Chereads / Legenda Mawar Biru / Chapter 9 - 9. Sidang #2

Chapter 9 - 9. Sidang #2

Api biru!

Elemen!

Semua mata di aula balai desa terpana menatap bagaimana kursi kayu itu dengan cepat terbakar habis. Kursi yang terlempar kearah Lala tersebut berubah menjadi arang hitam yang mengenai dada Azura dengan suara 'puk' kecil, sebelum akhirnya jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping.

Semua orang yang berada di aula terkesiap. Seberapa panas api biru yang dikeluarkan Azura hingga dapat merubah kursi kayu yang masih bagus, menjadi arang hanya dalam sekejapan mata?

Beberapa orang yang melempar barang kearah Lala bergidik ngeri membayangkan bagaimana jika api biru itu diarahkan ke badan mereka, terutama Barto, yang jelas terlihat melempar kursi kayu.

Azura menatap Barto dengan tatapan kebencian yang amat sangat. Barto terlonjak, dan menyadari mata Azura yang seolah mengoyak paksa setiap jengkal kulit tubuhnya, tanpa sadar Barto mengambil beberapa langkah kebelakang, dengan kaki gemetar.

Azura, anak berumur 4-5 tahun, hanya dengan tatapannya yang tajam, membuat lelaki dewasa seperti Barto hampir mengompol karena ketakutan.

Dalam situasi normal, orang-orang akan menertawai Barto dan memanggilnya pengecut atau anak mami, tapi saat ini, semua warga yang hadir memaklumi reaksi Barto.

Karena mereka melihat sendiri kengerian api biru Azura. Mereka merinding membayangkan apa yang akan menimpa Barto.

Namun berbeda dari ekspektasi mereka, Azura malah terhuyung dan jatuh ke lantai. Kali ini Krav menangkap Azura sebelum tubuh kecilnya berdebam di tanah. Krav merasakan nafas Azura terasa lemah, dan kesadarannya hilang. Azura pingsan.

Barulah semua orang bisa bernafas lega. Mereka baru sadar, mereka menilai Azura terlalu tinggi. Pertunjukan api biru Azura tadi telah mengaburkan penilaian mereka. Bagaimanapun Azura masih anak-anak, dengan kapasitas aura dan stamina yang sangat terbatas. Meski kehebatannya tak perlu diragukan karena berhasil mengeluarkan elemen di umur semuda ini, setelah pengendalian api biru itu, wajar saja Azura kehabisan energi dan jatuh pingsan.

"Siapa yang mau melempar sesuatu lagi?" Krav membaringkan Azura disamping Lala, yang terlihat sangat khawatir. Krav berdiri dan menghadap para warga, mengerahkan aura coklatnya sepenuh tenaga.

Warga yang melempari Lala langsung mundur ketakutan.

"Krav," Gardil memegang bahu Krav, menenangkannya. "Aku tahu kalian takut dengan aura hitam. Aku tahu trauma kalian cukup dalam sehingga tidak mudah menghilangkannya begitu saja. Tapi tolong berhentilah sejenak dan pikirkan dengan jernih situasi ini. Lihat kedepan aula, lihat siapa yang baru saja kalian lempari."

Gardil menunjuk kearah Lala, yang sekarang sedang mendekap Azura. Lala terlihat tidak lagi peduli dengan warga desa.

"Lala, gadis yang kita semua kenal dengan baik. Yozo, ini adalah Lala yang sering mengejar kupu-kupu di pekarangan rumahmu. Taraz, ini adalah Lala yang sering mencuri buah jambu dari daganganmu di pasar. Omna, ini adalah Lala yang beberapa kali mengajak ayammu berkelahi."

Raut wajah para warga mulai berubah. Mereka mengingat kekonyolan-kekonyolan yang dilakukan Lala, dan menghubungkan Lala ini dengan prajurit Demarka menjadi sangat memalukan.

"Ini adalah Lala yang kita semua butuhkan untuk menghidupkan suasana di desa yang dipenuhi orang tua ini! Ini adalah Lala yang sudah membuat kalian semua, tak terkecuali, tertawa dengan tingkah konyolnya! Apa pantas kalian melemparinya dengan kursi kayu hanya karena auranya hitam?" Kali ini suara Gardil meninggi, hingga hampir terdengar seperti teriakan. Beberapa warga desa mulai merasa malu, namun masih banyak yang memandang Gardil dengan wajah skeptis.

"Lalu apa pantas prajurit Demarka membantai seluruh keluargaku dua puluh tahun yang lalu?" Suara Barto kembali terdengar. Rasa geram yang sempat hilang tadi, kini kembali.

"Taraz, apa pantas prajurit Demarka membakar rumahmu dan memotong tangan kirimu? Matde, apa pantas prajurit Demarka membunuh semua anak dan cucumu? Gardil, apa pantas prajurit Demarka memperkosa dan membunuh istrimu?!"

"LALA BUKAN PRAJURIT DEMARKA!"

"TAPI AURA MEREKA SAMA!"

Gardil dan Barto saling berteriak sekarang. Dada mereka naik turun dengan cepat, nafas mereka pendek, dan mata mereka berdua merah oleh amarah.

"Apa karena aura mereka sama lantas Lala sama jahatnya dengan prajurit Demarka? Apa karena banyak ras monster yang jahat memiliki aura coklat lantas kau menjauhi aku dan Krav karena aura kami sama-sama coklat?" Gardil kembali berargumen.

"Kalau begitu sebutkan satu saja orang yang memiliki aura hitam, yang tidak berhati gelap seperti para prajurit Demarka," kata Barto. Kalimat ini mengunci bibir Gardil, serta Krav, Wald, dan yang lain.

Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Ini juga sebabnya trauma banyak penduduk Gaia akan aura hitam begitu mendalam. Aura hitam sudah menjadi ciri khas prajurit Demarka. Tidak ada lagi, sejauh yang mereka ketahui, makhluk dari berbagai ras yang memiliki aura hitam, kecuali mereka yang sudah bergabung dengan Kerajaan Demarka.

"Kau tidak bisa? Karena aura hitam memang adalah aura kegelapan, aura kejahatan. Tidak ada manusia, atau makhluk dari ras apapun, yang memiliki baik aura hitam dan hati yang baik. Mereka hanya bisa memiliki salah satu, aura hitam, atau hati yang baik. Tidak bisa keduanya," Barto berkata dengan keyakinan penuh. Kekejaman prajurit Demarka terpatri dengan jelas di ingatannya.

Gardil terdiam. Dia tidak bisa membalas kata-kata Barto, karena jauh di lubuk hatinya, dia juga memikirkan hal yang sama.

Gardil memang terlihat membela Lala, dan dia juga memang ingin membela Lala, dengan mempertimbangkan karakter Lala yang sangat berbeda dari prajurit Demarka. Namun sebenarnya, dia sendiri masih ragu Lala akan dapat terus menjadi orang baik dengan aura hitam yang dimilikinya.

"Lalu apa yang kalian ingin aku, dan Lala, lakukan?" Krav membuka mulut. Suaranya terdengar pelan namun semua yang ada di aula bisa mendengarnya dengan jelas.

"Maafkan kami, kami bertindak terlalu impulsif tadi," Yozo, lelaki yang sebelumnya berdiri bersama Barto, dan ikut melempari Lala dengan apel, maju dan menunduk menyesal. "Tidak seharusnya kami melempar barang seperti itu kearah Lala. Namun Krav, kau harus mengerti bahwa ketakutan kami nyata. Kami bukan mantan prajurit sepertimu. Kami hanya penduduk biasa, yang merasakan kebrutalan prajurit Demarka tanpa bisa melawan. Jadi, aku mohon dengan sangat, bawalah Lala pergi dari desa ini," Yozo membungkuk sekali lagi.

"Iya Krav, tolong bawa Lala pergi dari desa."

"Tolong kami Krav."

"Tolong mengertilah dengan kondisi kami."

Hampir separuh warga Desa Tuka membungkuk, meminta Krav membawa Lala pergi. Namun mayoritas masih berdiri diam, jelas terpengaruh dengan pidato Gardil tadi, tapi masih belum bisa membuat keputusan.

"Bapak-bapak, ibu-ibu," Sora, asisten Gardil maju kedepan aula. "Aku ingin menawarkan sebuah solusi. Bagaimanapun Krav dan Lala adalah bagian dari Desa Tuka, bagian dari kita. Krav juga telah cukup banyak berjasa bagi pembangunan desa ini, jadi kurasa sedikit tidak adil apabila kita mengusirnya begitu saja karena hal ini."

"Lalu apa solusi yang kau tawarkan?" Gardil penasaran dengan apa yang dipikirkan asistennya. Sora tersenyum.

"Aku akan pergi ke kamp militer Grindell di Pulau Fern. Disana ada cukup banyak prajurit Grindell yang ditugaskan untuk menjaga keamanan Kota Seran. Aku akan meminta tolong kepada Kepala Komando disana untuk menyelesaikan permasalahan ini. Akan lebih baik jika mereka mau mengirimkan beberapa prajurit untuk berjaga disini, mengawal Lala dan menjaga keamanan desa kita juga" Sora mengungkapkan rencananya. Kali ini banyak warga desa yang mengangguk setuju, termasuk yang sebelumnya meminta Krav untuk membawa Lala pergi dari desa.

"Saran yang bagus," puji Gardil. Dia menepuk punggung asistennya itu dengan bangga. "Aku akan mengirim beberapa warga untuk pergi ke kamp militer Fern bersamamu besok. Barto, apakah kau mau pergi bersama Sora kesana?"

"Baiklah. Kurasa sudah saatnya juga prajurit Grindell di Fern membantu menjaga keamanan di desa ini," Barto setuju, meski masih sedikit menggerundel.

"Kalau begitu kita akan lakukan apa yang disarankan oleh Sora. Kalian tidak perlu khawatir, kalau semua baik-baik saja, masalah ini akan selesai minggu ini juga," Gardil menyampaikan keputusannya. Warga desa mulai kembali rileks, meski masih waspada dengan Lala serta Krav.

"Krav, bagaimana menurutmu? Kurasa ini solusi terbaik." Gardil berbalik menghadap Krav. Krav hanya mengangguk pelan.

"Aku ragu prajurit Grindell di Fern akan mengijinkan Lala tetap tinggal di desa ini, tapi, ya, kurasa ini jauh lebih baik dari kericuhan yang baru saja terjadi," Krav mengungkapkan pikirannya dengan jujur. Gardil menghela nafas lega.

"Kuharap kau tidak menyimpan dendam pada para warga desa, Krav. Seperti yang dikatakan oleh Yozo, mereka hanya penduduk biasa, yang tidak punya kekuatan apa-apa untuk melawan prajurit Demarka. Dari sekian banyak warga, yang bisa mengendalikan elemen bisa kita hitung dengan satu tangan, dan sisanya juga tidak dapat mengontrol aura mereka dengan baik. Mereka hanya ingin hidup damai, setelah neraka yang mereka alami," Gardil menenangkan Krav, berharap Krav tidak berpikir untuk melukai warga desa nantinya.

"Tentu saja, aku tidak punya niat jahat terhadap mereka, Gardil, kau tak perlu khawatir," Krav tersenyum.

Gardil juga tersenyum. Setelah mengenalnya hampir sepuluh tahun, dia tahu Krav bukan orang yang pendendam.

"Bapak dan ibu warga Desa Tuka sekalian, kalian bisa meninggalkan aula sekarang. Beristirahatlah, istirahatkan pikiran dan tubuh kalian. Sampai jumpa besok." Gardil mengirim para warga desa pulang.

Tak lama kemudian aula yang tadinya penuh sesak, menjadi cukup lengang.

Hanya tinggal Krav dan Gardil yang sedang berbincang ringan, Wald yang merawat luka Lala dan Azura, Sora dan Barto yang membicarakan rencana kepergian ke Fern besok, serta Dora dan Nenek Matde. Dua orang terakhir tadi berjalan mendekati Krav dan Gardil.

"Krav, maafkan aku. Aku memang tidak punya niat melukai Lala, tapi aku sempat berpikir untuk mengusirnya dari desa." Dora meminta maaf dengan tulus.

Telah berteman lama dengan Dora, Krav tidak menyalahkannya sama sekali.

"Kau tidak salah, memang situasinya memaksa kita untuk berdiri berseberangan kali ini," hibur Krav. Nenek Matde juga terlihat sangat bersalah.

"Kau tahu, Krav, kau sudah kuanggap anak sendiri, begitupun Lala yang sudah kuanggap cucu sendiri. Melihat kalian, aku bersedia mencoba merubah pemikiranku tentang pemilik aura hitam," Matde mengungkapkan dukungannya terhadap Krav dan Lala. Krav tersenyum senang.

"Terima kasih, kalian berdua. Dukungan apapun yang kami terima saat ini amatlah berarti," Krav membungkuk kepada Dora dan Matde. Dua wanita ini langsung salah tingkah.

"Haha, terima saja ucapan terima kasih Krav. Dia benar-benar tulus menyampaikannya," Gardil tertawa. Otot tubuhnya yang tegang sejak awal pertemuan kini mulai rileks.

"Eh, Azura kecilku, kau sudah bangun?" Dora tiba-tiba melihat Azura membuka mata. Krav, Gardil dan Matde juga langsung mendekatinya.

"Aku tidak pingsan, hanya terlalu lemas untuk bergerak," jawab Azura. Dia terbaring di pangkuan Wald dan Lala.

"Kau benar-benar mengejutkanku. Umur, berapa, 4? 5? Dan sudah bisa mengeluarkan elemen? Kurasa aku melihat kebangkitan seorang tokoh dunia disini!" Gardil sama sekali tidak pelit dalam melontarkan pujian pada Azura. Yang lain mengangguk antusias.

"Hehehe, kalau kau hidup di generasi yang sama denganku, aku sudah akan memintamu menjadi suamiku! Tak peduli aku jadi istri nomor berapa!" Nenek Matde berkata dengan ceria.

"Nenek! Itu sangat tidak pantas!" Lala cemberut.

"Hahaha! Ya, ya, tenang saja Lala, aku tidak akan merebut lelakimu," goda Matde. Pipi Lala langsung merona merah, semerah darah yang sudah mengering di pipinya.

"NENEK!"

Semua yang hadir tertawa. Sora dan Barto, yang baru saja menyelesaikan rencana kepergian ke Fern besok, berjalan mendekat. Barto agak enggan, namun Sora menariknya.

"Ayo, minta maaflah," paksa Sora.

"Lala, Krav, aku... Aku minta maaf telah melempar kursi kayu itu. Aku tidak berpikir dengan jernih tadi," Barto meminta maaf dengan canggung, tapi semua yang ada disitu bisa merasakan ketulusan Barto.

"Bagaimana, Lala, apa kau akan memaafkan Barto?" Tanya Krav.

Lala ragu, tapi setelah Azura menyentuh bahunya lembut, dia langsung mengangguk.

"Tapi jangan Barto ulangi lagi! Gara-gara Barto Az jadi lemas seprrti ini!" Lala melotot kearah Barto. Barto meringis.

"Tapi kalian jangan salah paham. Aku masih ingin Lala pergi dari desa ini," tambah Barto.

"Ya, ya, kita lihat nanti," Sora menengahi sebelum terjadi perkelahian lagi.

"Kalau sudah tidak ada yang dibahas lagi, bisakah kita pulang? Azura butuh istirahat, dan luka Lala juga butuh diobati," Wald, yang sedari awal diam, membuka mulutnya. Krav mengangguk setuju.

"Baiklah, akan kugendong Azura. Bagaimanapun, dia pahlawan Lala hari ini," Krav melirik nakal kearah Lala. Lala manyun.

"Tunggu sebentar, Krav," Azura, yang sudah diangkat Krav di punggungnya, menghentikan Krav yang mulai berjalan keluar aula. "Ada yang ingin kusampaikan pada Barto."

Barto merinding, dan ingin melangkah mundur, namun tangan Sora menahan punggungnya. Dia memelototi Sora dengan jengkel.

"Tenanglah, aku tidak akan menyerangmu," suara lirih Azura masuk di telinga Barto. Barto kembali menatap Azura.

"A-apa yang ingin ka-kau sampaikan?" Barto tergagap. Bayangan api biru tadi masih terbayang jelas di matanya.

"Tadi kau bertanya pada Gardil, sebutkan satu saja orang yang memiliki aura hitam, namun tidak berhati gelap seperti prajurit Demarka. Aku mengenal seseorang yang memiliki dua kriteria itu," meski lirih, kata-kata Azura menarik perhatian semua yang tersisa di aula. Mereka menatap Azura dengan penuh rasa penasaran.

"Siapa?" Gardil bertanya. Pertanyaan itu juga yang terbayang di pikiran yang lain.

Azura tersenyum, dan menjawab dengan suara pelan namun penuh keyakinan.

"Lala."