan ayah, ayah tidak akan mengulanginya lagi," Krav mengejar Lala yang sudah mulai berjalan kembali. Wald dan Azura hanya tersenyum melihat tingkah sepasang ayah-anak ini.
"Desa Dain itu seperti apa, kek? Apa bedanya dengan Desa Tuka?" Tanya Azura, penasaran.
"Tidak jauh berbeda sebenarnya. Kedua desa ini mayoritas berpenduduk orang-orang tua, sepertiku, jadi tidak banyak anak-anak muda yang akan kau temui di Desa Dain. Walau begitu karena lebih dekat dengan Kota Seran, Desa Dain memiliki populasi yang lebih banyak daripada Desa Tuka. Mungkin sekitar dua kali lipatnya?" Jawab Wald sembari berjalan.
"Tapi kalau soal pemandangan, Desa Dain dan Desa Tuka jelas berbeda. Kalau di Desa Tuka kau hanya dapat melihat hutan, hutan, dan hutan kemanapun mata memandang, di Desa Dain kau bisa melihat pantai di bagian selatan desa. Karena itu cukup banyak yang menjadi nelayan disana," tambah Wald.
"Nelayan? Ikan bakar?" tanya Lala dengan mata berbinar.
"Makanan lagi yang ada di pikiranmu," Krav menjitak kepala Lala. Lala manyun.
Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan, sembari sesekali beristirahat. Ketika sudah dua pertiga perjalanan, ada sebuah gubuk kecil yang cukup terawat berdiri kokoh di pinggir jalan.
"Gubuk ini sering digunakan oleh warga Desa Tuka dan Dain ketika mereka bepergian diantara dua desa tersebut," Krav menjelaskan pada Azura dan Lala yang terlihat heran dengan keberadaan gubuk itu.
"Oooh, jadi kita tidur disini malam ini?" tanya Lala yang melihat matahari sudah hampir tenggelam.
"Ya, kita beristirahat dulu, dan melanjutkan perjalanan besok. Sebelum siang kita sudah akan tiba di Desa Dain," kali ini Wald yang menjawab. Azura dan Lala pun masuk kedalam gubuk mengikuti Krav dan Wald, yang sudah mulai menyiapkan tempat untuk beristirahat malam ini.
---
Benar apa yang dikatakan Wald, mereka sudah bisa melihat gerbang desa Dain sebelum matahari tepat berada di atas kepala.
Lala berlarian kesana-kemari dengan semangat. Meskipun rumor tentang seorang anak yang memiliki aura hitam sudah menyebar ke seluruh Pulau Avaja, penduduk Desa Dain belum tahu seperti apa wajah anak itu, jadi Lala bisa dengan bebas menjelajah desa.
"Pelan-pelan, La, kita kearah sini," Krav memandu mereka. Dia sudah menentukan tempat yang akan mereka tuju di desa ini.
Mereka berempat berjalan di jalan utama desa hingga sampai di sebuah rumah. Rumah itu tidak berbeda jauh dengan rumah yang lain, hanya saja seorang anak lelaki, sedikit lebih tua dari Azura dan Lala, berdiri tegap didepan halaman rumah tersebut, memegang sebuah tongkat kayu layaknya seorang prajurit.
"Berhenti! Ada urusan apa kalian kesini?" dengan suara yang dibesar-besarkan, anak itu menghentikan rombongan Krav.
"Haha, Goire, apakah ibumu ada?" tanya Krav ramah. Goire membusungkan dadanya.
"Akan kusampaikan kepada Yang Mulia Magdalena bahwa Krav dari Kerajaan Tuka datang untuk berkunjung," anak itu kemudian berbalik dan berjalan masuk kedalam rumah. Langkahnya menirukan gerak tegap prajurit, tapi malah terkesan kaku.
"Kenapa anak itu?" Lala merasa heran dengan sikapnya. Dia bahkan menyebut desa Tuka sebagai 'Kerajaan'.
"Hahaha! Apa kau pikir hanya kau saja anak yang aneh di seluruh Gaia?" Krav menepuk bahu Lala.
"Ayah mana yang bilang anaknya aneh," Lala cemberut lagi. Tapi dia masih memperhatikan rumah di depan mereka dengan penuh rasa penasaran.
Tak lama setelahnya seorang wanita berjalan keluar, diikuti Goire yang masih berjalan dengan canggung. Untungnya wanita, yang adalah ibu Goire, tidak berjalan seaneh Goire.
"Krav, ada urusan apa? Kau bahkan datang bersama Wald?" sapa wanita itu.
"Magdalena, sudah lama tak bertemu," sapa Wald. Mereka berpelukan dan bertanya kabar masing-masing.
"Aku hanya mampir kali ini, sekalian ingin menyampaikan sesuatu. Bisakah kita masuk?"
"Masuklah. Kau seperti orang asing saja," Magdalena mempersilahkan mereka semua masuk.
"Goire, hentikan langkah anehmu itu," Magdalena memperingatkan Goire, yang pura-pura tidak mendengarkan ibunya.
"Haha, biarkan saja, aku juga membiarkan Lala bertingkah absurd setiap hari," kata Krav dengan bangga.
"Hahhh, aku benar-benar khawatir bagaimana kau membesarkan anak," Magdalena masuk ke dapur setelah semua tamunya duduk di ruang tamu. Dia muncul membawa beberapa gelas air minum.
"Minumlah, masih dingin dan segar. Oh, apakah ini Lala? Kau sudah sangat cantik sekarang," sapa Magdalena.
"Lala sudah sangat cantik sejak lahir," tukas Lala cepat.
"Tentu saja," Magdalena mengiyakan, geli. Dia mulai mengerti maksud 'tingkah absurd' yang disebutkan Krav tadi.
"Dan ini, putra…" suara Magdalena menghilang saat dia menatap Azura. Mata biru Azura yang cemerlang seolah membangkitkan sekelumit memori masa lalunya.
"Ya, ini Azura, putra Ellaine," Krav memvalidasi dugaan Magdalena.
"Demi Gaia…" bisik Magdalena. "Mata birumu sangat mirip dengan seseorang…"
"Bukan Mama?" dahi Azura mengerut.
"Bukan, bukan. Kau memang mewarisi tatapan tajam ibumu, tapi matamu, mata itu…" suara Magdalena memelan lagi, "...yah, mungkin aku salah. Krav, ada urusan apa kali ini?" Magdalena mengalihkan pembicaraan.
Azura bukan anak kecil yang naif dan lugu, jadi dia sangat tahu Magdalena berusaha mengalihkan pembicaraan. Tapi dia tidak mengejar penjelasan darinya. Dia tahu ini bukan saat yang tepat.
"Kau tahu surat dari Grindell yang kutunjukkan waktu itu?" Krav memulai penjelasannya dengan pertanyaan. Magdalena mengangguk.
"Tentu saja. Kau mengoceh lama sekali mengungkapkan semua spekulasimu sampai aku mengantuk dan tertidur. Saat aku bangun kau masih mengoceh juga, tidak sadar sama sekali aku sudah tidur karena bosan."
"Eh?" Krav melongo. Ini pertama kalinya Magdalena mengatakan hal ini.
"Hahaha, aku bercanda. Aku tidak sampai tertidur, tapi aku tidak bohong saat aku bilang bosan."
"Eh, haha," Krav menggaruk kepalanya canggung, merasa bersalah. "Emmm, lalu, karena aku tidak segera memberi kabar pada mereka, mereka mengirimkan surat kedua. Surat ini menyatakan bahwa aku, secara sepihak, telah diangkat menjadi Laksamana Militer Kerajaan Grindell dan diperintahkan untuk segera melapor ke kamp militer Fern."
Magdalena terpana. Dia sudah mengenal Krav sejak lama, saat dia masih berpetualang berkeliling Gaia dulu, jadi dia tahu apa pangkat Krav saat dia memutuskan pensiun.
"Apa ini karena…" Magdalena melirik Lala. Krav menggelengkan kepalanya cepat.
"Tentu saja tidak. Bagaimana bisa?"
Penolakan Krav akan spekulasi Magdalena terasa normal, tpai tidak di mata Azura, yang selalu waspada terkait segala hal yang melibatkan Lala. Dia memiliki dugaan masalah yang dimaksud Magdalena bukan masalah aura Lala.
Ini membuat Azura semakin bertanya-tanya. Apa rahasia yang disimpan orang-orang ini? Kenapa sepertinya semua orang memiliki begitu banyak rahasia?
Memikirkannya terlalu jauh hanya membuat Azura pening, jadi dia menyimpan kecurigaannya di sudut pikirannya dan kembali fokus mendengarkan percakapan Krav dan Magdalena.
"Dugaanku ada satu perkembangan terkait penyelesaian perang terakhir, yang membuat Grindell kekurangan prajurit. Kejatuhan Demarka mengakibatkan masalah yang masih ada hingga saat ini, dan Grindell sepertinya ingin menyelesaikan setiap masalah yang ada. Tapi apa masalah-masalah itu, aku tidak tahu," Krav mengangkat bahunya.
"Itu sama saja kau tidak tahu apa-apa." sindir Magdalena. Dia menyesap minumannya. "Jadi kau akan segera berangkat ke Seran dan Fern setelah ini?"
Krav mengangguk. "Karena itu aku mau minta tolong padamu, untuk meminjamkan satu kereta kuda beserta kuda dan sopirnya. Perjalanan ke Seran terlalu jauh untuk ditempuh berjalan kaki oleh kami."
"Baiklah. Aku akan memanggil seseorang," Magdalena berdiri dan masuk kedalam kamarnya. Setelah mengirim burung merpatinya, dia keluar.
"Tunggulah disini dan beristirahat, kereta kuda itu akan datang dua-tiga jam lagi."
Krav menyandarkan punggungnya ke kursi, lega.
Malam sebelumnya. Krav memaksa Wald untuk mau menaiki kereta kuda dari Desa Dain ke Kota Seran. Selain untuk kesehatan Wald, ada Lala dan Azura juga yang masih anak-anak. Disamping itu, kereta kuda juga lebih cepat dan aman. Dengan semua argumen itu, Wald akhirnya setuju.
"Oh iya, bagaimana dengan kasus aura hitam Lala? Aku ingin mendengar bagaimana reaksi warga Desa Tuka," Magdalena bertanya pada Krav.
Namun sebelum Krav menjawab, Goire memotongnya dan bertanya, "apa, aura hitam?"
Magdalena terpaku, lalu menepuk dahinya.
"Aku lupa anak ini disini," katanya menyesal. Hanya Krav yang memahami reaksinya.
"Siapa yang memiliki aura hitam?" Goire menyapu pandangannya ke semua orang di ruang tamu. "Lala, berarti wanita. Kau?" Goire mengacungkan tongkatnya kearah Lala, yang terlonjak kaget.
"Singkirkan tongkatmu," Azura berkata pelan namun tegas. Goire menyeringai.
"Kau mau membela prajurit Demarka?"
"Jaga bicaramu," kali ini Azura sudah memegang gagang pedang kayunya yang masih tergantung di pinggangnya, didalam sarungnya. Dia berdiri dihadapan Lala.
Lala sendiri, bukannya takut malah menunjukkan ekspresi tertarik.
"Kenapa anak itu?" Wald bertanya pada Krav dan Magdalena. Krav tertawa sedangkan Magdalena menutup wajahnya malu.
"Goire bercita-cita menjadi prajurit Grindell kalau sudah dewasa nanti. Kau lihat sendiri sejak kedatangan kita dia menjaga rumah ini seakan-akan istana. Dia juga memanggil Magdalena, ibunya sendiri, dengan sebutan Yang Mulia. Aku tidak tahu siapa yang lebih absurd, Lala atau Goire." Krav menjelaskan pada Wald sambil terkekeh. Magdalena semakin membenamkan wajahnya di kedua tangannya.
"Kau sepertinya kuat. Kalau kau mau melindungi gadis beraura hitam itu, kau akan berhadapan denganku," Goire mengeluarkan auranya, yang berwarna coklat. Auranya masih sangat tipis, setipis aura Lala.
"Oke, oke, kalau kalian mau bertarung, ayo kita ke halaman depan rumah," Magdalena yang merasa perkelahian anak-anak ini tidak akan berakhir begitu saja, mengarahkan mereka ke luar rumah. Ia tidak ingin perabotan rumah hancur oleh pukulan-pukulan mereka.
"Yang Mulia telah bersabda. Kutunggu kau di halaman depan istana," Goire berjalan dengan kaku lagi keluar rumah. Azura mulai menyesal kehilangan kontrol emosinya tadi.
'Apa seharusnya aku tidak menganggap serius provokasi Goire?' batinnya sembari menatap akting lucu dari anak didepannya itu.