Chereads / Maaf, Pak! / Chapter 11 - K

Chapter 11 - K

Perkuliahan sudah memasuki semester genap, itu artinya sebentar lagi tepat setahun Mia menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa pertanian. Statusnya sebagai Maba alias mahasiswa baru akan tergeser sebentar lagi, digantikan oleh dedek gemes yang masih unyu-unyu.

Tekadnya untuk pindah jurusan masih ia pegang, apalagi setelah ia didapuk menjadi koordinator kelas Pak Miko lagi. Bukan secara sukarela, tapi ia ditumbalkan lagi oleh kawan-kawannya.

Bisa saja ia menolak, tapi tatapan penuh intimidasi dari Si Bapak yang sedang duduk di kursi dosen membuatnya tak bisa berkutik. Dengan penuh keterpaksaan iapun mengangguk.

Dalam hati, ia menyumpahi teman-teman lucknutnya yang sudah semena-mena kepadanya. Lihat saja, sebentar lagi Mia bakal out dari sini. Ia akan terbebas dari mereka semua. Lihat aja nanti.

"Saya kasih artikel seperti biasa. Tolong dicopy buat yang lain, bener-bener dipelajari. Minggu depan saya adakan kuis, atau minggu selanjutnya. Tidak ada pemberitahuan kapan kuis akan diadakan, jadi persiapkan dengan sebaik-baiknya."

Mia menerima lembaran artikel tersebut. Merasa urusannya sudah selesai, iapun berniat untuk pamit dengan dosennya tersebut.

Tapi sebelum benar-benar beranjak, Pak Miko menghentikan pergerakannya. "Jangan lupa rantang Ibu saya dibalikkin. Takutnya dicariin sama beliau," pesannya.

Ah, ia hampir lupa kalau masih menyimpan rantang beliau di kost-an. Harus cepet-cepet dibalikkin nih, takutnya malah kelupaan kalau nanti-nanti. Atau lebih parah lagi kalau sampai hilang. Soalnya di kost itu barang-barang rawan hilang, entah dipinjem temen dan nggak bilang, atau diumpetin di dalam kamar kost mereka dengan alasan lupa.

Maka sampailah ia di sebuah rumah satu lantai yang cukup luas, setelah tadi ia menghubungi Ibu Pak Miko di mana alamat rumahnya. Ternyata mereka masih tinggal dalam satu kompleks perumahan, cuma beda blok aja.

Setelah memarkirkan motornya di dekat garasi, gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Taman di depan rumah sangat bagus dan luas, ada air mancur sama kolamnya juga. Kayaknya banyak ikannya, dan kalau mancing di sana dapetnya ikan yang gede-gede mungkin. Beberapa motor dan mobil terparkir rapi di garasi, sepeda onthel juga ada di sana.

"Cari siapa, Mbak?" Mia melonjak saat mendengar sapaan tiba-tiba dari arah belakangnya.

Seorang pria usia tigapuluhan, mungkin, nampak mendekat ke arahnya dengan memegang gunting rumput.

"Oh, enggg, saya mau ketemu Ibunya Pak Miko, Pak. Apakah beliau ada?"

"Ooh, ini Mbak Mia ya? Udah ditunggu di ruang tamu sama Ibu. Masuk saja, Mbak," ucapnya ramah.

"Ooh, iya, Pak. Makasih, Pak."

Mia berjalan ke arah teras rumah tersebut, kemudian mengetuk pintu dan mengucap salam sebelum masuk. Setelah mendengar balasan dari dalam, barulah ia masuk setelah dipersilahkan masuk.

"Duh duh, sini-sini cah ayu. Duduk sini dulu, Ibu buatkan minum dulu, ya?"

"Eh, nggak usah repot-repot, Bu. Ini Mia mau ngembaliin rantang makanan yang kemarin itu. Maaf baru Mia kembalikan."

"Nggak repot, kok. Walah, sebenernya nggak usah dibalikkin dulu nggak apa-apa. Ibu tau kamu pasti sudah mulai sibuk kuliah. Iya, 'kan?"

Mia tersenyum dan menganggukkan kepalanya. 'Sibuk juga ngurusin kemauan putra Ibu yang galak itu,' batinnya.

"Ibu itu baru buat klepon tadi, rencananya mau Ibu kirim ke tempat kamu kalau Mas Miko sudah balik. Tapi kalau kamu sudah ke sini, ya sudah makan sini aja. Nanti Ibu bungkusin kalau mau dibawa pulang."

Tak lama kemudian beliau sudah kembali dari dapur dengan membawa sebuah nampan. Terdapat dua gelas teh hangat dan sepiring klepon dengan taburan kelapa yang melimpah. Mia menelan ludah berkali-kali saat matanya menangkap bulatan-bulatan kecil berwarna hijau tersebut.

Asem! Klepon itu makanan favoritnya!!! Tau banget Si Ibu kalau dia lagi ngidam banget kepingin makan klepon. ;')

"Coba diicip dulu kleponnya. Kalau kata orang rumah sama Mas Miko, klepon buatan Ibu itu enak banget. Tapi Ibu nggak percaya sama mereka, siapa tau mereka cuma mau buat Ibu merasa seneng aja?"

Mia mencoba menusuk klepon tersebut dengan lidi yang disediakan, kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya yang sudah ngiler dari tadi.

Gila!!!

Petcah banget rasanya! Asli! Nggak bohong! Gulanya itu langsung meleleh pas digigit, berpadu dengan gurihnya kelapa parut di atasnya. Huhuuu, bolehkah kleponnya buat Mia semua??? ;')

"Gimana?" tanya beliau harap-harap cemas, sedangkan Mia malah seakan lupa kalau masib ada Ibu di depannya. Ia tersenyum ke arah beliau, tak mampu menahan rasa harunya saat menikmati klepon buatan beliau.

"Buuu... Ini enak banget!!! Aku terharuuuu... Kok bisa seenak ini, sih?" tanyanya sambil mengusap setitik air diujung matanya menggunakan telunjuk.

"Serius? Lho kok malah nangis, cah ayu? Kamu kenapa?" tanya beliau heboh. Apakah klepon buatannya tidak enak, pikirnya.

"Sumpah, baru kali ini Mia ngerasain klepon yang enak banget. Mia pingin makan terus jadinyaaa..." rengeknya manja. Ia seakan lupa kalau wanita di depannya itu adalah Ibunda dari dosen galaknya.

"Haduuuh, Ibu kira ada apa. Syukurlah kalau kamu suka. Nanti Ibu siapkan buat kamu bawa pulang."

"Boleh?"

"Ya boleh, dong... Kayak sama siapa aja. Oh iya, gimana kuliah kamu?"

"Eng, lancar Bu. Tapi kayaknya Mia bakal ikut ujian masuk lagi."

"Kenapa?" tanya beliau, terkejut mendengar keinginan gadis muda di depannya.

"Pingin pindah jurusan, Bu. Mia kurang nyaman sama yang sekarang," jawabnya.

"Tapi masih di kampus yang sama, bukan?"

"Belum tau, Bu. Tapi mungkin nanti Mia nyari yang deket sama rumah, atau kampus lain yang ada jurusan yang Mia cari."

"Lalu bagaimana kalau Ibu kangen sama kamu? Kalau Ibu mau ketemu nanti jauh kalau kamu pindah kampus. Ibu itu udah sreg banget sama kamu, Cah Ayu.."

Mia terdiam saat mendapati beliau terlihat sedih setelah mendengar ucapannya tersebut. Tapi 'kan semuanya juga belum pasti? Mia juga baru berencana, belum tentu juga ke depannya sesuai dengan yang ia rencanakan.

"Tapi belum pasti juga, Bu. Misalnya Mia ikut daftar ujian, belum tentu juga Mia lolos. Kalau mau ikut ujian mandiri Mia nggak ada biayanya. Ada sih, tapi duit orangtua Mia. 'Kan nggak enak kalau Mia pindah kuliah lagi, sedangkan mereka udah ngeluarin biaya buat Mia kuliah sekarang," ucapnya mencoba menenangkan.

"Ya sudah, Ibu bisa apa selain mendoakan kamu? Semoga apa yang kamu inginkan bisa tercapai, Cah Ayu. Tapi nanti sering-sering kunjungi Ibu kalau kamu jadi pindah, ya? Atau paling tidak kamu kabari Ibu saat senggang nanti."

Rasa klepon yang awalnya manis gurih, mulai memudar seiring dengan obrolan kedua wanita tersebut. Pudarnya kenikmatan klepon bukan karena rasanya yang menghambar setelah obrolan tadi, tapi lebih karena tandasnya bulatan hijau itu dari permukaan piring, berpindah ke dalam perut Mia.

"Mau Ibu ambilin lagi kleponnya?" tawar beliau.

"Eh, nggak usah Bu. Ini bentar lagi Mia mau pamit, sudah sore, Bu."

"Ya sudah, Ibu ambilkan dulu buat dibawa pulang."

Mau nolak kok rasanya udah nggak enak duluan. Ya udah deh, asal beliau senang saja.

"Ini wadahnya dibawa dulu nggak apa-apa. Kamu pulangnya sama siapa ini? Nggak nunggu Mas Miko sebentar? Paling dia sudah di perjalanan pulang.."

"Nggak usah, Bu. Ini temen Mia udah mau sampai ke sini."

"Siapa?"

"Senior di kampus, Bu. Eh, dia udah di depan Bu. Mia pamit, ya? Terimakasih kleponnya..."

Beliau mengantar Mia sampai teras rumah, dan baru tau kalau yang menjemput Mia adalah seorang pria. Ia merasa penasaran, ada hubungan apa antara mereka berdua?

Sebuah mobil yang nampak familiar tiba di depannya setelah kepergian Mia dan temannya. Dari arah kemudi, muncullah sosok pria muda yang parasnya mirip dengan Sang suami.

"Baru ada tamu, Bu?" tanyanya setelah menyalimi tangan beliau.

"Hm. Kamu tau ada hubungan apa antara Mia dengan seniornya itu?"

"Mia?" tanya pemuda itu heran. "Dia baru saja dari sini?"

"Iya. Sudahlah, kamu langsung masuk saja. Ibu buat klepon banyak tadi."

Dengan semangat, pemuda tersebut langsung berlalu ke arah ruang makan. Mencari kudapan yang Ibunya sebutkan tadi, dan menikmatinya dengan penuh rasa haru.

Klepon buatan Ibunya memang terbaik!

.

.

.

.

.

To be continue