Chereads / Maaf, Pak! / Chapter 22 - V

Chapter 22 - V

Sudah mendekati part akhir, nih.. Ada yang ingin disampaikan?

.

Sepanjang perjalanan menuju perpustakaan kampus, telinganya selalu mendengar gosip tak sedap yang membuatnya resah. Bagaimana tidak, jika sedari menginjakkan kaki di kampus sudah mendapatkan asupan berita tentang adanya hubungan 'terlarang' antara dosen dengan mahasiswanya.

Mia yang sedang dalam fase hubungan tersebut semakin ketar-ketir saat namanya disangkutpautkan dengan kabar tersebut.

"Itu kamu, Mia?"

Mia agak gelagapan saat mendapatkan pertanyaan itu dari Juna. "H-hah? Teori dari mana itu? Kenapa jadi gue yang kena?"

"Kamu 'kan sering ketemu Pak Miko, bisa aja 'kan kalian terlibat affair?"

"Ngaco lo, Jun. Mana ada yang kayak gitu? Gue profesional kali, ketemu beliau cuma buat urusan kelas kita aja. Di luar itu mah ogah banget gue," tak apa 'kan berdusta untuk saat ini? Nasibnya benar-benar diujung tanduk soalnya.

"Iya juga, sih. Lagian mana mau Pak Miko sama cewek modelan kamu gitu? Nggak ada cakep-cakepnya pisan.."

"Ngarang! Gue itu punya aura yang kuat dan berkharisma!" ucapnya tak terima saat fisiknya 'disenggol'.

"Sama aku aja mau, nggak? Mau ke manapun, aku siap antar jemput kamu. Penampilanku juga nggak buruk-buruk amat, paslah kalau dijadiin gandengan."

"Sorry, boy. Gue itu tipe pemilih, selera gue juga cukup tinggi. Lo nggak masuk tipe ideal gue, Jun, selain tinggi badan lo yang jangkung ini. Sorry..."

Keberadaan dirinya di antara rak berisi buku-buku pertanian berhasil membuatnya mengantuk. Meskipun sudah belajar buat berdamai dengan keadaannya sekarang, terkadang ia masih merasa salah tempat.

Keberadaan Pak Miko memang cukup membantunya, apalagi disaat ia menemukan kesulitan dalam belajar. Tapi bukan berarti ia berdiam diri menunggu uluran tangan beliau.

"Kaum perempuan kenapa suka ghibah, sih?"

Mia menoleh, didapatinya Kak Revan tepat di sebelahnya sedang memilih buku. Tersenyum singkat, "Emang kaum pria nggak suka ghibah juga?"

Lawan bicaranya tersebut tampak berfikir sejenak. "Kadang, sih. Tapi kayaknya lebih sering ngomongin aib masing-masing dan di depan orangnya langsung. Yaa kayak pas kita ketemu di warung nasgor malem itu."

Seakan teringat, Mia menahan Kak Revan yang hendak berlalu. "Tunggu! Temen-temen Kakak yang kemarin nggak ada yang ember, 'kan?" selidiknya.

"Kenapa emang?"

"Kakak belum tau kabar terhot di kampus ini? Yang-"

"Skandal dosen sama mahasiswanya sendiri?" potongnya. Ia beralih ke arah Mia, menatapnya lekat, "bukan cuma reputasi orang itu yang hancur, tapi nama baik kampus bisa tercoreng. Dan itu akibat mulut- ups sorry, maksudnya jari-jari netizen yang maha tahu itu. Please lah, itu 'kan privasi masing-masing orang, ngapain mereka ikut-ikutan? Nggak dapet bayaran juga, 'kan?"

"Jadi-"

"Temen-temen aku nggak sekurangkerjaan itu buat nyebarin privasi kalian. Kami tau batasannya, mana urusan pribadi, dan mana yang bisa dikonsumsi oleh publik."

Mia sedikit tenang setelah mendapatkan kepastian dari seniornya tersebut. "Sorry..." lirihnya. Ia sudah berburuk sangka padanya tadi, padahal Kak Revan sudah baik padanya selama ini.

"Huft, padahal baru aja pingin kenal lebih deket sama kamu. Ternyata kalah cepet sama Si Oom," kekehnya.

"Maksudnya?"

"Nggak usah sok polos, deh. Dari awal kita deket masa' kamu ngga ada kecurigaan ke sana, sih? Really?" tanyanya tak percaya. Jangan bilang Mia nggak nangkep sinyalnya selama ini? "Asssem, sinyalnya udah ketutup sama sinyal do'i siiih... Pantesan kalau nggak nyampe ke kamu."

"Apaan, sih? Mana ada yang kayak gitu," pekiknya pelan. Mia tak terima dengan tuduhan terakhir seniornya itu.

"Udah-udah. Ini kamu mau nyari buku apa? Kayaknya dari tadi cuma lihat-lihat judul sama daftar isi doang, dibaca juga enggak isinya."

.

Mia membanting pintu mobil dengan sedikit keras, meluapkan kekesalannya pada pria yang sedang tersenyum dari balik kemudi. Kalau nggak inget statusnya, pingin rasanya jambakkin rambut berantakan di depannya itu.

"Bapak ngapain ke sini malem-malem, sih? Nanti kalau ada yang tau gimana?"

"Biarin aja," balasnya cuek.

"Kok gitu???" Mia mengubah posisi duduknya, menyamping menghadap si pengemudi. "Bapak nggak tau kabar terbesar di kampus? Astaga, sekarang lagi rawan, Pak. Nanti kalau ada yang pergokin kita gimana?"

Melihat gadis di sebelahnya sejenak, sepertinya memang benar mood Mia sedang buruk. Ia sudah mendengar kabar tersebut, tapi yakin bahwa bukan mereka berdua yang jadi bahan pembicaraan.

"Ya lalu saya harus bagaimana? Saya harus resign, gitu? Mana bisa, Mia. Seorang laki-laki dituntut untuk menafkahi keluarganya nanti, membuat pasangan dan anak-anak nyaman serta merasa terlindungi. Kalau saya resign, lalu mau saya kasih apa mereka?"

"Kok malah jadi ngomongin Bapak? 'Kan saya nggak bahas itu, Pak."

"Logikanya saja, coba berpikir sampai jauh. Jangan cuma nurutin nafsu buat bergosip yang belum tentu kebenarannya.

"Memangnya kenapa kalau mereka beneran ada hubungan? Saya sudah sering berpendapat, bahwa itu privasi mereka, bukan urusan kita."

"Tapi kalau kita sampai ketahuan gimana, Pak? Saya baru dua semester di sini, masa' harus ke luar?"

"Bukannya kamu memang pingin ke luar? Pindah jurusan katamu?"

"Iih, itu beda, Pak. Kalau ke luar gegara skandal, 'kan nggak baik juga buat nama baik kita. Bapak gimana, sih?"

Mia mengambil ponselnya, kemudian membuka akun social medianya. Beberapa temannya memposting foto mereka dengan pasangan masing-masing, ada yang udah ganti pasangan, tapi ada juga yang masih dengan orang yang sama. Anehnya, nggak ada bekas yang tersisa saat pasangan mereka sudah berganti.

"Ya ampun, minggu lalu masih full sama foto mereka berdua. Sekarang udah bersih kayak nggak ada apa-apa? Ya kali sekarang pacaran sama kucingnya doang?"

Gerutuannya itu ternyata sampai ke telinga Pak Revan, membuat beliau menoleh sejenak. "Itulah kenapa saya jarang posting urusan pribadi saya ke medsos. Bisa dilihat sendiri 'kan?"

Kali ini mereka berhenti di depan tenda penjual sate.

"Kamu nggak mau turun?"

Mia mendongak, "makan di mobil aja ya?"

Setelahnya Pak Miko turun dari mobil, mendekati penjual sate yang tengah mengipasi tusukkan daging di atas bara api. Tak lama kemudian beliau kembali lagi ke dalam mobil.

"Ditunggu, ya?"

.

"Makasih, Pak."

Saat hendak membuka pintu mobil, tangannya serasa ditahan. Membuatnya urung menyentuh pintu, "kenapa, Pak?"

"Jangan pedulikan omongan orang. Hubungan ini kita yang menjalani, bukan mereka. Let it flow, jangan bebani pikiran kamu dengan hal-hal buruk itu. Saya akan berusaha untuk tetap membuat kamu dalam batas aman."

Sebuah kecupan tak terduga berhasil mendarat di keningnya. Tubuh Mia terasa kaku, membeku nggak bisa digerakkan.

"Mia, are you okay?"

Dalam keterkejutannya, Mia mengangguk pelan. Ia masih syok dengan perlakuan dosen killernya tadi. Apa-apaan cium jidat tanpa permisi???

Bahkan ia masih berasa melayang saat sudah sampai di dapur kostnya. Bungkusan tahu crispy ia letakkan begitu saja di dekat kompor.

"Wuidih, yang baru aja pergi naik mobil. Siapa itu, Mia? Pacar baru, ya?"

"Eh!" Mia tersadar dari lamunannya, didapatinya rekan kostnya yang sedang mengamati bungkusan yang ia bawa tadi. "Hehe, ya gituuu... Eh iya, tadi aku bawain tahu crispy dari luar. Tapi maaf nggak banyak, itu aja dibeliin sam do'i. Nggak enak kalau mau minta banyak," ucapnya kikuk, mencoba menutupi kegugupannya. 'Semoga aja nggak ada yang ngeh sama doi,' ucapnya dalam hati.

"Waaaah, makasih banyakkk... Perhatian banget sih pacar kamu itu? Sampaikan ke dia ya, makasih udah ditraktir gorengan..."

Mia tersenyum. Diam-diam ia merasa bersyukur masih dilindungi sama Tuhan. Bisa gawat kalau sampai ketahuan dia dating sama Pak Miko. Bisa jadi skandal jilid 2 nanti!!!

.

.

.

.

.

to be continue