"Kamu nggak perlu manjawabnya."
"Gimana saya mau jawab kalau Bapak nggak menanyakannya ke saya? Perasaan dari kemarin Bapak cuma bilang kayak gitu, nggak ada kata-kata yang menanyakan kesediaan saya."
"Kok kamu marah?"
"Siapa yang marah?!" tanya Mia tak terima.
Dia nggak marah, pemirsa! Dia cuma mengutarakan perasaannya dengan penuh ekspresi. Kok malah dikira marah sih?
"Oke, lalu kamu maunya gimana?"
"Gimana apanya?!"
"Kamu mau saya gimana? Diem-diem aja seolah nggak terjadi apa-apa? Hei, saya juga manusia, Mia. Saya punya perasaan dan ketertarikan akan lawan jenis. Hanya saja ketertarikan saya malah sama kamu," sesalnya.
"Emangnya kenapa kalau saya?"
"Nggak apa-apa, sih. Saya rasa nggak ada masalah walaupun selisih kita hampir sepuluh tahun."
"Saya yang ada masalah! Bapak itu dosen saya di kampus! Apa kata orang kalau tau Bapak kayak gitu?"
"Kayak gimana, sih? 'Kan wajar aja saya tertarik sama kamu. Yang aneh itu kalau saya tertarik sama makhluk sejenis."
"Paaaak..."
"Buuuu..."
"Ish! Saya bukan Ibu-ibu, Bapak..."
"Saya juga bukan Bapak kamu, Miaaa."
Mia semakin cemberut. Ini manusia di depannya kenapa nggak mau mengalah aja sih? Usia aja yang tua, kelakuan malah mirip bocah! Hiiiiih...
Seusai kuliah tadi ia langsung diculik ke kediaman dosen ngeselinnya itu, bahkan ia belum mandi! Astaga, dia masih kucel, dekil, bau matahari!
"Kamu kalau mau mandi silahkan, saya carikan baju ganti yang cocok buat kamu."
"Saya mau pulang aja, Bapak."
"Nanti. Saya masih ada urusan sama kamu, nggak bisa ditunda-tunda lagi. Biar kamu nggak kabur-kaburan kayak kemarin."
"Fine!" putusnya.
"Jadi gimana pendapat kamu?"
"Bapak ngawur. Udah kayak di novel-novel aja. Atau jangan-jangan Bapak korban novel ya? Makanya Bapak kayak terobsesi banget sama saya?"
"Pikiran ngawur dari mana itu?"
"Biasanya kayal gitu!"
"Saya bukan yang seperti biasa asal kamu tau. Sebenarnya kamu ini kenapa sih? Kok kayaknya anti banget sama saya. Ada yang salah sama saya?"
'Bapak itu killer!' eits, cuma dalam hati aja kok ngomongnya. Mana berani Mia bicara secara lantang seperti itu? Yang ada dia ngulang lagi tahun depan.
"Ya... Ya... Ya saya 'kan masih muda gitu, Pak. Bapak itu terlalu dewasa buat saya yang masih ABG kayak gini."
"Secara nggak langsung kamu ngatain saya udah tua, gitu?"
"M-maaf, Pak... Maksud saya nggak gitu, kok."
Pak Miko nampak frustasi, apakah sesulit itu Mia membuka hati untuknya? Katanya pesona dia kuat, tapi kenapa nggak mempan buat gadis di depannya itu? Apakah seiring bertambahnya usia, pesonanya mulai luntur? Tuh 'kan malah jadi ngelantur ke mana-mana.
"Terus kamu maunya saya mesti gimana? Saya deketin kamu malah lari. Seburuk itukah saya di mata kamu?" ia sudah mulai putus asa. Mungkinkah ia harus mulai move on sekarang?
Usianya sudah bisa dikatakan masuk kategori matang sekarang, sudah saatnya ia membina hubungan serius jangka panjang. Ya, pernikahan.
Tapi apa daya hatinya malah berlabuh pada seorang mahasiswi baru, mana masih labil pula! Jika sudah begini, ingin rasanya ia menyangkal perasaannya.
Ia yang terlalu cepat lahir, atau Mia saja yang telat lahirnya? Apakah ada yang bisa memangkas jarak usia di antara mereka? Kalau cinta saja rasanya masih kurang, tuh Mia masih aja alot banget.
"Kamu ada ketertarikan pada age gap nggak?" tanyanya mulai ngawur. Intinya, apapun ia usahakan demi melancarkan aksi pendekatannya.
Mia merasa kikuk saat mendapati pertanyaan macam itu. Dengan terbata ia menjawab, "untuk saat ini kayaknya enggak deh, Pak. Tapi kadang saya juga bayangin, gimana kalau pasangan saya nanti usianya jauh di atas saya."
"Nah!" Mia terlonjak saat mendengar teriakan Pak Miko yang tiba-tiba. "Kamu nggak mau coba dulu? Anggap saja trial, kalau memang berjodoh ya lanjut di pelaminan. Kalau tidak, yaa seenggaknya sudah mencoba. Gimana?"
"Bapak kok makin absurd sih? Bapak kesurupan apa gimana?"
"Kenapa kamu jadi ngatain saya seperti itu? Memangnya kenapa kalau saya membahas tentang perasaan saya sesekali? Apakah itu dilarang? Saya itu manusia, Mia.
"Please, kasih saya kesempatan buat mengenal kamu lebih jauh."
"Ta-tapi-"
"Saya mohon..."
Kalau sudah seperti itu Mia kudu gimana? Mau nolak, nanti gimana nasib nilai kuliahnya? Belum lagi fans Pak Miko yang udah kayak polusi, ada di mana-mana!
Ia belum siap menghadapi mereka. Apa kata dunia???
"Paaaak..."
"Jangan mematahkan harapan saya dan Ibu, Mia."
Kenapa jadi bawa-bawa Ibu? Cari dukungan, gitu?
"Saya nggak siap menghadapi fans-fans Bapak yang banyak itu."
"Benarkah saya punya fans sebanyak itu? Perasaan saya biasa aja kalau di kampus, nggak ngurusin hal-hal remeh selain urusan pekerjaan.
"Kecuali tentang perasaan saya ini, bukan hal yang patut diremehkan. Apalagi itu menyangkut masa depan saya nanti."
"Saya masih labil, Pak."
"Saya tau."
"Saya kekanakkan."
"I know."
"Saya nggak menguasai mata kuliah, dan itu nggak cuma satu dua aja."
"Saya bisa membantu kamu buat mempelajari materi tersebut. So?"
"Ya udah," putusnya gamang. Ia sudah capek mengelak terus. Menghindar dari Pak Miko itu ibarat kita dikejar sama rentenir!
"Ya udah apa? Kamu nerima saya, atau kamu menyuruh saya berhenti perjuangin kamu?"
Mia meliriknya kesal. "Nggak usah sok nggak paham deh, Pak," ketusnya.
Akhirnya... Tak apa, sekarang jalani saja pelan-pelan. Toh Mia masih jauh masa depannya, baru juga jadi mahasiswa baru. Yang terpenting mereka sudah ada status dan komitmen untuk saling mengenal.
Kalau memang jodoh, pasti bakalan berakhir di KUA bukan?
.
"Yang rasa cokelat, saya nggak suka rasa vanila."
Mia mengembalikan susu vanilla ke tempatnya semula, menggantinya dengan susu rasa cokelat. Dilihatnya daftar belanjaan yang sudah dibuatnya tadi, kemudian beralih pada rak tempat aneka bumbu dapur.
"Pak," bisiknya saat ia berdiri di depan aneka bumbu dapur.
"Kenapa?"
Mia mengambil dua renceng bumbu dengan bentuk yang hampir sama, namun dengan ukuran dan warna yang berbeda.
"Ini yang mana merica, yang mana ketumbar, Pak?"
"Kamu nggak bisa bedain antara dua bumbu itu?"
"Bukan gitu... Saya sering lupa bedainnya."
"Sama aja, Mia," ia mendengus pelan. "Yang gede warna putih ini, namanya merica. Inget, me-ri-ca. Jangan sampai ketuker, apalagi salah sebut."
"Iya, tauuu. Yang kecil cokelat ketumbar 'kan?"
Mereka kembali berjalan untuk membeli kebutuhan lainnya. Tibalah mereka di rak aneka snack nikmat yang penuh dengan micin.
"Paaak..." Mia menarik-narik ujung kaos polo yang dipakai Pak Miko.
"Ambil aja. Tapi jangan banyak-banyak."
"Katanya ambil aja, kok dibatesin?" dumelnya saat kesenangannya hanya berlaku sesaat. "Ya udah, saya beli banyak pakai duit saya sendiri."
"Eh, gitu aja ngambek. Mau saya kuncir bibirnya oakai karet? Biar maju sekalian?"
Mia menghentakkan kakinya kesal. Tak mempedulikan peringatan Pak Miko tadi, ia memasukkan beberapa bungkus snack ke dalam keranjang.
"Huh, nggak dibayarin juga nggak papa. Gue masih ada duit sendiri kok," gerutunya sambil berlalu ke kasir. Semua belanjaan sudah terbeli, dan kayaknya udah nggak ada yang ketinggalan.
Ia mengantre di depan kasir, diikuti Pak Miko di belakangnya yang membawa keranjang berisi beberapa snack ringan. "Buat persediaan kalau kamu main ke rumah. Jangan boros-boros, gaji saya nggak akan cukup buat jajan snack banyak."
Antrean mulai berkurang, dan tiba giliran Mia untuk totalan di sana.
"Lhoh, Pak Miko? Sendirian aja, Pak?"
Mati!!! Itu suara Bu Kajur 'kan? Semoga aja Pak Miko nggak jujur jujur amat ke beliau. Bisa panjang urusannya nanti. Mia belum pindah jurusan soalnya...
.
.
.
.
.
to be continue