"Akhirnya ada temen juga," ucap Mia. Kedua tangannya ia usapkan ke wajahnya, mensyukuri nasibnya yang akhirnya nggak sendirian lagi.
"Kamu juga dipanggil sama Pak Miko?" tanya Dian, mahasiswi dari kelas sebelah.
"Iya."
"Padahal temen sekelasku ada yang lebih bobrok dari aku, tapi dia nggak dipanggil. Nilainya aman kali, ya?"
"Gue juga heran. Ada yang nilai kuisnya aja sama kayak gue, tugas dia jarang ngumpulin, mana sering telat pula. Tapi dia malah cengengesan pas tau gue dipanggil," ucap Mia menggebu, mengekspresikan kekecewaannya.
Kok bisa? Wa jelas dong. Dari sembilan puluh anak di angkatannya, cuma ada sepuluh anak doang yang dipanggil sama Pak Miko. Katanya sih ada tugas tambahan.
"Emangnya nilai kita sebobrok itu apa ya?" gumam Dian yang masih heran, kenapa sampai dipanggil sama Pak Dosen.
Tak berapa lama kemudian, salah seorang temannya sudah ke luar dari ruang dosen. Namanya juga tercantum di list yang semalam dishare di grup angkatan.
"Gimana?" burunya penasaran.
"Disuruh ngerjain yang soal uraian. Sama buat makalah," jawabnya dengan intonasi pelan. Kayak udah kehabisan tenaga gitu.
"Cuma itu?"
"Edan! Dikumpulin besok, dodol. Mana lebih banyak kena teguran lagi, padahal cuma tinggal bilang apa tugasnya aja, udah beres.." mahasiswa tersebut langsung mengucap istighfar berulangkali, menyadari emosinya yang baru saja meningkat tanpa komando. "Kalian langsung ke dalem aja, udah ditungguin sama beliau."
"Oke, thanks infonya..."
Mereka mengatur pernafasannya sejenak sebelum memasuki ruangan penuh kutukan di dalam. Aksi saling dorong terjadi di depan pintu ruang dosen, udah kayak aksi demo yang belakangan ini selalu muncul di layar kaca.
"Oke, gue yang ketuk pintu, lo yang masuk duluan."
"Kok-"
Ucapan Dian terpotong oleh suara pintu yang terbuka, diikuti oleh Si Ibu Kajur yang cakepnya tumpeh-tumpeh itu.
"Kalian ngapain berdiri di depan pintu? Ngalangin jalan, pindah kalau mau ribut."
"Hehe, maaf, Bu..." sahut mereka kikuk.
Kontras banget penampilan mereka, ibarat princess sama pembokatnya! Kayak langit dan bumi, kayak Snow White dengan para kurcaci. Apasih?!
"Kalian mau ke mana?" tanya beliau dengan nada kalemnya.
"Mau ketemu Pak Miko, Bu," jawab Dian yang sudah mulai mendapatkan kesadarannya.
"Ooh, mau minta perbaikan nilai? Ya udah, silahkan masuk saja. Sudah ditunggu dari tadi," ucapnya. Beliau berlalu meninggalkan dua mahasiswi yang masih agak blank, menuju ke arah parkiran dosen.
"Wanjir, barusan kita disapa Bu Kajur? Mimpi apa semalam?"
Tiba-tiba alarm tanda bahaya memberi peringatan. "Buset! Kita harus segera ke Pak Miko!"
.
"Nilai kalian masih ada yang bolong," ucap beliau setelah sepuluh menit kedua mahasiswi tersebut menunggu.
Sebuah lembar penilaian diserahkan ke hadapan mereka, yang langsung dicek secara bergantian. Mia mendongakkan kepalanya, hendak mengeluarkan argumennya perihal kosongnya nilai tugas.
"Pak, saya sudah mengumpulkan semuanya. Bahkan saya sendiri yang naruh semua tugas di meja Bapak," ucapnya tak terima. Ya kali, udah ngumpulin semua tugas kok dikira belum sama sekali?
"Tapi saya tidak menemukan pekerjaan kamu," balasnya tenang sambil membaca berkas entah apa itu, bukan kapasitas mahasiswa untuk mengetahuinya.
"Tapi saya sudah mengumpulkan," Mia masih alot dengan pendapatnya. Bagaimanapun juga, ia malas jika harus mengerjakan tugas tambahan dari Pak Miko.
"Kamu mau dapat nilai C?" Ancamnya.
Duh, kalau udah bawa-bawa nilai tuh udah masuk dalam kategori sensitif. Why? Soalnya nilai C itu bisa nyoreng KHS nanti, terus kalau nggak diulang bisa jatohin IPK nanti (kalau C nya banyak). Sekarang baru semester awal, belum nanti pas semester selanjutnya apakah nambah banyak atau malah bagus semua nilainya. Nggak ada yang tau gimana jalan di depan sana.
"Kalian buat makalah, sumbernya minimal ada satu jurnal internasional. Cari sumber yang jelas, jangan plagiat. Paham?"
"T-tapi-"
"Ini semua saya lakukan demi mendongkrak nilai kalian. Tidak mungkin saya menaikkan nilai kalian cuma-cuma, karena semua perbuatan saya harus bisa dipertanggungjawabkan."
"Tugasnya dikumpulkan kapan, Pak?" tanya Dian.
Ia terlihat tenang, padahal sebenarnya grogi bukan main. Aura kekilleran Pak Miko emang no kaleng-kaleng.
"Besok. Bisalah ya? Toh saya kasih waktu sehari atau dua hari sama aja ngerjainnya kalau udah mepet," sindiran pedasnya itu mampu membungkam mulut dua mahasiswinya. Bukan omong kosong belaka, tapi emang bener dan beliau udah pengalaman menghadapi tipe mahasiswa yang demikian.
Mia dan Dian terduduk lesu di depan ruang dosen. Meratapi nasibnya yang harus mengerjakan tugas tambahan dari Pak Miko.
"Yakin, gue bakal daftar ujian seleksi lagi. Nggak kuat gue di sini."
"Serius? Nggak sayang, Mi?"
"Serius. Mumpung baru semester awal. Biar nggak makin error otak gue. Nih ya, gue itu pendidikan sebelumnya masak-masak. Tapi sekarang malah masuk ke jurusan nanem-nanem. Harusnya gue nggak di sini, Yan.."
Teringat akan tugas yang baru saja diberikan, kedua mahasiswi tersebut memutuskan untuk bersemedi di perpustakaan. Ya ngadem, ya dapet spot WiFi yang bagus.
Selain itu, perpustakaan juga menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa senior yang lagi ngerjain skripsi. Nggak semua sih, tapi presentase mereka lebih besar. Poin plusnyaaaa, yang cakep-cakep tuh ngumpulnya di sini.
Coba bayangin, mahasiswa cakep, penghuni perpustakaan, bawaannya buku sama laptop. Makin cakep aja mereka. Untung Mia sering ke sini, jadi bisa menemukan mereka-mereka yang mampu menyegarkan pikirannya.
Salah satunya kakak tingkat cakep yang baru saja duduk di sebelah Mia. Kak Revan :).
"Hei, kamu yang kemarin, 'kan?" tanyanya saat menyadari siapa perempuan di sebelahnya.
"Iya Kak, aku Mia yang kemarin," ucapnya malu-malu.
"Lagi ngapain?"
"Ngerjain makalah."
"Tugas tambahan? Dari siapa?"
"Iya, Kak. Dari Pak Miko.." jawab Mia lesu.
Sebuah tawa kecil lolos dari seniornya tersebut, membuat Mia merasa terpana sejenak. "Kok samaan? Ini aku juga ngulang mata kuliah beliau, dan sekarang dapat tugas tambahan. Besok harus udah dikumpulin."
Dian yang belum kenal dengan seniornya itu hanya mampu terdiam dan terpana. 'Senior idola ada di sini,' bisiknya dalam hati.
Namun obrolan mereka harus segera diakhiri, sebelum niat mengerjakan tugas menguap. Duh, padahal masih pingin ngobrol bareng Kak Revan...
.
"Kamu parkir di mana?" tanya Kak Revan setelah ke luar dari perpustakaan. Hari sudah menjelang sore, udah hilang konsentrasinya kalau memaksa buat ngerjain tugas.
"Nggak bawa motor, Kak. Tadi masuk bengkel," jawab Mia. Semoga seniornya ini baik hati mau nganterin. Kkkk..
"Ooh. Mau bareng aja?"
"Emang rumah Kakak mana?"
"Nggak dibawa," jawabnya rese'.
"Ih! Serius aku..."
"Aku ngontrak di deket masjid. Udah yuk, bareng aja. Kost kamu deket situ juga 'kan?"
"Kok tau?" tanya Mia heran. Pasalnya ia belum memberitahu di mana lokasi kostnya. Apa jangan-jangan...
"Nggak usah mikir aneh-aneh. Aku sering lihat kamu di sana, kadang kalau mau laundry juga lihat.."
Oh iya lupa. Kost Mia kan emang punya usaha laundry, dan biasanya mahasiswa yang males nyuci sendiri bawa cuciannya ke sana.
"Mau nyari makan dulu, nggak?" tawarnya ketika motor sudah melaju.
"Boleh," balas Mia. Ia juga merasa udah capek kalau harus masak malem-malem gini.
Motorpun berhenti di sebuah warung soto yang tak jauh dari kampus. Kak Revan menawarkan diri untuk memesankan soto, meminta Mia untuk mencari tempat yang kosong. Ada sih, tapi di pojokkan. Di sana udah ada pembeli yang sedang menunggu pesanan.
Dilihat dari penampilannya, sepertinya dia pekerja kantoran. Atau bisa juga pengajar. Kurang jelas wajahnya karena ia sedang menunduk, sibuk dengan ponselnya.
"Udah dapet tempat?"
"Udah."
Setelah jarak sudah dekat dengan meja tersebut, barulah mereka tersadar siapa pria tersebut. Tatapan tajamnya mampu membuat mereka berdua merasa keder, canggung mau gabung di sana.
"Permisi, Pak. Makan malam di sini juga, Pak?"
Basa-basi dikit, biar nggak dikira nggak sopan.
"Hmmm."
Udah? Gitu aja? Cuma 'hmmm' sambil ngangguk doang? Langsung balik fokus sama ponselnya?
Huffft, sabar... Untung dosen!
.
.
.
.
.
To be continue