Pulau Avaja yang berada di wilayah kekuasaan Grindell merupakan pulau kecil yang menaungi dua desa dan satu kota. Desa Tuka, Desa Dain, dan Kota Seran. Di sebelah barat pulau Avaja terdapat pulau Fern, yang disulap menjadi kamp latihan militer oleh Kerajaan Grindell. Prajurit di kamp militer ini juga bertanggung jawab terhadap keamanan Pulau Avaja, terutama Kota Seran, yang menjadi titik pelayaran strategis di wilayah selatan Grindell. Lebih jauh ke selatan terdapat Pulau Niaka, tempat dimana Ellaine, Andalene, dan Azura sebelumnya tinggal.
Meski seringkali Pulau Avaja ramai oleh kapal dagang yang melintas, pulau ini terhitung terpencil karena selain berukuran kecil, tidak ada daya tarik yang lain di pulau ini selain sebagai pelabuhan singgah. Dan kapal-kapal yang singgah tersebut tidak menghabiskan waktu lama, hanya singgah sebentar di Seran sebelum kemudian berlayar kembali melanjutkan perjalanan. Itulah mengapa Desa Tuka dan Dain tetap sepi, dan tidak terpengaruh hingar-bingar Kota Seran.
Situasi ini dimanfaatkan oleh beberapa orang yang ingin hidup dalam kedamaian. Kebanyakan dari mereka sudah berumur cukup tua, dan sudah lelah dengan segala kebisingan dunia. Mereka menetap di Desa Tuka dan Dain, menikmati masa tua mereka dalam kedamaian.
Itulah mengapa sangat jarang penduduk berusia muda di Desa Tuka. Praktis hanya Lala dan Azura sajalah warga yang berumur dibawah 17 tahun.
Dengan karakter warga yang seperti ini, Krav pantas untuk khawatir. Semua warga Desa Tuka merasakan bagaimana teror yang dibawa oleh prajurit Kerajaan Demarka dua puluh tahun yang lalu. Dalam benak mereka, aura hitam telah menjadi simbol kejahatan. Krav sangat menyayangi desa ini, namun dia juga tidak bisa berbuat banyak untuk merubah stigma aura hitam tersebut.
Siang tadi, segera setelah Lala menunjukkan auranya, Krav mendatangi Gardil, Kepala Desa Tuka. Dia memberitahu Gardil tentang aura Lala, dan benar saja, seperti dugaannya, wajah Gardil langsung muram. Krav tidak tahu apa yang ada di pikiran Gardil, tapi dia yakin Gardil sedang mempertimbangkan akan mengusir Lala dari desa atau tidak.
"Aku tidak bisa memutuskan ini sendiri. Semua warga desa harus ikut mengambil keputusan. Bagaimanapun ini bukan hal yang bisa dirahasiakan selamanya," ujar Gardil.
Krav menggigit bibirnya. Dia juga paham tentang hal itu, tapi memikirkan apa yang akan dilakukan warga desa yang impulsif pada Lala membuat hatinya sakit. Dengan berat dia menyetujui saran Gardil.
"Kalau begitu aku serahkan padamu untuk mengumpulkan warga desa," kata Krav. Gardil mengangguk dan berdiri.
"Datanglah nanti malam ke balai desa. Aku akan memberitahu warga untuk berkumpul disana."
Bulan telah menampakkan kilaunya, namun bangunan balai desa malah dipenuhi dengan riuh obrolan.
Tujuh puluh lebih orang berkumpul di satu tempat. Meski aula di dalam balai cukup luas, namun untuk tujuh puluh orang masih terlalu kecil. Meski begitu kursi kayu yang disediakan cukup untuk memfasilitasi seluruh warga yang hadir.
Ketika Wald, Krav, Lala dan Azura memasuki aula, obrolan warga tidak berhenti, dan beberapa orang menyapa mereka dengan akrab.
"Hei, kalian datang bersama? Halo Azura, kau benar-benar sangat imut hari ini," sapa seorang wanita. Azura mengenal wanita ini sebagai Dora, salah satu warga yang pernah memesan furnitur di tempat Kakek Wald. Dia pernah bertemu dengannya dua kali saat mengantar meja pesanannya dan saat berjalan-jalan di desa.
"Kalian sudah datang? Berarti semua sudah lengkap," Sora, lelaki paruh baya yang memegang sebuah daftar kertas berisi nama-nama warga juga berjalan mendekat. Dia adalah asisten Gardil dalam mengelola urusan desa.
Melihat sikap kedua orang ini, Krav dan yang lain berkesimpulan bahwa Gardil belum memberitahu siapapun soal aura Lala.
Setelah mengobrol sebentar dengan mereka, Gardil keluar dari ruang Kepala Desa di seberang aula. Dia memberi tanda pada Krav dan Lala untuk mendekat. Wald dan Azura mengikuti mereka berdua.
"Duduklah disana," Gardil menatap Lala dan menunjuk ke sebuah kursi di depan aula. Kursi itu menghadap kearah warga.
"Apa ini maksudnya? Kenapa hanya ada satu kursi di depan sana?" Krav bertanya dengan nada geram. Azura bisa merasakan perubahan energi di sekeliling Krav.
"Tenang dulu. Semua warga perlu melihat dengan mata kepala mereka sendiri, apa warna aura Lala. Kau bisa menemaninya di depan kalau kau mau," jawab Gardil.
Azura mengernyitkan dahinya, namun tidak berkata apa-apa. Dia menggandeng Lala dan menuntunnya ke kursi di depan aula. Setelah mendudukkan Lala disana, dia berdiri di samping Lala, seolah menjadi penjaganya.
Krav dan Wald pun berdiri di samping Lala.
"Baiklah, bapak ibu warga Desa Tuka sekalian," suara Gardil terdengar cukup keras didalam aula, dan warga yang masih mengobrol segera diam, mendengarkan Gardil dengan seksama. "Kalian pasti penasaran kenapa aku mengumpulkan kalian semua di malam hari dengan pemberitahuan mendadak seperti ini. Ini karena ada satu hal yang menuntut perhatian kita semua untuk pencarian solusinya." Gardil menyampaikan pembukaan dengan raut wajah muram.
Banyak warga menahan nafas mereka. Mereka sangat jarang melihat Gardil sesuram itu. Masalah yang ingin dibicarakan Gardil pastilah cukup darurat.
Dan kenapa Lala, gadis kecil favorit seluruh warga, duduk di depan aula dikelilingi oleh ayahnya, Kakek Wald dan anak pendatang baru itu?
Begitu pertanyaan yang sedang melintas di pikiran warga saat ini.
Gardil melanjutkan pidatonya.
"Bapak ibu sekalian, kita semua sudah tahu tentang kekejaman prajurit Kerajaan Demarka dalam peperangan dua puluh tahun silam. Mereka, yang kesemuanya memiliki aura hitam, telah menanamkan benih-benih teror kedalam hati kita. Hingga sampai saat ini, kebanyakan dari kita masih tidak sanggup tidur sendirian dalam kegelapan. Mimpi-mimpi buruk di masa lalu masih menghantui kita.
"Dan sekarang, aku ingin menanyakan sesuatu kepada kalian semua, setelah sekian tahun berlalu, apakah kalian masih bersedia untuk dikuasai oleh ketakutan itu? Apakah kedamaian yang telah kita nikmati beberapa tahun terakhir ini belum mampu menghapus ketakutan dalam diri kita?"
"Apa yang mau kau sampaikan, hei, Gardil?! Tak perlu kau berbelit-belit!" Teriak salah satu warga yang duduk di barisan belakang. Gardil memandangnya dengan sabar.
"Barto, tenanglah. Aku ingin kepala kita semua dingin dalam menyikapi persoalan yang akan kusampaikan ini," jawab sang Kepala Desa, Gardil.
Ck! Barto berdecak sebal.
"Baiklah, bapak ibu, seperti yang kubilang, tolong tanggapi permasalahan ini dengan kepala dingin. Pertimbangkan dengan baik sebelum kalian membuat keputusan," Gardil menoleh kearah Krav dan memberi sinyal untuk melanjutkan.
Krav melirik Gardil jengkel. Dia kira Gardil yang akan menyampaikannya pada warga desa, namun sekarang malah dia menyerahkan tanggung jawab di detik-detik akhir. Krav menduga Gardil tidak berani menyampaikannya secara langsung pada warga desa.
"Ehem! Emh, teman-teman sekalian, kurasa kalian sudah tahu siapa… Er, aku." Krav memulai dengan sedikit grogi. "Aku adalah mantan prajurit Grindell, yang tentu saja kalian semua sudah tahu. Aku juga sangat membenci Demarka, dan kekejian yang mereka lakukan dulu. Aku…"
"Cepatlah, Krav, tak perlu berbelit-belit! Kenapa kau jadi seperti si tua Gardil itu!" Barto kembali berteriak.
Teriakan Barto tersebut mengagetkan Krav, sekaligus menyingkirkan kecanggungannya. Dia menghela nafas panjang dan melanjutkan dengan lebih tegas.
"Baik, aku tidak akan berbelit-belit. Anakku, Lala, yang kalian semua kenal sebagai anak yang ceria, periang, dan selalu gembira, memiliki aura hitam."
Kesunyian menghantam suasana balai desa. Tak ada satupun warga yang membuat suara. Mereka semua seolah berhenti bernafas.
"A-apa?" Seseorang di barisan tengah tergagap menanggapi pengakuan Krav.
Krav melirik Lala. Lala ganti menoleh kearah Wald dan Azura. Wald tersenyum dan mengangguk, sedangkan Azura memegang bahunya dengan halus. Lala, yang sedari awal pertemuan selalu gelisah, mulai tenang setelah menatap mata Azura.
Lala pun memulai rutinitas meditasinya. Energi disekitarnya berkumpul, bergelombang mengelilingi tubuh Lala, dan perlahan berubah warna, membentuk aura hitam yang sangat tipis. Meski sulit diperhatikan dengan mata telanjang, aura hitam Lala terlihat dengan jelas di mata para warga desa, yang kesemuanya memiliki trauma buruk dengan prajurit Kerajaan Demarka.
"Aura hitam!"
"Apa! Lala?!"
"Lala?! Tidak mungkin!"
"Tidak mungkin bagaimana?! Kau bisa lihat sendiri di depan!"
Kerumunan warga yang duduk langsung ricuh. Beberapa berteriak tidak percaya, beberapa menuding Lala dengan wajah bengis, beberapa menatap jijik, namun sebagian besar berteriak ketakutan.
Betapa tidak, aura pembunuh yang selama bertahun-tahun mereka hindari, saat ini muncul di depan mata mereka sendiri!
Beberapa warga yang gusar langsung merangsek maju ke depan aula dan berusaha mendekati Lala, termasuk Barto, namun dihadang oleh Krav.
"Apa-apaan ini, Krav?! Kau menyembunyikan prajurit Demarka?!"
"Lihat dengan mata kepalamu sendiri! Yang kau tuduh prajurit Demarka adalah anak kecil! Lala, anak yang sering kau sapa setiap sore!"
"Tapi itu tidak merubah fakta bahwa auranya hitam!"
"Memangnya kenapa dengan aura hitam? Apa itu otomatis menbuatnya menjadi jahat?"
"Sekarang mungkin tidak, tapi bagaimana nanti setelah dia dewasa?!"
Krav kehilangan kata-kata menyangkal tuduhan orang-orang ini. Segigih apapun dia bersikeras, mereka tetap akan menolak Lala, karena dorongan rasa takut mereka selama ini sangatlah kuat.
"Hah! Kau juga tidak bisa menjamin, kan? Kalau Lala akan terus menjadi anak baik?!"
"Daripada kita menunggu dia menjadi masalah di kemudian hari, lebih baik kita usir dia dari desa ini sekarang!"
"Ya! Ya! Setuju!"
"Usir dia! Usir Lala!"
"Usir Lala!"
"Usir Lala!!!"
Hanya dalam sekejap, berkat provokasi dari beberapa orang yang maju kedepan, sebagian besar warga secara serempak meneriakkan tuntutan mereka. Beberapa yang memilih diam, seperti Dora, Sora, dan Nenek Matde, menatap Lala dengan bimbang. Mereka masih belum bisa mencerna sepenuhnya apa yang mereka lihat.
"Tenang, bapak ibu sekalian, tenang!" Gardil berteriak sambil mengangkat tangannya, berusaha menenangkan warga yang mulai ganas. Sayangnya teriakan satu orang tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan raungan serempak dari puluhan orang. Gardil tak berdaya mengendalikan situasi.
Kemudian, entah darimana, sebuah gumpalan kertas melayang dan mengenai kepala Krav, mengagetkannya.
Sebelum Krav dapat mengatasi keterkejutannya, gumpalan-gumpalan kertas lain mengikuti. Kali ini dibarengi dengan potongan roti, apel, tomat, bahkan sandal!
Dan target lemparan ini bukan lagi Krav, melainkan Lala.
Krav dengan sigap memasang badan didepan Lala. Sebagian besar barang yang dilemparkan berhasil dia tangkis. Sisanya ditepis oleh Azura. Lala sendiri meringkuk ketakutan di kursinya, tidak menyangka warga desa yang selalu menyapanya dengan ramah berubah menjadi agresif seperti ini kepadanya. Wald berusaha menenangkan Lala, meski terlihat tanpa hasil.
Tiba-tiba, seolah lemparan barang-barang itu belum cukup, seseorang melempar kursi kayu yang dia duduki kearah Lala.
Kursi kayu!
Insting Krav langsung bekerja. Dia dengan cepat mengeluarkan aura coklat yang menutupi sekujur tubuhnya, dan menghantam kursi kayu itu di udara, pecah berkeping-keping. Kepanikan dan kebingungan yang sebelumnya tergambar di wajahnya, kini digantikan dengan kegeraman. Dia tidak menyangka ada yang sejahat itu ingin mencelakai Lala dengan melempar kursi kayu.
Sayangnya, meski Krav telah menghancurkan kursi itu, beberapa kepingan kayu yang hancur berhasil terbang melewati tubuhnya dan mengarah tepat ke Lala. Azura, yang sudah mengeluarkan aura birunya sejak saat kursi itu masih di udara, berusaha menghalau semua kepingan kayu itu, namun satu kepingan yang cukup besar lolos dari sabetan tangannya dan melukai pipi Lala.
"Ah!"
Teriakan Lala membuat Krav dan Azura menoleh. Tubuh keduanya bergetar melihat luka gores di pipi Lala yang cukup besar mengeluarkan darah. Wald dengan tangkas merobek bajunya dan menutupi luka Lala, berusaha menghentikan pendarahannya.
Dan di tengah situasi yang semakin meruncing ini, Barto, yang semula berdiri di depan Krav, telah ada di pojok aula, di sisi kanan Lala dan yang lain. Di tangannya ada sebuah kursi kayu juga, dan dengan kekuatan penuh, dia melemparkan kursi itu tepat kearah Lala!
Krav yang melindungi Lala dari depan tidak menyangka akan ada serangan dari sisi kanan. Dia ingin menghancurkan kursi kayu itu seperti lemparan sebelumnya, namun lemparan dari Barto ini lebih cepat sehingga Krav tidak akan dapat menjangkaunya tepat waktu. Dia hanya bisa melihat kursi kayu itu terbang dan siap menghantam tubuh Lala.
Namun ada satu orang lagi yang tidak akan membiarkan kursi kayu itu melukai Lala begitu saja.
Azura memang sudah bersikap skeptis sejak awal terhadap para warga desa. Melihat bahwa Krav sendiri, sebagai ayah Lala, kehilangan ketenangannya dan nyaris melukai Lala ketika mengetahui aura hitamnya, Azura yakin akan ada warga desa yang mencoba melakukan sesuatu terhadap Lala. Keyakinannya terbukti ketika gumpalan kertas pertama tadi melayang. Dari situ amarah Azura mulai menyala, membesar setiap kali dia melihat ada benda lain yang dilempar kearah Lala. Dan ketika kepingan kayu tadi berhasil melukai Lala, amarah Azura mencapai puncaknya.
Posisi Azura yang berdiri dekat dengan Lala memungkinkannya untuk menerima hantaman kursi kayu itu sebelum mengenai Lala. Tapi amarah yang telah membara di dalam tubuhnya membangkitkan sesuatu dari diri Azura. Aura biru yang menyelimuti tubuhnya, meski tipis, bergolak dengan hebat.
Azura memfokuskan seluruh auranya ke dua telapak tangannya, dan mengangkatnya, mengarahkannya pada kursi kayu yang melayang di udara. Golakan aura biru di tangannya mengirim percikan bara ke sekelilingnya, menciptakan bertitik-titik nyala biru yang menyilaukan mata. Dengan teriakan yang menggetarkan aula, Azura melepaskan aura biru di tangannya.
"HAH!"
Dan dalam keterkejutan semua orang yang hadir di aula balai desa, yang keluar dari kedua tangan Azura bukanlah barisan aura biru melainkan sepasang larik api biru yang memancar terang, menggulung kursi kayu dengan bara biru yang mempesona.