Seharian jalan bareng gebetan itu udah kayak dapet rejeki nomplok. Ya emang nggak disengaja sih, semua itu berkat tugas yang dikasih sama Pak Miko.
Berkat beliau, Mia yang awalnya cuma bisa memandang doi dari jauh, kini malah bisa boncengan motor berdua. Ya kali bonceng tiga _-.
Oh, haruskah ia berterimakasih padanya?
"Permisi, Pak. Kami mau nitip tugas kuliah buat Pak Miko. Apakah boleh?" tanya Revan setelah turun dari motornya.
Security yang berjaga di posnya menampakkan dirinya di depan pintu. Memindai penampilan mereka dari atas ke bawah, kembali ke atas lagi.
"Kalian mahasiswanya Pak Miko?"
"Iya, Pak."
"Sudah ngabari beliau? Soalnya saya belum dapat tembusan dari beliau."
"Jadi gimana baiknya ya Pak? Soalnya hari ini harus dikumpulin, Pak. Besok udah nggak diterima, Pak..."
"Sebentar, saya coba konfirmasi ke Pak Miko dulu."
Security tersebut kembali ke posnya, dan kembali sesaat kemudian dengan membawa ponselnya. Bersamaan dengan itu, terdengar suara mobil mendekat ke arah pos security.
Mia dan Revan mengamati mobil yang berhenti di depan mereka, rasanya tidak asing dengan mobil tersebut.
Seketika terjawablah rasa penasaran mereka setelah jendela di sisi pengemudi terbuka. Nampaklah sosok pria tampan nan memesona yang mereka tunggu-tunggu.
"Kalian ngapain?" tanya beliau tanpa mematikan mesin mobil miliknya.
Hei, nggak lihat ya tumpukan makalah yang Mia bawa? Mana berat lagi.
"Mau ngumpulin tugas Bapak," jawab Mia pelan.
"Baru dikumpulin?" nadanya itu antara nanya sama nyindir bedanya tipis. Nggak bakalan paham kalau baru sekali-dua kali ketemu sama beliau.
Tapi Mia dan Revan sudah cukup untuk memahami beliau.
"I-iya, Pak."
"Kenapa nggak dari tadi, sih?" gerutunya pelan. Beliau melihat jam di tangan kanannya sejenak. Kemudian kembali menatap dua mahasiswanya tersebut.
Rasa tak tega menghampirinya ketika mengamati penampilan lusuh keduanya. "Ya sudah, kalian antar saja ke rumah saya. Saya masih ada urusan sebentar," ucapnya.
Beliau menjalankan mobilnya menjauhi pos security. Meninggalkan sepasang mahasiswa yang merasa tak percaya dengan kelakuan dosennya itu.
"Kenapa nggak diterima sekalian, sih? Udah ketemu juga," kesal Mia setelah mobil Pak Miko hilang di sebuah tikungan.
"Mungkin beliau buru-buru, Mbak. Jadi gimana? Mau di antar ke rumah beliau sekalian?" tawarnya.
"Oh, nggak usah Pak. Kami sudah mendapatkan alamat Pak Miko," Revan menolak tawaran security kompleks dengan halus. "Kalau gitu kami permisi, Pak. Terimakasih sudah membantu kami," lanjutnya.
Saat ini mereka sudah sampai di alamat tujuan. Nampaklah sebuah rumah minimalis dua lantai yang dipenuhi dengan berbagai jenis tanaman hias.
Bahkan Mia sampai dibuat takjub dengan pemandangan di depannya.
"Buset, ini rumah Pak Miko?" rasa kagum memenuhi jiwanya yang jarang banget nemuin aneka tanaman hias, selain di lingkungan kampus.
Maklum, di tempat kostnya nggak punya lahan buat membudidayakan tanaman hias. Ada tempat terbuka, tapi cuma diisi beberapa tanaman hias dalam pot ukuran kecil. Itupun nyempil di tempat jemuran biar nggak gersang tempatnya.
"Dosen emang beda, ya. Apalagi dosennya fakultas pertanian. Rumahnya berasa taman bunga."
Revan tertawa pelan saat menjumpai tampang Mia yang lagi terkagum dengan pemandangan di depannya.
Tak berselang lama mobil yang dikendarai Pak Miko berhenti di area parkir rumah tersebut, tepat di sebelah motor Revan.
"Kalian mau mampir dulu?" tawarnya saat tugas mahasiswa sudah berpindah tangan ke beliau.
"Lain kali saja, Pak. Kebetulan saya harus bekerja setelah ini," tolak Revan.
Mia memandang seniornya itu dengan tatapan takjubnya. Ia baru tau kalau Revan juga kerja selain kuliah.
Emang dia siapanya sampai harus tau semua hal tentang Revan?
Biarlah.
Yang penting, informasi itu mampu meningkatkan rasa kagumnya pada sosok Revan. Aih, beruntungnya Mia bisa berteman dekat dengan Revan. Tidak salah dia memilih circle pergaulannya.
Ia patut bangga dengan pencapaiannya kali ini.
"Baiklah. Tapi kamu harus tinggal dulu di sini," ucapan Pak Miko mampu membuat Mia terdiam dalam kebingungan.
Ini maksudnya gimana?
"Kenapa, Pak?"
"Ada yang ingin saya diskusikan sama kamu."
Mia tampak gelisah saat mendengar perintah beliau itu. Dipandangnya Revan yang masih berdiri di sebelahnya.
"Ya udah kamu di sini dulu. Nanti kabari aja kalau udah selesai, aku jemput sekalian," jawabnya seolah memahami kegelisahan Mia.
"Oke lah. Kakak hati-hati di jalan.."
Mia terdiam di sofa ruang tamu, sendirian. Pingin protes sebenernya, tapi sadar diri bahwa dia cuma sekedar mahasiswa di sini. Bahkan minuman dingin menyegarkan dan keripik gurih di depannya masih dalam kondisi utuh, belum tersentuh.
Kenapa?
Ia merasa sungkan untuk mencicipi hidangan di depannya itu. Ditambah, ia merasa deg-degan kenapa bisa diminta tinggal di sini. Eh, maksudnya nggak boleh pulang dulu dan diajak diskusi bareng sama beliau.
"Nggak usah sungkan, nikmati aja hidangannya mumpung saya punya. Kebetulan baru kembali dari rumah orangtua saya, jadi dikasih banyak makanan."
Mia kaget saat mendapati Si Bapak sudah duduk di sofa seberangnya. Padahal ia lagi asyik ngerumpi dalam hati tadi. Untungnya dia nggak latah, jadi nggak malu-maluin diri sendiri.
Ia hanya balas tersenyum menanggapi ucapan beliau. Tiba-tiba saja ia kehilangan kemampuan berbicaranya saat mendapati penampilan Si Bapak yang tampak lebih segar dan wangi. Eh!
Mia segera menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengundang pertanyaan dari Pak Miko.
"Kamu kenapa geleng-geleng?"
"Eng-enggak, Pak. Hehe, saya minum ya, Pak.."
Segarnya minuman mengalir membasahi tenggorokannya yang kering. Rasa panas yang ia rasakan juga sedikit tersamarkan setelah menandaskan setengah dari isi gelas tersebut. Doyan apa haus, Neng?
"Ada yang ingi saya bicarakan sama kamu," dosen muda tersebut memusatkan pandangannya pada mahasiswi di seberangnya.
"Saya-"
Ucapannya terpotong oleh kehadiran seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik. Walaupun hanya memakai daster rumahan, namun tak melunturkan aura cantiknya.
"Oalah, lagi ada tamu di sini. Pantesan kok buru-buru pulang."
Tau sopan santun, Mia-pun berdiri dari duduknya dan menyalami wanita tersebut.
"Sore, Bu," sapanya setelah mencium tangannya.
"Sore cah ayu. Sudah dari tadi kamu di sini?"
"Baru saja kok, Bu," jawab Mia pelan. Masa' ia harus jujur kalau udah nungguin dari tadi? Kalau digorok gimana sama Pak Miko?
"Lho, kok cuma dikasih minum sama keripik? Kamu beli lothek atau apa gitu buat tamunya, Mas. Kasihan nanti kalau sampai anak orang kelaparan," tegur beliau saat melihat hidangan di meja.
Padahal itu udah lebih dari cukup, walaupun sebenernya Mia udah mulai lapar.
"Nggak usah, Bu. Ini sudah cukup," tolaknya tak enak. Ya kali harus jujur ke beliau?
"Nggak apa-apa. Kamu mau lothek yang pedes, atau yang sedang saja? Biar dibeliin sama Masmu ini," ucapnya setengah memaksa.
"Tapi Bu-"
"Jangan tapi-tapi, Mas. Sudah sana beliin juga buat Ibu satu, yang sedang saja pedasnya. Kamu mau yang gimana, Cah ayu?"
Nggak enak sebenernya, apalagi raut muka Pak Miko udah yang buthek gitu. Tapi juga nggak bisa nolak kemauan Ibu.
"Samain aja sama Ibu."
"Nah, sudah sana segera ke penjualnya di depan kompleks. Ibu mau ngobrol dulu sama cah ayu ini."
Dengan ogah-ogahan, Pak Miko menuruti perintah Ibunda Ratunya.
Dalam hati, Mia merasa puas karena bisa memanfaatkan Pak Miko. Meskipun lewat Ibu, tapi ia merasa puas karena sudah menyuruh-nyuruh beliau. Kapan lagi bisa kayak gitu ke Si Bapak Dosmud?
.
.
.
.
.
To be continue