Seminggu berlalu sejak kejadian di Balai Desa Tuka.
Untuk menghindari konflik lebih lanjut dengan warga desa, Krav dan Lala menginap di rumah Wald, yang terletak di bagian luar desa, lebih dekat dengan hutan daripada rumah warga lainnya. Wald tentunya tidak keberatan karena selain ada beberapa kamar tamu yang kosong di rumahnya, Lala sendiri sudah sering menginap sehingga dia sudah menganggap duo ayah-anak itu sebagai keluarganya sendiri.
Selama seminggu itu pula Lala tidak pernah sekalipun memasuki desa. Dia hanya diam dia rumah, merawat Azura yang terbaring lemah selama tiga hari. Energi auranya terkuras habis setelah pertunjukan api biru di balai desa, sehingga Azura membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih.
Di hari keempat, Azura sudah bisa berjalan sendiri, sehingga dia mulai kembali melatih meditasi dan kuda-kuda bertarungnya. Lala, yang gembira tiada tara melihat Azura sudah sehat, menunjukkan keceriaannya lagi dan itu membuat Krav serta Wald bernafas lega.
Luka di pipi Lala pun sudah hampir sembuh, hanya menyisakan sedikit bekas yang akan segera hilang jika diberi sedikit waktu.
Begitulah mereka berempat melalui minggu isolasi mereka. Tanpa banyak keluar rumah dan bertemu dengan orang lain, ikatan kekeluargaan mereka semakin kuat.
Dan memasuki minggu baru, Azura yang sudah dapat mengeluarkan elemen serta menguasai kuda-kuda bertarung akhirnya akan diajari bagaimana gerakan bertarung oleh Krav. Di sisi lain, Lala, yang tidak mendapat kemajuan berarti dengan latihan kuda-kudanya, menunjukkan bakat alami dalam mengontrol aura.
Aura Lala yang baru saja terbangun dua minggu sebelumnya sudah hampir setebal aura Azura yang telah berlatih berbulan-bulan.
Ini mengejutkan baik Krav maupun Azura. Volume aura yang besar sama dengan kekuatan dan stamina yang lebih banyak pula. Ini dapat menutupi kekurangan Lala dalam hal teknik bertarung.
Tapi meskipun pencapaian mereka berdua bisa dibilang hebat, Krav mengingatkan mereka berdua agar tidak besar kepala. Bagaimanapun mereka masih butuh latihan, dan kekuatan mereka saat ini juga masih jauh dari level prajurit Grindell paling lemah sekalipun. Azura dan Lala memahami hal itu, dan menerapkan disiplin yang lebih ketat dalam latihan mereka.
---
"Huff, huff, huff, ayah, cape, lemah, letih, lesu," Lala jatuh telentang diatas rumput setelah menahan kuda-kudanya sekaligus mengeluarkan auranya. Melakukan dua hal itu secara bersamaan masih terasa sulit baginya.
"Haha, beristirahatlah dulu kalau begitu. Ayah akan mulai mengajari Azura cara bertarung terlebih dahulu," Krav berdiri didepan Azura. "Siap?"
"Siap," Azura mengangguk, dan mengeluarkan pedang kayunya.
Kakek Wald membuatkannya pedang kayu setelah mengetahui Krav akan mengajari Azura cara bertarung. Pedang itu masih terlalu panjang untuk Azura, karena pedangnya dibuat untuk orang dewasa, namun kualitasnya tak perlu diragukan lagi. Wald menggunakan pengendalian elemennya, kayu, untuk memadatkan kayu di bilah pedangnya sehingga selain cukup berat, pedang itu juga mampu menahan serangan aura yang lumayan besar.
"Aku ingin kau menghajar Krav dengan pedang ini," kata Wald dengan kedipan mata nakal saat memberikan pedang kayunya pada Azura. Azura hanya tertawa garing saat mendengarnya.
'Kalau saja aku lebih kuat dari Krav, mungkin saja aku menghajarnya. Tapi Krav adalah orang yang berhasil bertahan hidup setelah berkali-kali bertarung melawan Mama. Harus sekuat apa aku agar bisa menghajarnya...' batin Azura.
Melihat Krav yang mulai bersiap, Azura menyingkirkan pikiran-pikiran lain yang mengganggu. Dia menghunus pedangnya dengan kuda-kuda yang diajarkan Krav seminggu terakhir ini.
Mendengar Azura dan ayahnya akan berlatih tanding, Lala langsung duduk dan bersorak gembira.
"Ayo ayo Az hajar ayah! Hajar pria tua itu!" Sorak Lala memberikan semangat pada Azura.
Ujung bibir Krav berkedut. Dia memutuskan untuk menggantung Lala kepala dibawah nanti di pohon sebelah rumah setelah latih tanding ini selesai.
"Tunjukkan apa yang sudah diajarkan Ellaine padamu," Krav menyeringai menatap Azura yang sudah serius. Mata biru tajam Azura mengingatkannya akan mata abu-abu gelap Ellaine. Dia merasa sedang berhadapan dengan wanita tangguh itu.
---
Tanpa berkata-kata, Azura menjejakkan kaki kanannya dan melesat maju kearah Krav, menebaskan pedang kayunya dengan kekuatan penuh. Aura biru menyelimuti bilah pedang, menambah daya hancurnya apabila tebasannya mengenai sasaran.
"Hoh, kau sudah bisa menambahkan auramu pada senjata?" Sekali lagi Krav dibuat terkejut oleh aksi Azura. Ellaine tidak menahan diri sedikitpun dalam mengajari Azura, membuatnya menjadi bocah dengan potensi yang menakutkan.
Menghadapi serangan Azura, Krav tidak repot-repot mengeluarkan auranya. Dia hanya bergeser sedikit dan tebasan Azura sudah meleset. Azura geram dan kembali menyabetkan pedangnya, mengejar Krav dengan sabetan pedang beruntun yang menciptakan garis-garis biru aura.
Namun Krav hanya menghindar. Tidak sedikitpun dia mengeluarkan aura coklatnya, apalagi elemen tanahnya. Dia hanya menggeser tubuhnya ke kanan, kiri, belakang, dan semua serangan Azura hanya nengenai udara kosong. Azura semakin geram.
Azura mulai mengeluarkan elemen api birunya. Api biru segera menyelimuti pedang kayu Wald, menebarkan hawa panas yang unik dan menggidikkan.
"Oke, cukup." Krav memegang bahu Azura dan menahannya dari melakukan serangan lagi. Azura mendongak menatapnya dengan pandangan jengkel.
"Kau hanya akan terus menghindar?" Protes Azura. Dia ingin Krav menggunakan aura dan elemennya, tidak hanya menghindar dan menghindar.
"Aku akan menggunakan auraku kalau kau sudah cukup kuat," tantang Krav. "Tapi itu nanti. Sekarang, kau istirahatlah dulu. Auramu sudah meredup. Kau tidak ingin terbaring lemah lagi selama tiga hari kan?"
Azura memperhatikan tubuhnya, dan dia baru sadar jika auranya sudah hampir hilang. Dia melepaskan auranya dan langsung merasa lemas, kakinya gemetaran.
"Kau masih butuh latihan mengontrol pemakaian auramu. Dalam hal itu kau bisa belajar pada Lala. Tidak ada gunanya kau menggunakan semua auramu untuk menyerang. Kau juga harus menyisakan sedikit untukmu bertahan. Dan kau juga harus membagi penggunaannya dengan teliti. Kalau tidak, kau malah hanya akan membuang-buang aura." Krav mengajari Azura tentang pemanfaatan aura. Azura mendengarkannya dengan seksama.
Benar apa yang dikatakan Krav. Pada serangan beruntun Azura tadi, dia hanya berpikir bagaimana melapisi pedang kayunya dengan aura dan menyerang sekuat tenaga. Ketika semua serangannya tidak ada yang membuahkan hasil, dia langsung jatuh lemas, kehabisan aura dan menjadi makanan empuk bagi musuhnya.
"Begitu juga dengan elemen. Pengendalian elemen membutuhkan konsumsi aura yang banyak, yang kau sendiri sudah merasakannya saat di aula balai desa. Dalam kondisi kau kekurangan aura seperti tadi, mengeluarkan elemenmu bukan hal yang bijak untuk dilakukan. Kau hanya akan mengulangi kesalahanmu sebelumnya. Jadi pertimbangkan dengan baik di setiap pertarungan, bagaimana menggunakan aura sesedikit mungkin untuk melancarkan serangan seefektif mungkin." Tambah Krav. Azura seperti mendapat pencerahan.
"Aku ingat Mama pernah mengatakan hal yang sama," kata Azura.
"Tentu saja. Ellaine sudah sangat memahami hal itu. Dia pernah bertarung lima hari lima malam tanpa jeda berkat pengelolaan auranya yang sangat efisien." Krav memuji Ellaine. Azura tersenyum kecil.
"Istirahatlah bersama Lala untuk sekarang. Meditasi mengumpulkan energi akan mempercepat pemulihan staminamu. Setelah itu kita akan memulai latihan lagi sampai siang nanti." Krav berbalik dan menjauh dari Azura dan Lala. Dia melatih aura dan elemennya agak jauh dari mereka berdua.
Awalnya Azura tidak mengerti kenapa, tapi melihat aura yang dikeluarkan Krav setiap kali dia latihan dengan serius, dia akhirnya paham. Aura coklat yang dikeluarkan Krav mampu menciptakan hembusan angin di sekitarnya, dan jumlah auranya sendiri sudah cukup membuat Azura kesulitan bernafas.
Aura coklat Krav memang tidak sebanyak dan seintens aura abu-abu yang dikeluarkan Ellaine saat bertarung dengan Andalene, Azura dapat merasakannya, namun aura Krav mampu membuat Azura berpikir dua kali untuk mendekatinya.
Sejauh itu jarak diantara mereka.
Melihat Krav yang disiplin memulai latihannya, Azura juga mulai bermeditasi, mengumpulkan energi untuk memulihkan aura dan staminanya.
"Hei, hei, Az," Lala mendekati Azura yang sedang bersila. Azura meliriknya dan tersenyum.
"Ada apa?"
"Bagaimana Az menempelkan aura pada pedang Az seperti tadi?" tanya Lala penasaran.
"Kau hanya harus menganggap pedang itu sebagai bagian dari tubuhmu. Tapi kau juga harus mengontrol jumlah aura yang kau tempelkan pada pedang, terlalu banyak maka pedangnya akan hancur dan terlalu sedikit auranya tidak akan menempel sama sekali." Azura menjelaskan dengan bahasa yang mudah untuk Lala, diikuti dengan anggukan gadis imut didepannya itu.
"Seperti ini?"
Lala kemudian mengambil batu didekatnya dan mengerutkan dahinya, berkonsentrasi menatap batu itu seolah ingin melahapnya. Yang mengejutkan Azura, batu di tangan Lala tiba-tiba diselimuti aura hitam yang sangat tipis.
Melihat bakat Lala yang menakjubkan dalam hal kontrol aura, Azura merasa sangat kagum. Meski kekaguman itu langsung hilang ketika dia melihat Lala memeluk dan menciumi batu yang diselimuti aura hitam di tangannya seolah batu itu anaknya.
"Er… kenapa kau menciumi batu itu?" tanya Azura bingung.
"Az bilang Lala harus menganggapnya sebagai bagian dari tubuh kita, kan? Lala menganggap batu ini sebagai bagian tubuh Lala sendiri," argumen Lala yang mengagumkan membuat Azura terpana.
"Emh, iya, bagian tubuh sendiri, tapi kau tidak memeluk dan menciumi bagian tubuhmu sendiri, kan?" kata Azura menunjukkan keanehan sikap Lala.
Lala membeku. Dia baru saja menyadari hal itu.
Azura menahan tawanya dan berkata dengan lembut, "tidak apa-apa. Kalau itu bisa membuatmu lebih mudah dalam mengontrol aura pada batu itu, kenapa tidak?"
"Eh… tapi… tapi Lala malu…" Lala menunduk dan menutup mukanya. Azura bisa melihat telinga Lala memerah.
"Kau tahu malu juga ya La…" Azura menyeringai. Lala mendongak dan cemberut.
"Az jahat! Az jangan jadi seperti ayah!"
Krav tiba-tiba bersin. Dia menggaruk kepalanya dan melepaskan auranya.
'Apa dua bocah itu sedang membicarakan betapa hebatnya auraku?' batinnya. Dia mengeluarkan auranya lagi dengan lebih bersemangat.
Sayangnya tidak ada yang memperhatikan Krav. Azura dan Lala sudah kembali pada meditasi mereka masing-masing.
Setelah beristirahat sebentar, Krav kembali melatih kemampuan bertarung Azura. Kali ini dia menangkis setiap tebasan pedang kayu Azura dengan tangan kosong, yang tentu saja dilapisi auranya. Yang kembali membuat Azura jengkel adalah Krav hanya menggunakan tangan kirinya selama pertarungan, sama sekali tidak menggunakan tangan kanannya. Krav bahkan tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya berdiri.
"Sehebat itukah kau sampai mempermainkanku seperti ini?" tanya Azura, terengah-engah. Setelah semua serangannya ditangkis Krav dan dia menghabiskan auranya lagi, rasa lelah yang melanda tubuhnya tidak main-main. Kakinya lemas tak lagi bisa menopang berat tubuhnya dan dia jatuh terduduk, keringat mengucur deras di sekujur tubuhnya.
"Hahaha, yah, kau bisa bilang aku cukup hebat," Krav menggosok hidungnya pongah. "Tapi ini lebih karena kau masih kecil. Bersabarlah, sepuluh tahun lagi kau akan bisa setidaknya membuatku menggunakan dua tangan, hahaha!" Krav tertawa lagi, kali ini lebih keras.
Azura terlalu lemas untuk menjawab kelakar Krav, jadi dia menjatuhkan tubuhnya, berbaring menatap awan.
Azura dan Krav melakukan sesi latihan-istirahat-latihan ini dua kali lagi sebelum akhirnya matahari berada di atas kepala. Baru setelah itu mereka berhenti dan mendekati Lala yang berlatih sendiri sejak percakapannya dengan Azura pagi tadi.
"Begitu ya, Az dan ayah berlatih sendiri, Lala diabaikan," sindir Lala sebal. Azura dan Krav tertawa canggung.
"Eh, maaf La, ayah kira kan Lala sudah hebat jadi tidak perlu ayah ajari dulu," Krav mencoba menyanjung Lala.
"Iya, kau kan tadi sudah bisa menempelkan aura ke batu, La, jadi kau sudah cukup hebat," Azura menimpali.
"Huh, alasan," Lala menyilangkan tangannya di depan dada dan membuang muka. "Dasar lelaki."
----------------