Kedatangan tiga orang prajurit Fern keesokan harinya membatalkan jadwal latihan Azura dan Lala.
Tiga prajurit berseragam baju kulit coklat khas Grindell, lengkap dengan logo singa yang mengaum dengan dua pedang bersilang di belakangnya. Mereka mengetuk pintu rumah Wald, ditemani Gardil, Sora, dan Barto.
Wald dan Krav sedikit khawatir dengan kedatangan mereka, namun tidak menampakkannya di raut wajahnya. Malah, Wald dan Krav berusaha bersikap seramah mungkin.
"Krav, senang melihatmu," sapa salah seorang prajurit yang berdiri di depan. Pakaian kulitnya sedikit berbeda dari dua prajurit lainnya, lebih bersih dan dihiasi dengan sepasang pelat baja di bagian bahu.
"Tarav?" Krav mengenali prajurit didepannya. Tarav tersenyum lebar.
"Kau terkejut?"
"Ya, kenapa kau disini?" Krav menyalami teman lamanya itu. Mereka sudah lama tidak bertemu sehingga Krav agak pangling tadi.
"Lima hari lalu, menggantikan komandan sebelumnya di kamp Fern. Tak kusangka belum genap seminggu ditugaskan di kepulauan Avaja aku sudah menemui masalah seperti ini," Tarav tersenyum kikuk.
Tarav kemudian berjalan kearah Lala yang bersembunyi dibelakang Azura. Dia berjongkok dan menatap Lala dengan ramah.
"Apa kau yang bernama Lala? Kenalkan, aku Tarav, teman ayahmu. Dan kau pasti Azura? Salam kenal," sapa Tarav sambil memasang senyum tulus.
"Mmm," Lala hanya mengangguk kecil.
""Apa yang akan kau lakukan padanya?" Tanya Azura tanpa tedeng aling-aling. Tarav tampak kaget untuk sejenak sebelum kembali tersenyum.
"Kau cukup tajam seperti yang Sora ceritakan. Tenanglah, kita akan segera membahasnya," kata Tarav, yang kemudian berdiri.
"Duduklah disini," Wald memandu Tarav dan yang lain ke ruang tamu. Mereka segera memenuhi kursi yang telah ditata disana.
"Melihat keresahan kalian, aku tidak akan membuang waktu," Tarav memulai setelah mereka semua duduk, "jujur saja, ini bukan pertama kalinya aku menemui masalah ini. Artinya, ada anak-anak lain di luar sana yang sama-sama memiliki aura hitam, seperti Lala."
Gardil, Sora dan Barto hampir terlonjak dari kursi mereka. Krav dan Wald hanya mengerutkan dahi, namun jantung mereka tetap berdetak kencang.
"Apa ini artinya Demarka…"
"Tidak, Demarka tidak bangkit lagi," Tarav memotong kalimat Gardil, "mereka anak-anak dari berbagai ras di seluruh Gaia. Kurcaci di Pegunungan Kurcaci Kiln, Elf di Rwain, bahkan ada juga yang di Gungnir," Tarav tersenyum miris. "Kalau saja kau tahu betapa riuhnya kasus yang di Gungnir. Bayangkan, anak beraura hitam tiba-tiba muncul di kota pusat militer Kerajaan Grindell. Para prajurit muda berlarian kesana kemari sedangkan yang veteran langsung menjadi agresif. Untung saja anak itu tidak terbunuh. Dia tidak punya kesalahan apa-apa, hanya korban keadaan."
Azura melirik geram kearah Barto, yang langsung menciut. Dia teringat kekacauan di balai desa yang salah satu provokatornya adalah dia sendiri.
"Dan itu hanya kasus yang tercatat oleh militer Grindell. Ada beberapa kasus lagi yang masih berusaha kami konfirmasi. Tapi satu yang harus kalian ingat adalah, mereka tidak bersalah. Mereka hanya anak-anak, bukan prajurit Demarka," tambah Tarav.
"Warga desa tidak akan menerima penjelasan seperti itu," Gardil mengingat apa yang dilakukan warga desa pada Lala di aula balai desa. "Ketakutan mereka tertanam terlalu dalam. Aku takut beberapa dari mereka akan melakukan sesuatu pada Lala kalau kita biarkan Lala tetap tinggal di desa."
Azura sekali lagi melirik kearah Barto. Kali ini dia sedikit mengeluarkan auranya, yang membuat Barto hampir terjatuh dari kursinya.
"A-aku tidak punya niat buruk apapun terhadap Lala!" Jeritnya ketakutan.
"Az…" Lala memegang tangan Azura dan menggeleng pelan. "Barto kan sudah minta maaf sama Lala. Barto tidak akan sejahat itu."
Azura mendesah pelan. Dikhianati Andalene membuatnya lebih waspada terhadap orang-orang di sekitarnya.
"Yah, ini memang masalah yang harus kita selesaikan bersama. Grindell juga sedang berusaha mengatasinya, jadi kalian tak perlu terlalu khawatir," hibur Tarav. "Untuk kasus Lala, kami akan mengirim beberapa prajurit untuk berjaga di sekitar desa. Tapi saranku, Krav," Tarav menoleh kearah Krav, "kau dan Lala sebaiknya tidak tinggal di dalam desa. Kalau bisa, tinggallah di bagian luar desa, seperti di rumah ini."
Tarav menunjuk kearah lantai rumah Wald. Rumah Wald memang berada di lingkar luar desa, yang lebih dekat dengan hutan di belakangnya dibanding dengan rumah warga terdekat.
"Aku memang berencana membujuk mereka untuk tinggal disini," kata Wald. "Toh aku hanya tinggal sendiri disini bersama Azura, jadi masih banyak kamar kosong yang bisa dipakai."
"Kakek sih, bikin rumah besar sekali. Buat sendiri juga ngapain besar-besar," protes Lala. Padahal dia sering menginap di rumah Wald.
"Haha, kalau kau sudah tua nanti, La, kau juga akan ingin tinggal di rumah yang besar," Wald membela diri.
"Tidak perlu menunggu tua. Lala sekarang juga sudah tinggal di rumah yang besar, rumah kakek," Lala membusungkan dadanya bangga. Wald dan Krav melongo.
"Kenapa kau bangga, La? Ini kam bukan rumahmu sendiri," sindir Krav. Lala meleletkan lidahnya.
"Biarin!"
"Hahaha!" Tarav tertawa melihat kekonyolan Lala. "Aku bisa melihat kenapa kalian masih membela Lala walaupun dia memiliki aura hitam. Anak ini lucu sekali."
"Lucu? Lala lucu?" Lala menyentuh-nyentuh pipinya. "Az, apakah Lala lucu?"
"Ya, lucu sekali," Azura tersenyum menahan tawa.
"Tapi Lala ingin dibilang cantik."
"Kau juga cantik," Azura langsung menimpali.
"Ehe," Lala tersenyum malu. Tangannya langsung menutup pipinya yang mulai memerah.
Semua yang ada di ruang tamu rumah Wald tersenyum melihat obrolan receh Azura dan Lala, kecuali Krav. Dia melotot bingung.
'Apa, apa ini? Apa aku melewatkan sesuatu? Kenapa di mataku mereka terlihat sedang jatuh cinta? Tapi mereka masih anak-anak! Lala baru 5 tahun dan Azura juga masih seumuran dengannya! Ada apa ini?!' batin Krav terguncang.
"Yah, kurasa kalian tidak perlu khawatir dengan Lala," Tarav membawa mereka semua kembali ke topik permasalahan. "Soal warga desa, aku sendiri yang akan menjelaskan kepada mereka. Tolong kau kumpulkan mereka besok pagi di balai desa," Tarav berkata pada Gardil.
"Baiklah." Gardil lega. Kalau akan ada prajurit yang berjaga di Desa Tuka, tidak akan ada warga yang protes lagi.
"Kalau begitu, cukup itu saja. Kalian bisa pulang," kata Tarav pada Gardil, Sora dan Barto.
Mereka bertiga segera pamit dan pulang, senang karena setidaknya masalah aura Lala telah teratasi.
Tarav dan dua teman prajuritnya masih tinggal di rumah Wald untuk membicarakan sesuatu dengan Krav.
"Jadi ada apa? Kau pasti mau menyampaikan sesuatu yang cukup konfidensial kalau kau memulangkan mereka bertiga lebih dulu," Krav menodong Tarav.
"Kapan kau akan memenuhi panggilanmu? Gungnir sudah menunggu kabar darimu sejak bulan lalu," Tarav ganti bertanya pada Krav. Krav mengangkat bahunya.
"Entah. Bisa besok, bulan depan, tahun depan, siapa tahu?"
"Ayolah Krav, jangan main-main," Tarav mendesah lelah. "Kau pasti sudah menduga ada sesuatu yang terjadi hingga Grindell memutuskan untuk memanggilmu. Dan bukan hanya kau, beberapa prajurit yang memutuskan untuk pensiun muda juga dipanggil kembali. Kami membutuhkan jasa kalian lagi."
Melihat Tarav yang nampak tak berdaya, Krav tidak jadi menggodanya dengan candaan dan menjawabnya dengan serius.
"Aku memang berencana untuk melapor ke Fern sebelum ini tapi kasus Lala membuatku menunda rencana. Ada apa?"
"Ini," Tarav mengulurkan sebuah surat. "Karena kau tidak segera menghubungi Grindell, kami memutuskan untuk mengirim surat lagi. Kuharap kau segera memenuhi panggilan Grindell kali ini."
Krav menerima surat Tarav dengan penuh tanda tanya. Dia membuka dan membaca isinya dengan cepat. Semakin dia membaca, semakin keningnya berkerut dan ketika dia sampai di akhir surat, matanya melotot.
"Laksamana?!"
Tarav mengangguk singkat dan, diikuti dua prajurit di belakangnya, menyilangkan kedua tangan di depan dadanya membentuk huruf X, memberi salam dengan suara tegap pada Krav.
"Hormat, Laksamana Krav! Kami siap menerima perintah!"
Krav melongo. Begitu juga dengan Wald, Lala, dan Azura.
---
Setelah mengirim Tarav dan dua temannya pergi, baru Krav bisa mendesa lega.
Dia tidak menyangka surat kedua Grindell adalah surat pengangkatannya menjadi Laksamana.
Laksamana adalah jabatan tertinggi kedua di jajaran militer Grindell, tepat dibawah Panglima. Dibawah Laksamana ada Komandan, Kapten, Kepala Prajurit, dan prajurit biasa.
Itu artinya Krav telah menjadi petinggi militer Grindell dalam semalam.
Beberapa tahun yang lalu, saat meninggalkan Grindell, pangkatnya hanyalah Kapten. Tarav, yang waktu itu sudah menjadi temannya, juga adalah seorang Kapten. Namun sekarang, ketika Tarav baru naik pangkat sebagai Komandan muda, Krav tiba-tiba saja sudah melompatinya dan diangkat sebagai Laksamana.
Hal ini membuat Krav semakin berspekulasi. Apa sebenarnya yang dihadapi Grindell hingga kerajaan besar itu seputus asa ini membutuhkan bantuan para prajurit yang telah pensiun? Sampai-sampai mengangkat Krav naik dua tingkat menjadi Laksamana?
Krav tidak banyak berpikir. Dia tahu dia akan menemukan jawabannya jika dia segera pergi ke Gungnir.
"Ayah, ada apa?" Lala bertanya, tidak tahu sama sekali apa yang dikhawatirkan ayahnya. Berbeda dengan Azura yang sudah bisa menebak apa jalan pikiran Krav.
"Kau harus segera pergi ke Gungnir?" Tanya Azura. Krav tersenyum tak berdaya.
"Aku penasaran setajam apa pikiranmu nanti setelah kau dewasa," Krav menggelengkan kepalanya. Jika Azura bisa membaca pikirannya saat masih sekecil ini, bagaimana saat dia sudah dewasa nanti?
"Ayah akan ke Gungnir? Kapan?" Kali ini Lala khawatir. Dia kaget ayahnya tiba-tiba akan pergi setelah masalah auranya selesai.
Krav memejamkan matanya.
"Minggu ini," jawabnya pelan. Dia membuka matanya dan melihat Lala yang berusaha merajuk.
"Tidak bisakah bulan depan saja?" Rengeknya. Krav menggelengkan kepalanya.
"Tenang La, ayah tidak akan lama. Mungkin hanya satu-dua bulan, lalu ayah akan kembali pulang," hibur Krav. Lala cemberut.
"Janji?" Tanyanya.
"Janji," Krav memeluk putri satu-satunya.
"Kau akan pergi ke daratan utama melalui Kota Seran, kan?" Tanya Azura. Gungnir berada di daratan utama Gaia, dan untuk pergi kesana, Krav harus meninggalkan pulau Avaja naik kapal dari Kota Seran, pelabuhan utama kepulauan Avaja.
"Ya," Krav mengiyakan. Azura mengepalkan tangannya.
"Bawa aku ke Seran," pintanya.
"Aku ingin, tapi tidak bisa. Sesampainya di Seran, aku akan langsunv menaiki kapal dan berlayar ke daratan utama Gaia, ke Gungnir. Siapa yang akan membawamu kembali pulang ke Desa Tuka?"
"Aku akan pulang sendiri," jawab Azura enteng.
"Aku ikut!" Lala menambah masalah. Krav menepuk dahinya, pusing.
"Haha, tenang saja, aku akan ikut," Wald, yang sedari tadi hanya mendengarkan, menawarkan diri. "Kau tenang saja dan pikirkan urusanmu dengan Grindell. Aku akan menemani mereka berdua."
"Ohiya, ada Kakek Wald!" Lala berteriak senang. "Asyik asyik kita main ke Kota Seran. Asyik asyik," dia berjoget bahagia.
Selama tinggal di Desa Tuka, Lala tidak pernah berkunjung ke tempat lain. Krav selalu menitipkannya ke Kakek Wald kalau dia pergi ke Desa Dain atau Kota Seran. Jadi dia sangat ingin pergi bersama Azura ke kota Seran.
"Hhh, baiklah. Kau tidak apa-apa kek?" Tanya Krav khawatir. Bagaimanapun Kakek Wald sudah berumur, jadi dia khawatir akan keselamatan dan kesehatan Wald.
"Tenanglah, fisikku kuat, setiap hari mengangkat balok kayu sebanyak itu," Wald menunjuk ke luar, ke arah gudang kayunya. Dia sendiri yang mengangkat semua kayu itu. Krav mengangguk lega.
"Baiklah. Kita akan menunggu Tarav menyelesaikan masalah aura Lala dengan warga desa, dan setelah itu baru kita berangkat ke Kota Seran," kata Krav. Semua mengangguk setuju.