Chereads / Maaf, Pak! / Chapter 15 - O

Chapter 15 - O

Mau nolakpun Mia sudah tidak bisa, kawan-kawan. Baru aja mau mangap, sudah ada Bu Nanda yang menyetujui usulan putranya. Katanya biar Mia nggak jadi pindah, gitu.

"Ibu nggak rela sebenernya kalau kamu pindah. Nanti kamu jarang nemuin Ibu, siapa lagi yang bakal ngabisin masakan Ibu?"

Wth, kalau yang nggak tau bisa ngira kalau Mia itu doyan banget makan! Hobi ngabisin makanan, apalagi kalau dimasakkin sama Bu Nanda!

Mia senyam-senyum aja saat mendengar kalimat tersebut. Udah ngelotok mukanya!

"Jangan pindah, ya? Mas Miko aja udah bela-belain mau bantuin kamu, masa' kamu nyerah gitu aja? Kalau belum menemukan ketertarikan, kamu bisa jadikan Mas Miko sebagai alasan."

Apalagi ini, Tuhaaan??? Mia spechless di tempatnya.

"Maksud Ibu, setidaknya kamu menghargai usaha saya dengan cara bertahan di jurusan pertanian. Maaf, kadang perkataan Ibu memang sulit dipahami."

Bukannya sulit dipahami, tapi bikin salah paham! 'Kan bisa aja kalimat beliau tadi diartikan seolah-olah kami ada hubungan spesial, dan nggak boleh sampai pisah, gitu.

"Nah, persoalan kalian sudah selesai, 'kan? Sekarang kita makan malam dulu, sudah Ibu siapkan di meja. Yuk, Cah ayu.."

"Kamu jangan nolak," seakan mengetahui gelagat Mia, Pak Miko langsung memotong perkataan yang sebentar lagi ia lontarkan. "Nggak baik nolak rejeki," lanjutnya.

Mia mengekor di belakangnya saat memasuki area ruang makan. Beberapa menu rumahan sederhana sudah tersaji dengan rapi di atas meja. Nasi yang masih mengepulkan asap nampak menggugah selera makannya. Itu baru nasi, lhoh. Perutnya udah keroncongan kenceng banget.

"Seadanya, ya. Ini semua hasil panen di kebun belakang. Itung-itung penghematan uang belanja sekalian olahraga, biar nggak stress pikirannya."

Mereka menikmati makan malam dengan khidmat, mensyukuri berkah yang mereka terima meskipun dengan menu sederhana. Sekecil apapun, tentu wajib disyukuri bukan?

.

Motor Pak Miko berhenti di depan kost Mia, tepat di belakang gadis itu memberhentikan motornya. Ia melepas helmnya saat mendapati Mia mendekat ke arahnya.

"Nggak dimasukkin sekarang motornya?" ia bertanya demikian, karena melihat gadis itu malah menghampirinya dan bukan malah memasukkan motor ke garasi.

"Sebentar, Pak," tolaknya. Mia sampai di sebelahnya, menatap dosen di depannya tersebut dengan senyum tipisnya. "Terimakasih, Bapak udah nganter saya sampai kost-an. Sebenarnya saya berani pulang sendiri, jadi Bapak bisa istirahat di rumah."

Dosen muda tersebut berdehem pelan. "Saya hanya ingin membuat Ibu saya tenang dengan memastikan kamu sampai di kost dengan selamat."

Mia menganggukkan kepalanya. Ia mengalihkan pandangannya ke sekitar, intinya menghindari objek di depannya ini. "Sekali lagi terimakasih, Pak. Saya permi-"

"Tunggu!" Selanya. Ia turun dari motornya, kemudian berdiri di sebelah Mia. Baru disadari bahwa gadis ini ternyata cukup mungil untuknya.

"Ehm, kamu nggak benar-benar mau pindah jurusan, 'kan?"

Mia tertegun mendengarnya. Haruskah ia jujur pada dosen di depannya ini? Tapi beliau kan dosennya, nggak apa-apa emangnya curhat sama beliau?

Walaupun ragu, Mia berusaha untuk menyuarakan pendapatnya kembali. "Emm, saya memang dari awal kurang suka sih, jadi misalnya ada kesempatan buat pindah jurusan ya bakal saya ambil. Makanya saya mau ikut ujian masuk PTN lagi," ungkapnya.

"Kalau gagal?"

"Bapak doain saya gagal, gitu?" cercanya. Ia tak percaya dengan sanggahan dosennya tersebut. Ini pilihan Mia sendiri 'kan?

"Bukan begitu. Tapi kamu perlu menyiapkan rencana lain seandainya kamu nggak berhasil."

"Palingan ikut ujian mandiri," putusnya gamang. Pasalnya biaya kuliahnya nanti pasti tinggi kalau dia ikut jalur mandiri. Ya emang sih, orangtuanya mampu. Tapi ia merasa tak enak pada mereka kalau harus memulai dari nol lagi.

"Huft, nggak bisa ya kamu pertimbangkan ucapan Ibu saya tadi?"

"Soal?"

Pak Miko mengacak rambutnya frustasi. Benarkah gadis di depannya ini seorang mahasiswi? Kenapa sulit sekali untuk membuatnya paham?

"Kamu ini mahasiswi apa anak SD sih? Bahkan anak SD nggak sepolos itu sekarang," gerutunya.

Mia tersinggung dengan ucapan dosennya tersebut, hingga tanpa sadar ia memasang tampang cemberut. Khas kalau dia lagi bete!

"Ya menurut Bapak gimana? Emang sih, saya masih pantes jadi anak sekolahan. Banyak yang bilang gitu. Tapi nggak perlu bandingin saya sama mereka juga..."

"Maaf..."

Mia terpaku di tempatnya saat merasakan sebuah usapan di kepalanya. Perlahan wajahnya terasa memanas, iapun membalikkan badannya, berniat untuk memasukkan motornya ke garasi. Sebuah kekehan di belakangnya membuatnya semakin gusar.

"Selamat malam, Mia.."

.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam, terlalu larut untuknya yang biasanya tidur jam 9 malam. Kalau harus lembur nugas, paling mentok sampai jam setengah sebelas, itupun jarang ia lakukan.

Tapi kali ini berbeda, entah kenapa Mia merasa kesulitan untuk tidur. Ia bukan penderita insomnia, jadi melek sampai selarut ini cukup mengganggu dan membuatnya uring-uringan.

"Kenapa sih? Nggak ada deadline tugas malah nggak bisa tidur gini. Perasaan tadi nggak minum kopi deh," gerutunya. Ia hanya bisa guling-guling di atas kasurnya, sesekali scroll social medianya yang berisi postingan dari teman-temannya. Ada yang lagi liburan, weekend entah jalan ke mana, adapula yang posting foto sama pasangannya. Udah kayak couple goals yang berseliweran di jagad maya ini.

"Ini kalau posting banyak-banyak sama doi, terus gimana hapusnya kalau udah putus? Hapus akun, gitu? Heran, deh.."

Ia masih sibuk dengan akun Instagramnya, sebelum sebuah notifikasi muncul di bilah atas ponselnya. Sebuah pesan dari...

"Ada apa dengan Bapak? Segabut itukah sampai malem Sabtu gini chat koordinator kelasnya? Mau kasih tugas dadakan? Ya ampun, tugas tadi aja baru di-"

Mia melotot saat mendapati rentetan huruf di depannya. Ini beneran Si Bapak yang ngirim pesan, 'kan? Bukan lagi dibajak sama orang? Belum sempat Mia membalas pesannya, sebuah panggilan video masuk ke akunnya.

Mia tergagap saat ia salah menekan ikonnya. Yaaa, keburu muncul sosok Pak Miko memenuhi kayar ponselnya. Kan niatnya mau nolak panggilan tersebut, kok malah keangkat?

"Ha-halo..." dengan ekspresi kacaunya Mia berusaha menyapa sang penelfon. Ia masih merasa syok!

"Kenapa belum tidur? Udah malem, Mia."

"I-ini baru mau tidur. Bapak kenapa nelfon saya? Padahal baru aja saya mau balas pesan Bapak.."

"Kepencet," jawabnya enteng. "Jadi gimana?"

Melihat tampang Mia yang nampak kebingungan, beliau mencoba mengulang pertanyaannya tadi di chat.

"Saya mau membantu kamu selama kuliah, kamu mau 'kan?"

"Engg..."

"Ibu yang minta. Kamu mau ngecewain Ibu saya?"

"B-bukan gitu, Pak. Tapi saya merasa nggak enak, Pak. Saya berterimakasih atas kebaikan Bapak, tapi rasanya-"

"Kamu nggak mau lulus di mata kuliah saya?"

"Loh, kok malah ngancem nilai saya sih? Nggak profesional namanya, Pak.."

"Ya makanya kamu nurut aja. Saya udah pusing dari tadi dipaksa sama Ibu. Beliau nggak mau kalau kamu sampai ke luar dari kampus."

'Gimana bisa lepas dari dunia hijau berjaya kalau diawasi dosennya langsung kayak gini?' batin Mia kesal. Haruskah ia bertahan di dunia tersebut?

"Saya harap kamu menerima tawaran saya. Kalau tidak, saya kejar kamu sampai kamu bilang 'iya'," sebuah kalimat bernada ancaman mampu mengerutkan keberanian Mia. Padahal nggak berhadapan secara langsung.

"Udah malem. Tidur sana!"

Belum sempat ia membalas panggilan udah diputus gitu aja. Hm, dosen mah bebas...

Drrrtt...

Sebuah pesan dari Pak Miko kembali datang. Dengan rasa penasarannya yang tinggi, dibukanya pesan tersebut.

"Gila! Apa yang ada di pikiran Bapak??? Mau dianggap pedofil apa gimana?"

.

.

.

.

.

to be continue