Chereads / Akui no Me Rei / Zero / Chapter 4 - Gin no Kaze o Issō Shita Yami

Chapter 4 - Gin no Kaze o Issō Shita Yami

Beberapa bulan berlalu semenjak insiden yang berakhir dengan ramalan kejam Reira Yoshitomo untuk putri pertamanya. Sejak itu pula, hari-hari Mitsuki selalu diliputi oleh kecemasan. Bagaimana tidak? Wanita itu sangatlah takut kalau anaknya kelak akan mewarisi kekuatan mengerikan milik ayahnya. Tidak ada yang mau mengerti dirinya, baik ibu, adik, maupun sepupu-sepupunya.

Beruntung, wanita itu menikahi seorang pria yang sangat memperhatikan keadaannya. Ya, Reza selaku suami Mitsuki selalu ada kapanpun Mitsuki membutuhkannya, bahkan sampai meninggalkan urusan kedai miliknya pada karyawannya. Reza selalu memastikan untuk menjaga kondisi tubuh dan mental Mitsuki, dan selalu mengingatkan istrinya agar menjaga kandungannya.

Akan tetapi, di suatu pagi yang mendung, tiba-tiba saja Mitsuki bangun seraya mengeluhkan tentang perutnya yang terasa mulas. Hal itu tentu saja disadari oleh Reza yang tahu bahwa sudah saatnya bagi Mitsuki untuk melahirkan. Pria itu langsung saja menyambar telepon genggamnya, lalu menekan beberapa tombol untuk membuat panggilan.

"Moshi moshi, Sawayama desu, (Halo, disini Sawayama,)" ucap sebuah suara maskulin dari seberang. "Moshi moshi! Ichiro-kun, cepatlah kau datang kemari! Istriku akan segera melahirkan, aku butuh bantuanmu!" Teriak Reza panik, membuat karyawannya yang bernama Ichiro itu kaget. "Mitsuki-neesan akan segera melahirkan?! Tu-tunggu, Bos, ini bukan alarm palsu seperti minggu lalu kan?!" Balas Ichiro tak kalah panik.

"Bukan, bodoh! Pagi ini istriku bangun dan berkata bahwa perutnya sakit! Cepatlah Ichiro-kun! Tidak ada waktu lagi!" Reza berteriak seperti orang kesetanan. "Ba-baiklah, Bos! Aku akan kesana secepatnya bersama Ichika!" Ujar Ichiro dengan nada panik. "Tolong ya, Ichiro-kun!" Ucap Reza mencoba mengakhiri panggilannya. "Makasete, Reza-niisan! Dewa, mata ne, (Serahkan padaku, Kak Reza! Kalau begitu, sampai nanti,)" balas Ichiro dengan latar suara seperti orang berlari.

"Baiklah, sampai nanti, Ichiro-kun," ujar Reza seraya mengakhiri sambungan teleponnya. Pria itu lalu bergegas mengepak beberapa baju ganti, mencuci muka, dan menyikat giginya. Tak lupa, ia membasuh wajah istrinya yang masih terbaring dengan menggunakan air hangat dan washlap. "Danna-sama..... Ini sakit sekali....." Runtuh Mitsuki seraya memegangi perutnya.

"Bersabarlah sebentar lagi, Mitsuki-san. Aku sudah menelepon Ichiro dan Ichika tadi, jadi, semua akan baik-baik saja," Reza berkata sambil memegang tangan istrinya. Mitsuki tak bisa berkata-kata lagi karena rasa sakit yang terus menyerangnya. Wanita itu hanya bisa terbaring sambil merintih pelan. Melihat hal itu membuat hati Reza diliputi kecemasan yang mendalam. Dalam hatinya, ia berdoa agar Ichiro dan Ichika cepat datang ke rumahnya.

Untungnya, tak lama kemudian ia mendengar suara mobil yang diparkir di depan rumahnya. Reza langsung saja melepaskan tangannya dari genggaman tangan Mitsuki, dan membukakan pintu untuk sepasang remaja berumur 18 tahun. Kedua remaja itu memiliki paras yang mirip satu sama lainnya, dan tak ada yang menyangka bahwa kedua remaja itu sebenarnya tak memiliki hubungan darah.

"Selamat datang, Ichiro-kun, Ichika-chan. Maaf, sebenarnya aku ingin menjamu kalian dulu, tapi keadaannya tidak memungkinkan," ucap Reza dengan nada menyesal seraya menuntun mereka ke ruangan tempat Mitsuki berbaring. "Tidak masalah kok, Reza-niisan, malah kami yang merasa tidak enak karena datang terlambat," Ichika berkata seraya mengibaskan tangannya. Tampaknya gadis yang memiliki paras mirip Ichiro itu merasa tak enak pada bos dari kekasihnya.

"Tidak masalah, Ichika-chan. Bisa tolong bantu aku membawa perlengkapan yang kusiapkan di pojok sana?" Tanya Reza seraya menunjuk ke pojok ruangan dimana terdapat sebuah tas besar yang berisi beberapa pakaian dan perlengkapan lainnya. "Baik, Nii-san, akan segera kubawa ke mobil!" Ucap Ichika seraya menyambar tas itu dan berlari keluar.

Reza sendiri langsung saja menggendong istrinya dan berjalan keluar diikuti Ichiro. Pria itu lalu mendudukkan Mitsuki di kursi tengah bersama Ichika, lalu berbalik dan mengunci pintu rumahnya. Setelah merasa semuanya aman, Reza berlari kembali ke mobil Ichiro, dan mereka akhirnya pergi ke rumah sakit terdekat.

Sesampainya di rumah sakit, Reza langsung saja menggendong Mitsuki dan membawanya ke dekat seorang dokter yang kebetulan sedang istirahat di ruang tunggu. "Dokter, tolong bantu aku! Istriku mau melahirkan!" Ucap Reza yang panik pada dokter itu. Dokter itu langsung saja bangkit dan memanggil beberapa perawat untuk membawakannya ranjang pasien.

Mitsuki pun dilarikan ke ruang bersalin oleh dokter wanita itu. Kecemasan berkembang semakin besar di hati Reza. Hatinya tak tenang karena ia tak bisa menyaksikan proses kelahiran anaknya. Ichiro dan Ichika sedang mengurusi administrasi, dan tenaga medis yang ada melarangnya untuk masuk karena menurut mereka, dia hanya akan mengganggu saja.

~AnM: Rei~

Kuil Fushimi Inari Taisha adalah kuil yang terletak di dekat kawasan klan Reira. Kuil itu adalah kuil tempat pemujaan dewa pangan dan beras, Inari, beserta para rubah Jepang yang konon adalah para pengantar pesan dari Inari. Kuil ini banyak dikunjungi orang yang menginginkan kemakmuran dalam kehidupan mereka. Mereka berdoa di kuil, dan meminum air suci sebelum menggantungkan harapan mereka di depan kuil itu.

Biasanya, banyak rubah Jepang yang bertubuh oranye berkeliaran di sekitar kuil, dan sering kali para pengunjung memberi mereka sedikit makanan. Akan tetapi, hari ini tidak ada yang melihat rubah-rubah itu berkeliaran, seolah mereka sedang bersembunyi dari sesuatu. Selain itu, tiba-tiba saja seorang gadis yang mengenakan kimono berwarna emas dengan haori (jubah kimono) berwarna biru keluar dari dalam kuil dengan ekspresi wajah cemas.

"Entah kenapa firasatku terasa buruk..... Cuaca hari ini harusnya cerah, tapi, kenapa bisa menjadi mendung tebal begini? Semalam juga terjadi hujan badai yang tidak diketahui oleh Susano'o.... Rasanya aku harus menyelidiki kejadian ini," ujar gadis itu seraya berjalan menuju arah keluar dari kuil itu dengan pelan. Keanggunan gadis itu telah menyita perhatian banyak orang, khususnya dari golongan laki-laki.

Bisik-bisik riuh pun terjadi di kalangan pengunjung kuil, hampir semuanya mengomentari kecantikan gadis itu. Banyak orang yang setuju bahwa perempuan itu merupakan jelmaan seorang dewi, meski tak sedikit pula yang menyangkalnya. Gadis yang mereka lihat memang harus diakui kecantikannya, dengan rambut berwarna kuning keemasan yang menjuntai ke punggung, mata sipit, dan kulit putih. Jalannya pun pelan dan anggun, menambah daya tarik tersendiri bagi para pengunjung.

Gadis itu tak mengacuhkan para pengunjung yang berbisik-bisik riuh mengenai dirinya. Dalam hatinya, ada sebuah kecemasan tersendiri mengenai apa yang akan terjadi di dunia ini. Gadis itu menengadahkan kepalanya seraya memasuki hutan, sehingga tampak olehnya langit yang semakin mendung meski sedikit banyak tertutupi oleh dedaunan.

"Lama tidak berjumpa, Tamamo, bagaimana kabarmu hari ini?" Panggil sebuah suara feminim di belakang si gadis berkimono emas itu. Gadis yang dipanggil Tamamo itu lalu berhenti berjalan, dan kemudian berbalik untuk menatap siapa yang telah memanggilnya. "Benzaiten, salah satu anggota dari tujuh dewa-dewi keberuntungan. Ada urusan apa sampai kau repot-repot datang kemari?" Tamamo bertanya dengan nada datar pada wanita dengan kimono modern yang tampak terlalu ketat.

"Ara~ kau terlalu dingin seperti biasa, Shirogitsune no Tamamo no Mae, (Tamamo Mae si rubah putih,)" ucap Benzaiten ngelantur. Mendengar Benzaiten malah tidak menjawab pertanyaannya membuat Tamamo menghela nafas lelah, lalu berbalik dan berkata, "Kalau kau kesini cuma untuk membuang-buang waktuku, lebih baik kau pergi saja, Benzaiten. Aku punya urusan yang lebih penting daripada menemanimu bermain!"

Tawa cekikikan tanpa sengaja lolos dari mulut Benzaiten. Perempuan yang tampak beberapa tahun lebih tua dari Tamamo itu hanya mengibaskan rambut hitamnya, lalu menatap Tamamo dengan tatapan licik. "Kau tahu, Tamamo, kau terlalu naif jika kau pikir bisa menangani kejadian yang terjadi belakangan ini sendirian," cibir Benzaiten seraya memasang senyum meremehkan.

Tamamo langsung berbalik menghadap Benzaiten, kali ini dengan ekspresi marah yang tercetak jelas di wajah ayunya. "Memangnya kau tahu apa soal ini, dewi pelacur?! Jawab aku sebelum kubunuh kau disini!" Hardik Tamamo kesal diikuti aura berwarna putih yang menyelimuti tubuhnya.

Tidak seperti tadi, Benzaiten kali ini memasang ekspresi serius. Dewi itu hanya menatap datar kearah Tamamo, lalu mengangkat sebelah tangannya ke pipi. "Lain kali, berhati-hatilah dengan ucapanmu, dewi rubah. Aku dikirim oleh Amaterasu dan Bishamonten kemari untuk membantumu. Sebelumnya, kami sudah mengirim Hotei sendirian, tapi, yang kami dapatkan malah kematian Hotei yang membuatnya harus bereinkarnasi lagi," ucap Benzaiten dengan nada dingin pada Tamamo.

"Tunggu! Kau serius dengan ucapanmu itu?!" Tamamo berjalan mendekat kearah Benzaiten dan memegang pundak wanita itu. Aura putih yang tadinya menyelimuti tubuhnya hilang tanpa bekas. "Kau pikir aku bisa bercanda kalau mengenai informasi ini, rubah bodoh?!" Benzaiten membentak Tamamo, membuat gadis itu terkejut bukan main.

"Kita harus pergi ke sebuah tempat, Tamamo. Amaterasu dan Tsukuyomi menduga ini berkaitan dengan pecahan kekuatan dari Yatagarasu yang kau bunuh ratusan tahun lalu," lanjut Benzaiten, membuat Tamamo bertambah syok. "Bagaimana bisa?! Aku sudah memastikan bahwa tidak ada secuil pun kekuatan Yatagarasu yang tersisa saat membunuhnya!" Ucap Tamamo masih dalam keterkejutannya.

"Aku tidak tahu mengenai hal itu, Tamamo. Yang terpenting sekarang, apa kau bisa merasakan energi jahat yang meluap-luap saat ini?" Tanya Benzaiten seraya menatap tajam kearah selatan. "Tentu saja! Kalau tidak salah, ini berasal dari...." Perkataan Tamami terjeda saat sebuah kilatan petir menyambar pohon bambu di dekat mereka disertai suara pekikan gagak yang menggema di sekeliling mereka.

"Gawat! Sudah dimulai, kita harus pergi sekarang, Tamamo!" Ucap Benzaiten dengan suara keras. Di dalam ucapannya, ada sebuah nada kegelisahan yang tidak dapat disembunyikan oleh dewi itu. "Baiklah, ayo pergi!" Ucap Tamamo seraya mengubah dirinya menjadi seekor rubah putih seukuran seekor singa jantan. Benzaiten menaikkan dirinya ke tubuh Tamamo, lalu Tamamo pun melesat menembus hutan itu.

~AnM: Rei~

Beberapa jam berlalu semenjak Mitsuki dilarikan ke ruang bersalin. Reza dan yang lainnya menanti dengan cemas di luar ruangan itu. Sementara di luar rumah sakit, hujan turun dengan deras. Kilatan petir saling menyambar, dan angin berhembus kencang menambah kepanikan Reza. Pria itu berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang bersalin, membuat Ichiro dan Ichika merasa pusing saat melihat pria itu.

"Reza-niisan, tenanglah sedikit. Mitsuki-neesan pasti akan baik-baik saja! Dan ingatlah, sebentar lagi kau akan jadi seorang ayah, Reza-niisan!" Ucap Ichiro tegas seraya bangkit dan memegang pundak Reza. "Tapi, bagaimana jika persalinannya gagal dan salah satu dari mereka tiada?!" Ujar Reza panik, membuat Ichiro mau tak mau menghela nafas pelan.

"Reza-niisan, sebaiknya Nii-san menenangkan diri terlebih dahulu. Apa yang Ichiro-kun katakan itu benar, Nii-san, kau harus lebih tenang sedikit," timpal Ichika yang ikut berdiri di samping Ichiro. "Ichiro-kun, Ichika-chan.....maaf, aku hanya merasa cemas pada Mitsuki-san...." Sesal Reza seraya mendudukkan tubuhnya di kursi.

Melihat Reza akhirnya tenang membuat Ichiro mengambil sebungkus roti lapis dari kantong plastik di samping kursi Reza. Ichiro menyodorkan makanan itu pada Reza, karena Reza belum memakan apapun sejak pagi. "Arigatō, Ichiro-kun," ujar Reza saat menerima roti lapis itu dan memakannya. Setelah selesai makan dan minum, Reza akhirnya bisa lebih tenang dan menunggu dokter keluar.

Ichika lalu melirik arlojinya, melihat waktu menunjukkan pukul 2 siang. Gadis itu lalu memutuskan untuk berkeliling rumah sakit karena merasa bosan. Di luar sana, badai masih mengamuk deras, seolah alam sedang marah akan sesuatu. Ichika beruntung sempat membawa jaket, sehingga ia tidak merasa kedinginan. Gadis itu merapatkan jaketnya, lalu berkeliling melihat-lihat seisi rumah sakit itu.

Ichika baru menyadari bahwa sebenarnya rumah sakit ini sangat luas. Tempat ini memiliki beberapa taman, salahsatunya adalah taman tengah yang sedang ia kunjungi. Sayangnya, badai masih mengamuk di luar, membuatnya hanya bisa memandangi taman tengah lewat pintu kaca.

Akan tetapi, Ichika menemukan sebuah keanehan, dimana ia tiba-tiba saja melihat seorang perempuan berambut pirang keperakan tengah berdiri di tengah taman. Perempuan itu mengenakan pakaian layaknya seorang siswi SMP dengan sebuah tongkat panjang berwarna hitam di tangan kanannya. Wajah perempuan itu menengadah ke langit, dan di bibirnya, terukir sebuah senyuman lembut.

Ichika terpana akan keberadaan perempuan itu, lalu ia mengikuti arah pandang perempuan itu, dan ia bisa melihat sebuah jendela dimana ada Ichiro dan Reza disana. Reza tampak tengah mencengkeram bahu seorang dokter, dan Ichiro tengah mencoba menarik Reza mundur. Otomatis, Ichika langsung panik dan berlari menuju kearah tempat ia menunggu bersama Reza dan Ichiro tadi.

Di sisi lain, beberapa menit setelah Ichika memutuskan untuk berkeliling, seorang dokter keluar dari dalam ruang bersalin. Dokter perempuan itu wajahnya terlihat pucat pasi, apalagi saat ia melihat Reza berdiri dengan tatapan cemas. "Dokter, bagaimana keadaan istri dan anak-anakku?" Tanya Reza cemas.

"Tolong tabahkan diri anda, tuan. Istri anda berhasil melahirkan anak kembar laki-laki dan perempuan. Sayangnya, detak jantung dari anak laki-laki anda sangat lemah sehingga sekarang dia membutuhkan perawatan yang intensif," ujar dokter itu dengan nada cemas.

Seketika kilatan petir terlihat menyambar di belakang Reza. Sontak, pria yang baru saja menjadi seorang ayah itu memegang pundak si dokter dan berkata, "Anakku masih bisa diselamatkan bukan, Dokter?! Katakan padaku kalau anakku masih bisa diselamatkan!"

"Kami akan berusaha semampu kami, tuan, saya mohon diri," ucap dokter itu seraya melepaskan cengkraman tangan Reza pada bahunya. Tepat setelah dokter itu pergi meninggalkan mereka, Ichika datang dengan wajah cemas. "Ichiro-kun, Reza-niisan, apa yang terjadi?" Tanya gadis itu dengan nafas terengah-engah.

"Sebenarnya...." Ichiro mencoba menjelaskan, akan tetapi, sebuah suara dari dalam ruang bersalin menginterupsinya, "KYAAAAAA!" Langsung saja, ketiga orang itu menghambur masuk ke dalam ruang bersalin, dimana mereka melihat Mitsuki pingsan seraya memeluk seorang bayi.

Sementara di depan Mitsuki, berdirilah gadis yang dilihat oleh Ichika di taman. Gadis itu tampak menggendong seorang bayi yang tertidur pulas. Tatapannya terpaku pada wajah bayi itu, seakan-akan terpesona olehnya.

"Siapa kau?! Cepat turunkan anakku!" Hardik Reza seraya menerjang kearah gadis itu bersama Ichiro. Akan tetapi, mereka dihentikan hanya dengan sebuah kibasan dari tongkat gadis itu. Tongkat gadis itu berpendar keemasan, seolah mengancam Reza agar tidak mendekat.

"Tolong jangan gegabah, tuan. Saya hanya memastikan bahwa kaisar kami sudah lahir, dan saya bisa menyembuhkan kaisar kami," ucap gadis itu seraya menoleh kearah Reza dan yang lainnya. Tampak oleh mereka, mata gadis itu memiliki sklera berwarna merah dengan iris mata yang berbeda warna, kuning dan biru. Bibir gadis itu mulai membentuk lengkungan lebar, diikuti sebuah tawa penuh kegilaan.

"Jangan main-main, sialan!" Ichiro kembali menerjang maju, dan hampir berhasil menggapai bayi yang digendong gadis itu kalau saja ia tidak terkena ayunan tongkat si gadis. Tawa gadis itu semakin keras, diikuti petir yang menggelegar seolah membelah bumi. Baik Reza, Ichiro, maupun Ichika hanya bisa membeku saat gadis itu mengangkat tongkatnya, dan melafalkan mantra aneh.

"Hai tangan kanan kegelapan, Amon!

Mata yang penuh amarah, Vassago!

Mata sang Iblis, Belial!

Tuan kalian telah terlahir kembali sebagai calon kaisar berikutnya!

Bangunlah, bimbinglah ia! Jadikanlah ia penuntun dalam dunia sesat ini!

Daemonium in Avaritia!"

Tepat setelah gadis itu menyelesaikan mantranya, tubuh si bayi yang ia gendong pun bercahaya terang diikuti kemunculan sebuah lingkaran dengan simbol bintang terbalik di dalamnya. Lingkaran itu terserap ke dalam tubuh si bayi, dan bayi itu melayang menuju ke sisi bayi satunya.

"Beristirahatlah, My Lord. Dengan ini, tugas saya disini telah selesai. Saya, Merlin Vi Merlion, menyatakan sumpah setia saya pada anda," ucap si gadis seraya berlutut. Sebelum Reza dan yang lainnya sempat bereaksi, tubuh gadis itu sudah memudar menjadi butiran cahaya, membuat ketiga orang yang masih tersadar itu kaget bukan main.

Saat tubuh gadis itu sepenuhnya menghilang, barulah Reza, Ichika, dan Ichiro bisa bergerak lagi. Wajah ketiganya masihlah tampak pucat dengan bekas ekspresi takut yang tercetak jelas di wajah mereka. Mereka lalu mendekati Mitsuki dan memeriksa keadaannya, lalu bersyukur karena ternyata Mitsuki hanya pingsan.

Ichika melihat si bayi yang tadinya sempat digendong oleh si gadis bernama Merlin itu, lalu menggendongnya dan menatap bayi itu seksama. "Kelihatannya... Ramalan yang dikatakan oleh ayah mertuaku benar-benar terjadi...." Gumam Reza dengan nada putus asa. Ichiro menoleh kearah Reza, lalu bertanya dengan wajah penasaran, "Ramalan apa maksudmu, Reza-niisan?"

"Kalian pernah dengar tentang legenda Akui no Me?" Tanya Reza seraya menatap Ichiro dan Ichika bergantian, lalu menatap bayi yang digendong oleh Ichika dengan sedih. "Aku pernah mendengarnya. Bukankah itu mitos tentang mata iblis milik klan Reira? Ayahku dan para anggota klan Karasumaru lainnya sering bercerita tentang mitos itu padaku," ucap Ichika pada Reza.

"Itu bukanlah mitos, Ichika..... Karena anak pertamaku..... Anak yang kau gendong itu adalah pewaris dari Akui no Me....." Ujar Reza diikuti isakan tangis dari anak yang Ichika gendong. Ajaibnya, Mitsuki langsung terbangun saat mendengar anak yang Ichika gendong menangis. Tak sampai disitu saja, anak yang sedang didekap oleh Mitsuki juga ikut menangis, seolah merasakan kesedihan saudaranya.

"S...Sasuke! Yukari!" Jerit Mitsuki dengan nada ketakutan, membuat Reza harus memegangi bahu wanita itu. "Tenanglah Mitsuki! Ini aku, Reza! Dan yang menggendong anak kita itu adalah Ichika," ucap Reza, membuat Mitsuki tersadar dari ketakutannya.

"M...maaf.... Danna-sama....." Gumam Mitsuki seraya memeluk kembali anak-anaknya. Reza hanya bisa menatap maklum kearah Mitsuki, begitu pula Ichika dan Ichiro. "Mitsuki-neesan, kalau tidak salah, Nee-san tadi meneriakkan kata Sasuke dan Yukari, apa itu nama kedua anak ini?" Tanya Ichiro seraya menatap Ichika dan bayi yang Ichika gendong.

"Yah....anak-anakku kembar, laki-laki dan perempuan. Anak yang terlahir duluan adalah Sasuke, putraku, dan yang lebih muda adalah Yukari," jawab Mitsuki sambil menyusui Yukari. "Kalau begitu, nama mereka menjadi Reira Sasuke dan Reira Yukari, bukan begitu, Nee-san?" Tanya Ichika seraya bermain-main dengan Sasuke.

"Tidak, bukan hanya itu," bukan Mitsuki yang menjawabnya, melainkan Reza. "Reira Sasuke Adriansyah, dan Reira Yukari Adriana, nama untuk kedua anakku," imbuh pria yang kini menyandang status sebagai seorang ayah itu. "Hei! Kenapa kau seenaknya memutuskan nama?!" Protes Mitsuki sambil mencubit pinggang Reza.

"A...Aduh..... Habisnya, aku juga ingin memberi tanda sebagai keturunanku, hehehehe," jawab Reza seraya tersenyum. "Dasar..... Kalau begitu, mau bagaimana lagi. Benar kan, Yukari?" Ucap Mitsuki pada Yukari, membuat gelak tawa kembali bergema di ruangan itu.

Bersamaan dengan itu, di luar sana, langit kembali cerah dengan matahari yang bersinar keoranyean. Dua orang perempuan tampak mengawasi Reza dan keluarganya dari kejauhan. Tatapan kedua perempuan itu terfokus pada bayi Sasuke yang tengah bermain bersama Ichika dan Ichiro. "Dia... Sudah terlahir....." Ucap perempuan berkimono emas yang menatap tajam kearah bayi Sasuke.

つづく