Pusing!
Satu kata untuk menggambarkan apa yang sedang dirasakan oleh Mia.
Gimana nggak pusing? Tugas makalah yang dibuat baru dapet 50%, padahal hari ini harus sudah dikumpulkan.
Kemarin ia baru mencari jurnal dan pustaka pendukung, untuk makalah dia baru selesai membuat cover aja. Setelah sarapan, barulah ia mulai mengerjakan bagian isinya. Itupun baru menggunakan sumber jurnal nasional, yang internasional lagi otw diterjemahin.
Bersyukurlah sekarang sudah ada internet yang mau menerjemahkan, asal bukan menerjemahkan bahasa kalbu. Oke abaikan.
Udah selesai diterjemahkan, masih harus membaca ulang dan memahami isinya. Di sinilah bagian terberatnya... Yang namanya terjemahan mesin, tentulah ada yang ngawur pakai banget hasilnya.
"Ampunilah dosa hamba, kedua orangtua hamba, dan dosen hamba, ya Allah... Kenapa cobaannya gini amat, ya?"
Ia sama sekali belum mandi gaess... Baru sempat sikat gigi sama cuci muka. Sarapan aja tadi sambil ngerjain makalah.
Kalau sudah begitu, pikiran yang terlintas satu-satunya adalah: 'Fix, gue salah jurusan. Pokoknya gue harus ke luar dari sini!'.
"Pingin ngeluh..."
Lah, dikiranya dari tadi itu ngapain? Ngepel?
'Drrrrt..'
"Siapa sih? Kalau dari Pak Miko nggak bakal gue tanggepin!"
Tapi tetep aja kepo! Makanya Mia langsung memasukkan kode ponselnya, dan melihat pesan masuk dari widget. Biar nggak ketahuan kalau udah di read. Plak!
"Eh, nomor baru?" Gumamnya sambil menggerakkan jari-jemarinya untuk menyentuh pesan itu.
"Omoooo..." pekiknya begitu membaca pesan yang masuk. "Kak Revan ngajakin ngumpulin tugas bareng? Tentu saja gue nggak bakalan nolak."
Saking senengnya, Mia sampai jingkrak-jingkrak dan nggak sadar kalau nginjek mouse.
"Aaaaa! Tikus gueeee..." pekiknya.
Jadilah ia meratapi nasib mouse-nya yang baru seminggu ini ia gunakan. Ternyata ada harga yang harus dibayar untuk kesenangannya kali ini. Mouse barunya... ;(
.
"Kenapa, sih?"
Melihat muka kusut cewek di depannya, Revan tak tahan untuk menanyakan penyebabnya. Apa karena tugasnya belum kelar? Atau nggak punya duit buat print out tugas?
Mia menghela nafasnya, "mouse-ku rusak."
"Kok bisa?"
"Ya bisalah! Keinjek tadi.."
"Ya udah, nanti bisa beli lagi. Apa mau kuanterin sekalian? Kebetulan aku free hari ini."
"Aku belum ada uang, Kak. Baru awal bulan depan nanti ditransfer.."
"Tapi laptop masih normal, 'kan?"
Ini perasaannya saja, atau memang seniornya ini lagi ngasih perhatian? Untuk ukuran orang yang baru kenal, level perhatiannya itu udah cukup tinggi menurut Mia.
"Masih normal, sih."
Sampailah mereka di fakultas pertanian tercinta dengan selamat. Dilihatnya beberapa mahasiswa yang berjejer di bangku depan ruang dosen, beberapa duduk di lantai, dan ada juga yang memilih untuk menenangkan diri di gazebo. Letaknya yang berada di bawah pohon mangga menjadikannya sebagai tempat favorit bagi mahasiswa.
"Permisi.."
Mia dan Revan melangkah ke ruang dosen setelah mengetuk pintu. Pak Miko yang sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel menghentikan kegiatannya sejenak.
Ia merasa heran saat mendapati dua mahasiswa beda angkatan bisa barengan untuk menghadapnya. Dilihatnya sekilas makalah yang mereka bawa.
"Tugasnya dikumpulkan jadi satu tiap angkatan. Saya tidak menerima tugas yang dikumpulkan secara terpisah. Ada pertanyaan?"
"Nanti dikumpulkan di meja Bapak atau bagaimana, ya Pak?"
"Nanti diantar ke rumah saya, titipkan di satpam komplek. Ada lagi?"
Kedua mahasiswa tersebut menggeleng. Udah lumayan paham sama apa yang harus mereka lakukan.
"Oke. Saya duluan.."
.
Gitu doang? Iya cuma gitu. Udah mandi, dandan, ngebut buat nyelesain tugas, ternyata dosennya malah pergi. Jadi tambah badmood aja, deh.
Informasi dari Pak Revan tadi sudah dikabarkan di grup fakultas, dan mereka berdua langsung ditumbalkan untuk mengantar tugas ke Pak Miko.
"Sekarang mau ke mana?" tanya Revan. Ia merasa kurang nyaman saat mendapati raut wajah Mia yang masih mendung, bahkan tambah mendung setelah ke luar dari ruang dosen.
"Balik," jawabnya singkat.
"Ikut aku aja gimana?"
Mia terdiam, nampak menimbang-nimbang ajakan seniornya tersebut. Kalau dia balik kost, yang ada malah tambah suntuk dia.
"Ke mana emangnya?"
"Jalan, dong. Kebetulan aku mau nyari sepatu buat footsal. Gimana?"
Mia-pun menerima ajakan tersebut. Jadilah sekarang ia berada di sebuah toko sepatu kawasan pecinan. Tadi ia sempat berjalan sejenak, karena motornya parkir di paling ujung.
"Menurut kamu bagusan yang mana?"
Revan mengangkat dua pasang sepatu dengan warna yang berbeda. Satu warna hitam dengan corak hijau, dan satunta lagi warna hitam dengan corak merah.
"Kalau aku mending yang hijau. Eh, tapi masa' warnanya ijo, sih? Pertanian banget, deh.."
"Bagus, dong?" ia terkekeh saat mendengar alasan absurd Mia.
Mereka melanjutkan perjalanan setelah mendapatkan sepatu footsal yang diinginkan. Tujuan kali ini yaitu sebuah pasar tradisional. Kenapa ke sana?
Karena di sana ada kios yang jual aneka jajanan pasar. Dari kue, gorengan, dan aneka jajanan lainnya juga tersedia di sana. Harganya pun terjangkau, nggak bikin kantong bolong asal nggak banyak belinya.
"Itu aja?"
"Iya. Nanti dimakan bareng juga habis.."
"Nanti kita ngambil tugasnya di fakultas berarti?"
"Hooh. Kok mereka malah jadi numbalin kita, ya? Padahal kita udah baik ngasih kabar ke mereka.."
"Nggak papa. Mungkin mereka udah percaya sama kita buat dikasih tugas itu.."
"Itu manfaatin, bukan percaya. Palingan mereka seneng karena nggak ketemu sama Pak Miko," gerutu Mia.
"Ya udah, sih. 'Kan ada aku juga, nanti kita berdua yang ke rumah Pak Miko."
"Tapi 'kan-"
"Udah. Daripada bawel, mending kita nyari tempat duduk buat nyicipin jajanan kita tadi. Udah laper nih.."
Hnggg... Nggak jadi marah, deh. Baru mau marah lagi, eh malah udah digandeng sama senior cakep. Auto meleleh kayak jelly.
Bersantai di bawah pohon beringin emang bukan pilihan yang salah. Di siang menjelang sore yang panas ini, bisa bersantai ditemani aneka jajanan, es jeruk yang nyegerin, ditambah angin sepoi-sepoi yang membelai manja. Perpaduan yang sempurna untuk menuju ke alam mimpi.
Tapi nggak boleh sampai ngantuk. Sia-sia dong udah sampai di alun-alun kota, kok cuma buat tidur. Mana ditemenin sama cowok ganteng lagi.
"Mau ke rumah Pak Miko jam berapa, Kak?"
Revan mengunyah bolu terlebij dahulu sebelum menjawab pertanyaan dari Mia. "Setelah ini kita balik ke kampus, ambil tugasnya sekalian jalan ke rumah beliau. Tadi ada yang ngabarin kalau tugasnya udah lengkap."
Mia mencomot tahu bakso yang sudah ditaksirnya sedari tadi. Ia membeli 3 biji, biar bisa makan dua gitu. Ceritanya tadi belinya samaan, jadi tiap jenis makanan ambil dua biji.
"Eh, tahu baksonya beli tiga nih?"
"Iya. Aku pingin banget, makanya ambil dobel."
Ngomongin tahu bakso, tak lengkap rasanya kalau nggak ada cabai yang menemani. Tapi cabai itu harus berakhir di tempat sampah ketika Mia yang menjumpainya. Poor cabai..
"Cabainya buat aku aja, jangan dibuang. Harga cabai lagi naik, sayang kalau nggak dimanfaatin."
Dua cabaipun berpindah tangan ke Revan. Sebagai pecinta pedas, terasa kurang apabila menikmati sajian yang dirasanya nikmat kalau pakai cabai, tapi harus berpisah dengan cabai. Intinya, kalau udah suka pedas, cabai itu ibarat belahan jiwa.
"Udah gede kok nggak suka pedes?"
"Bukan nggak suka. Lebih ke menghindari pedas kalau lagi nggak mood. Tapi kalau lagi pingin banget, ya udah makan yang pedes-pedes nggak papa."
"Suka tapi bukan cinta, ya?"
Mia tertawa mendengar pengandaian itu. Kayak perasaannya sekarang, suka banget sama senior di depannya ini. Cinta? Rasanya terlalu cepat untuk menjatuhkan perasaan tersebut, apalagi mereka baru beberapa hari belakangan dekat.
"Ngomong-ngomong, sejauh ini gimana rasanya kuliah di fakultas pertanian?"
"Jujur atau nggak, nih?"
"Jujur dong... Biar bisa tau pendapat kamu gimana sebagai mahasiswa baru."
"Jenuh banget. Tugasnya banyak, udah gitu masih ada praktikum. Capek banget, dan baru kerasa kalau udah mau tidur. Rasanya pingin ke luar aja, pindah jurusan lain. Ini bukan tempat aku, Kak," keluhnya, menyuarakan keresahannya yang biasanya tak terucapkan.
"Jangan nyerah, dicoba dulu bisa sampai mana kekuatanmu. Dulu aku juga gitu, tapi buktinya sekarang bisa bertahan sampai semester tujuh."
"Tapi ini beda dari jurusanku sebelumnya, Kak. Aku ngerasa susah banget buat beradaptasi. Apalagi ini semua terasa baru buatku yang dasarnya anak Tata Busana."
"Buktinya kamu bisa melewati semester ini. Masa' nggak ada sesuatu yang nyantol biar tetap bertahan?"
Mia menggeleng lesu. Terkadang ia merasa putus asa jika sudah membahas hal ini. 'Salah jurusan' merupakan kalimat yang tepat untuk menggambarkan perasaannya kini.
"Ya udah, semuanya terserah kamu. Lalu apa rencanamu ke depannya?"
"Aku mau ikut ujian lagi, ambil jurusan yang linier sama jurusanku sebelumnya. Atau minimal masuk bahasa asing, biar bisa kerja di luar negeri. Hehehe.."
"Yang penting kamu jangan lupain aku. Udah itu aja.."
Perasaan hangat menjalari hatinya kala mendengar perkataan tersebut. Rona merah tak mampu lagi Mia sembunyikan.
'Kata-katanya biasa aja, tapi kok bikin baper sih?'
.
.
.
.
.
To be continue