Chereads / The Broadcast of Live and Love / Chapter 9 - Act 9 The Bird of a Feather...

Chapter 9 - Act 9 The Bird of a Feather...

'TEEET!' Astaga. Aku sudah lama melupakan suara jahanam itu. Mimpi apa aku semalam?

Aku terduduk gara-gara alarm menjengkelkan itu, namun mataku masih buram sementar kedua jari-jemariku ini berusaha merogoh, meraih, meraba-raba dengan sensual setiap titik meja sampai menemukan tombol alarm itu. 'TEEET! TEEET! TEEET!' Astaga. Astaga.

Aku tidak bisa berpikir jika begini caranya, aku harus segera menemukan alarm bedebah ini, namun yang terasa oleh jariku sedari tadi hanyalah permukaan kayu yang kasar. Aku heran. Kenapa alarmku bisa sejauh ini? Oh. Sedikit lagi, 'TEEET!' Sedikit lagiii.... 'TEEET! TEE -- *klik!*. Hah. Rambutku masih saja memanjang. Beri aku waktu enam bulan dan aku akan kembali menjadi Rapunzel. Aku melihat sekeliling kamarku. Berantakan.

Seprei, lemari baju, meja, langit-langit. Semuanya berantakan. Jika kata orang Jawa lama, orang kotor biasanya istrinya berkumis. Aku yakin calon istriku pasti berjenggot jika begini caranya. Tapi setelah kemarin beres-beres di kantor, sudah tidak tersisa semangat yang ada untuk membersihkan semua debu yang tersisa ini. Bisa-bisa aku muntah nanti.

Aku terdiam. 'Tik.' 'Tik.' Suara jam alarm tadi menggantikan semua pikiranku yang berisik mengitari kepalaku kesana-kemari. Hmm. Sepertinya ada sesuatu yang hilang. Ah, sudahlah. Mari kita mandi, pikirku sembari turun dari ranjang dan mengeluh.

*krieeetttt...* suara engsel pintu kamar mandi yang berkarat itu mengiringi kakiku yang basah sembari keluar dari kamar mandi. Guyuran air dingin di pagi ini cukup membuatku sport jantung. Aku mengecek HPku. Ada satu notifikasi. Dari....Chelsea? Hmm.

Aku bahkan tidak ingat memberikan kontak HPku padanya. Dia menyuruhku untuk mampir di kafenya – yang dia punya – di sore hari. Aku membalasnya, 'Oke'.

Ada apa gerangan? Sudahlah, lebih baik aku berangkat ke kantor, karena semua kesegaran mandi ini akan hilang digilas oleh panas teriknya kotaku tercinta ini.

'Brrrrmm....' sahut vespaku pelan mengitari plakat YoungWildFree FM. Aku mencopot helmku dan membenarkan rambutku yang panjang ini. Suatu pagi yang lain di stasiun radioku tercinta ini.

Seperti biasa, Mas Joni yang biasanya bermain HP jika tidak ada kerjaan, Made yang sibuk dengan peralatan musiknya, Jerry yang tumben sekali datang hari ini, tetap dengan muka merengutnya, Chrisjul yang sibuk mengganti baterai kameranya, dan pendatang baru kita, Resy, yang sedang mengutak-atik laptopnya.

"Pagi semuanya!" teriakku keras di ruang tamu. Semuanya membalas dengan ceria, bersahutan kesana-kemari. "Pagi, Ndra!" sahut Made, "Gak usah ngegas woy!" sahut Jerry, "Ah, berisik kowe kabeh!" kata Chrisjul membenahi kameranya.

Resy hanya diam saja. Hanya dia manusia yang belum terracuni di tempat ini. Mas Ridho di studio tampak memberikan isyarat untuk diam. Sepertinya beliau sedang rekaman. Aku mengacungkan jempolku dan duduk di ruang tamu.

"Mas, jangan lupa ya," sesosok wanita menyentuh pundakku. "Apa ya?" kataku benar-benar lupa. "Bantuin karya seniku, ya kan." Katanya menyunggingkan senyum.

"Oh,itu..." aku terdiam sedetik. "Aku inget kok." Kataku tersenyum juga. Padahal aku benar-benar melupakan semua hal itu. Hidupku harus lebih teratur sepertinya.

Aku melangkahkan kakiku menuju studio, sudah waktunya aku tampil di siaran radio kita ini. Aku terbatuk sedikit. Hampir semua orang menoleh. Ya, di pekerjaan ini, jika tenggorokanmu bermasalah, maka ujung-ujungnya pasti pekerjaanmu akan jadi jelek. Itulah mengapa, sebelum sakit bertambah parah atau apapun itu, biasanya akantaping.

Taping adalah rekaman suara terlebih dahulu – biasanya sehari sebelumnya – lalu diputar esok harinya jika broadcaster biasanya sakit atau liburan. Contoh paling konkrit kapan terjadinya taping, yah, sepertinya itu hari ini. Semoga saja Mas Ridho masih punya sisi mengampuni di jiwanya, karena kalau tidak, nyawaku dalam bahaya.

"Pagi, Mas." Kataku dengan suara yang tertahan. Persis suara Morgan Freeman. Becek-becek berat gitu. "Pagi, Ndra," kata Mas Ridho,

"Kok kayaknya suaramu aneh ya?" Aku tersenyum palsu, "Kena ampas kopi, Mas." Padahal tidak ada kopi di dapur. Selalu tidak ada kopi di dapur saat aku membutuhkannya. "Oke deh." Kata Mas Ridho mengacungkan jempol.

Aku langsung menuju studio. Dari ruang tamu, ada ruang kecil untuk siaran yang akan membuka pintu lain menuju studio. Namun ruang siaran ini jarang sekali terlihat dipakai kecuali oleh Mas Ridho sendiri. Orang-orang lainnya bahkan aku tidak pernah lihat berurusan dengan ruang ini. Ah, sudahlah.

Lebik baik aku siaran dengan anugrah suara baruku ini. Kalau dipikir-pikir, batuk tadi merubah suaraku menjadi sedikit lebih seksi.

"Hello, guys! Kalian pada kangen aku gak sih? Hahaha...pernah kebayang gak sih kalo kalian pengin liat wajahku yang super tampan ini? Ngomongin soal wajah tampan nih, banyak netizen terkejut melihat wajah tampan Marshmello, lho! Hmm...aku sendiri belum pernah melihat wajahnya sih, tapi Diandra yakin pasti wajahnya sekeren musiknya, dan untuk musik hari ini, presenting Freal Luv by Marshmello! Enjoy guys!" kataku dengan suara yang sedikit lebih berat dari biasanya. Aku menekan tombol merah di alat yang aku kira juga pasti mirip-mirip dengan peralatan DJ Marshmello. Di tengah puluhan tombol itu, bertahun-tahun ini aku hanya diajari menekan dua, mungkin tiga dari tombol itu.

Sementara Chrisjul dan Made sudah tahu kegunaan masing-masing, apalagi Mas Ridho. Mas Ridho yang sehari-hari bergumul di ruang rekaman itu pasti dua kali lipat lebih jago dari kami semua. Mungkin suatu hari nanti bahkan dia bisa banting setir menjadi DJ. DJ Ridho. Kok gak pas ya namanya.

"Ngapain tersenyum sendiri?" kata sesosok cewek di sofa tepat di depanku. Buset. Resy ternyata. Ternyata dia sudah dipercaya masuk ke ruang studio ini. Ini berita buruk.

"Ah gapapa," kataku berat, "Kepikiran hal yang lucu aja." Resy memicingkan mata. "Kamu sering merenung ya?" Aku mengangguk. Dia memicingkan matanya lebih sipit lagi. Jangan-jangan dia mengira aku psikopat.

"Um...Lumayan." kataku mencari kata yang tepat untuk pengganti "Terlampau sering". Aku akui, perkataan Resy ada benarnya. Tidak sekali-dua kali aku terjebak dalam pemikiranku ini setiap harinya. Apakah aku berpikir terlalu sering? Sebenarnya tidak juga. Mungkin ini karena kecilku dulu, aku sering dimarahi karena terlalu cerewet. Jadilah aku membuka mulutku hanya di tempat-tempat tertentu saja, dan di tempat lainnya?

Aku menjaga mulutku rapat-rapat. Lebih sering daripada tidak, kebisuan ini menyelamatkanku dari apa yang bisa membuatku nyawaku dalam bahaya. Jadi, aku akan tetap seperti ini.

"Halo?" kata Resy, membuyarkan lamunanku. Aku tersentak. "Jadi kan bantuin karyaku?" katanya memasang muka centil di armrest sofa. "Siap deh," kataku memberi hormat, "Tapi gak sampe malem yah." Kataku memainkan headphone yang tergeletak manis di meja setiap kali aku selesai siaran.

"Kenapa?" tanya Resy, langsung menaikkan kepalanya, "Dimarahin mama?" "Weee, enak aja!" kataku langsung seolah melemparkan headphone ke arahnya. Ah, usil juga anak satu ini. Resy tertawa, "Iya deh, iya deh. Makasih ya."

Katanya sembari keluar dari studio dengan langkah riang. Wah. Syukurlah segala sesuatunya dengan anak ini sudah selesai sekarang. Apakah semua kejadian baik ini awal dari sesuatu yang besar di hidupku? Atau? Atau? Ah, sudahlah. Sudah hampir sore. Lebih baik selesaikan closing siaran hari ini dan bergegas membantu anak itu.

"Halo, guys! Kalian pernah nonton film superhero gak sih? Pernah dong pastinya! Diandra kali ini bakal ngasih kuis dan bagi kalian yang beruntung akan mendapatkan dua tiket untuk sebuah film superhero misterius nih! Penasaran? Pantengin aja terus YoungFreeWild FM Surabaya dan kalian bisa jadi salah satu orang yang beruntung itu, guys! Hari sudah semakin sore, dan Diandra harus pulang nih, guys! Sebelum hayati pamit, iya dong, sekarang panggilnya hayati biar kekinian, hahaha! Ini ada satu lagu dari Justin Bieber, Love Yourself, Enjoy!" Ah. Sepertinya suaraku kembali lagi. Terimakasih Tuhan. Segala masalah sudah teratasi sekarang, saatnya pulang.

Itu sampai aku melihat sesosok wanita, lengkap dengan helmnya, menunggu dengan manis di ruang tamu. Oh, iya. Aku berjanji membantu Resy. Selamat tinggal kasurku yang empuk, sepertinya kita akan bertemu nanti malam.

"Nebeng ya? Aku udah bawa helm nih!" kata Resy dengan riang. Andai aku juga bisa riang. "Iya deh." Kataku apa adanya. "Biar aku yang nanti mandu jalannya!" katanya berlari-lari kecil ke pintu depan. Made yang sedari tadi melihat dan terduduk di sofa akhirnya penasaran, "Kalian ngapain sih?" katanya sambil menggebuk stik drum ke udara.

"Ah gapapa." Kataku ringan. "Oh, ya udah." Itulah Made, orang paling apatis di dunia ini. Banyak yang menganggapnya cool, dan itu juga benar. Terlampau dingin malah. Hmm. Tidak ada Chrisjul maupun Jerry. Mas Ridho pasti sholat.

"Tunggu apaan? Ayo!" teriak seseorang dengan nada menyebalkan. Ah, sudahlah. Mari kita selesaikan semua urusan ini dan langsung saja pulang. Berjalan menuju pintu depan dan seorang cewek sudah membukakannya terlebih dahulu, jauh sebelum Mas Joni melakukannya. Sialan. Makan gaji buta nih Mas Joni. Di dalam sepertinya ada keramaian.

Ada pesan di HPku. Dari Chelsea rupanya. 'Sbb yah, bisa minta tolong gak malem ini wkwkwk. Aku ada sesuatu nih buat kamu ;;)))))' Aku menjawab iya dengan singkat. Berarti, bahkan malam ini pun kencanku dengan kasurku yang empuk harus ditunda. Resy sudah berteriak-teriak dengan bahasa alien.

"Iya, iya!" kataku membalas, sedikit pegal dengan anak itu sekarang. Mas Joni muncul dari gerbang terburu-buru membawa kopi sachet, stik drum terlihat terlempar sampai ke pintu depan dan HPku bergetar lagi. Tidak pernah kusangka sebelumnya, hidupku akan jadi seramai ini. Aku tersenyum simpul, mungkin inilah kebahagiaan yang aku cari di tengah tandusnya hidupku sebelumnya, kataku bahagia sambil memasang helm di kepalaku.

"Kita ke mana ini?" kataku mengangkat standar motorku dan menduduki jok. "Umm...ke itu, ITS." Kata Resy sambil duduk di belakangku.

"Buset. Jauh banget non." Kataku menoleh ke belakang dengan alis terangkat. "Hehehe, sekali-kali lah. Nanti Tuhan balas pahala." Katanya tersenyum sambil memasang helmnya. Mirip sekali helmnya dengan punyaku, sama-sama tipikal helm anak vespa. Helm yang bentukannya mirip jamur Shiitake. Okelah.

Mari kita berangkat. Aku menggeber vespa melewati pintu dan langsung menuju Institut Teknik Sepuluh November. Semoga Resyana mau kalau aku minta uang bensin nanti kita bagi dua. Baru keluar, aku sudah melihat kemacetan yang menjalar kemana-mana. Mati aku.

"Macet yah," kata Resyana menoleh ke kanan-kiri. Masak sih mbak. Masak siiih. Aku mencoba sabar, karena ternyata itu bukan pertanyaan terakhirnya. Seluruh perjalanan dipenuhi dengan pertanyaan demi pertanyaan yang keluar dari mulut mungilnya. Di mana ini? Kamu sudah makan? Lebih dulu telur atau ayam? Aku berusaha sabar sepanjang perjalanan ini. Untunglah ITS sudah di depan mata. Aku tidak sabar untuk segera membantu anak ini dan langsung membantu anak lainnya – Chelsea. Capek sekali hari ini menjadi budak belian.

"Makan dulu yuk." Kataku dengan muka mupeng. "Lah," kata Resy heran, "Dari tadi aku nunjukin tempat makan kamu diem aja." Eh. Bener juga. Masak aku bakalan bilang kalo aku capek dengerin dia ngomong? Bisa-bisa digorok leherku nanti.

"Soalnya kan kamu cuman bilangin," kataku ngeles. Resy semakin heran. "Ya udah," katanya dengan nada judes, "Bakso mau? Emperan loh." "Ya mau lah," kataku balik dengan nada judes, "Emange aku anak Jaksel, gak mau makan emperan." "Ya kali aja." Balas Resy malas.

"Itu noh, baksonya. Di depan." Resy menunjuk pertigaan di depan. Aku memperhatikan, banyak sekali motor yang terparkir tidak rapi. Setelah kita mendekat, aduh ramenya ya Tuhan. Tidak mampu aku melihatnya. Ah, sudahlah.

Yang penting kita makan. Entah bagaimana caranya. "Satu porsi ya," kataku mencari tempat duduk. "Lah," Resy terheran, "Aku yang pesen?" katanya setengah tak percaya, melihat ke arahku.

"Ya iya," aku tertawa, "Aku jagain tempat duduk." Aku lanjut tertawa. Resy juga tertawa, namun karena tidak percaya. "Cowok banget ya kamu," katanya di dekat antrian meninggalkan aku yang duduk terlebih dahulu. Aku tersenyum sangat lebar.

Seiring menunggu, aku mengecek HP. Sudah jam 5 ternyata. Apakah sempat aku pergi membantu Chelsea nantinya? Semoga saja begitu. Yang penting kita makan dulu.

"Ahh!" kata Resyana duduk di kursi plastik tepat di depanku, membanting pelan tas selempangnya. Nah. Ini Resyana yang aku kenal. Resyana yang temperamen dengan ciri khas muka yang selalu mau meledak.

"Kenapa non?" kataku khas nada suara abang-abang ojek online. "Mahal pol Mas," katanya bersungut-sungut, "Mosok bakso minta nambah kuah aja nambah dua ribu?" Aku terdiam dan mengangguk. Anak ini mirip seseorang yang kita semua kenal baik. Tidak lain dan tidak bukan Chrisjul.

Tipikal orang yang memilih tinggal di kolong jembatan jikalau saja tidak dihadang oleh Satpol PP. Jangan-jangan mereka jodoh. Bisa dibayangkan anaknya seperti apa. Pasti dibelikan Barbie, tapi versi telanjangnya, biar nanti bajunya bikin sendiri di rumah.

"Tuh kan, kamu senyum-senyum sendiri lagi." Kata Resy menunjuk mukaku. "Ah, enggak." Kataku tersenyum lagi, "cuman kepikiran hal yang lucu aja." Dia tidak boleh tahu aku memikirkan yang aneh-aneh tentangnya. Yang ada, nanti malah nyawaku taruhannya.

"Ini, non." Kata bapak-bapak paruh baya menyodorkan dua buah mangkuk bakso ke meja kami. Kehangatan yang dipancarkan kuah itu mampu mengusir semua hawa dingin yang menjarum ini. Syukurlah atas makanan hangat ini.

"Makasih ya mas." Kataku sopan sambil tersenyum kepada bapak bakso tadi. Resy hanya terdiam. Mungkin masih memikirkan tentang kuah bakso tadi. Unik sekali anak ini.

"Ayo makan," kataku mengambil sendok dan garpu di meja, "Biar cepet selesai, tugasmu juga cepet selesai." Resy mengangguk cepat. Aku tahu kita berdua sudah sungguh kelaparan sekarang ini, dan kata-kata yang barusan kuucapkan hanyalah sekedar basa-basi.

Aku menyeruput kuahnya pelan. Kurasakan sensasi super panas di lidahku. Panas sekali, sampai aku menggeleng-gelengkan kepalaku seperti orang sakit ayan. Resy tertawa, "Kowe lapo? Kayak orang gila aja." Katanya terbahak melihat sikapku.

Bukannya memberi air atau apapun, wanita satu ini malah puas sekali melihatku menderita. Dasar psikopat, pikirku sesudah menelan kuah itu dan mengambil tisu. Sialan, es tehnya belum datang juga. "Maaf, maaf," kata Resy menutupi mulutnya – yang jelas-jelas masih saja tertawa, "lucu banget sih soalnya." Andai aku bisa membalas, tapi lidahku sudah terbakar habis. "Lagian kapan lagi kamu ngeliat aku ketawa kayak gini?" katanya mengambilkan tisu, yang sudah tidak ada gunanya.

"Sejak kita pertama kali bertemu, semua yang kita lakukan – hanya bertengkar." Katanya tersenyum simpul sembari menyodorkan tisu. Resy benar. Mungkin aku terlalu cepat marah, dan lupa menyadari kalau anak ini – psikopat ini – juga terkadang punya perasaan. Hawa dingin yang sedari tadi menyelimuti tempat ini tak lagi kurasakan, mungkin Resyana sudah mengusirnya.

Ternyata dibalik semua ini, dia merupakan orang yang hangat.

Jam menunjukkan pukul 6. Setelah semua kegiatan memakan tadi, lega rasanya bisa berada di sebuah kafe mungil nan sepi.

Sepertinya aku akan menyukai tempat ini. Resy membuka tasnya dan mengeluarkan, membanting lebih tepatnya, sebuah buku sketsa berukuran A3. Ya, kamu tidak bisa dibilang anak seni sebelum berurusan dengan berbagai kertas gambar di sana-sini.

"Ini," kata Resy menyodorkan sebuah pensil. Hah? "Eh," kataku kaget, "Ini, ini....apanya yang ini? Kita ngapain?" kataku mengambil pensilnya – dan hendak melemparnya ke jidat anak ini.

"Bantuin," kata Resy mengenggam satu lagi pensil di tangannya yang mungil. "Aku harus gambar seorang tokoh terkenal." Katanya serius, menyibakkan poni rambutnya dengan kasar. Yang beginian mah, kan seharusnya bisa dikerjakan sendiri ya kan. Kenapa harus saya terlibat di sini?

"Yaudah," kataku mengalah. "Kamu mau gambar siapa? Michael Jordan? Messi? Atau Munir, mungkin?" kataku malas. "Aku mau gambar," katanya berpikir, "Aku mau gambar Chrisye."

Hah. Ingin tertawa rasanya, tapi aku pendam keinginan itu dalam-dalam. Chrisye adalah pribadi yang sangat hebat, tapi baru kali ini dalam hidupku seseorang memutuskan untuk menggambar beliau. Rajin sekali anak ini. Rambut beliau saja sangat lebat.

Dibutuhkan satu-dua jam untuk menggaris rambutnya saja. Kalau aku mah, mending gambar yang gampang-gampang aja. Ahmad Dhani, contohnya. Kan botak, jadi tinggal gambar aja kayak kentang gitu untuk kepalanya. Jadilah. Tidak usah repot-repot seperti ini. Mungkin yang paling repot gambar kumisnya yang dikepang itu.

"Halo," kata Resy, "Ngigau ya kamu." Padahal aku tidak melamun. Hanya saja berpikir. "Jangan-jangan kamu narkoba ya." Aku tersenyum saja. Kurangajar sekali anak ini.

"Mana pensilnya sini," kataku malas. "Iya, iya. Ini nih." Kata Resy sedikit cemberut sembari menyerahkan pensilnya. "Jangan marah dong." Katanya mendowerkan bibirnya, seakan kecewa kalau aku marah. Padahal seharian ini hanya dia yang menyebabkan semua amarahku.

"Terus ini gimana ini?" kataku sambil memegang pensil di tangan kiriku dan buku skets di tangan kananku. "Nah," kata Resy memajukan kursinya dan menyibakkan poninya,

"Aku kangak bisa gambar muka nih," kataku menunjukkan gambar Chrisye di HPnya. "Dan aku bakalan gambar muka." Kataku langsung menyela. Resy terkejut, "Wah, jenius yah kamu." Aku tertawa.

Pertama kalinya aku tertawa lepas di depan anak ini. Tentu, dia kadang kurangajar, tapi yang aku kejutkan adalah ternyata berkebalikan dengan pertemuan pertama kita, anak ini ternyata cukup lucu dan baik. Tidak ada ruginya memulai lagi dari awal bersama nona Resyana satu ini.

"Oke deh." Kataku menaruh buku skets di meja dan memegang erat pensil di tanganku. "Semangat yah," kata Resy sambil meniup kuah bakso di depannya. Jadi selama aku mengerjakan tugasnya, anak ini akan memakan baksonya – yang kebetulan masih hangat – dan meninggalkan aku sendiri kelaparan untuk mengerjakan tugasnya. Koreksi. Dia tidak sebaik yang aku kira. Ah, sudahlah. Mari kita mulai mengerjakan tugas ini.

"Mas, udah mau tutup mas." Ujar abang bakso menepuk pundakku. "Oh," kataku dengan lemah. Aku melihat sekeliling dan sepertinya memang sudah tidak ada orang. Mungkin aku terlalu fokus, pikirku sembari menguap dengan sangat lebar.

"Oke, mas. Ini aku beresin." Kataku meringkasi bku skets dan bekas-bekas karet penghapus yang berceceran di meja. Kebetulan Resy berada di toilet, jadi ada baiknya kalau aku langsung memberesi semua barang ini dan langsung mengantarnya pulang.

Aku memegang buku skets. Tampak sketsa mendiang Chrisye tersenyum manis di kertas ini. Aku tersenyum melihat hasil karyaku. Sepertinya jiwa seniku belum pudar selama bertahun-tahun ini. Resy kembali dan mengepak-ngepakkan tangannya yang basah.

Tidak sesering ini aku melihat seorang wanita yang tidak membawa tisu, apalagi tipikal Resy yang mengeringkan tangannya dengan cara mengusap-usap tanganny ke celana jeans.

Aku membawa tasnya seraya melangkah ke arahnya, "Ayo pulang. Udah mau tutup." Resy melongo, "Tapi kan aku belum bantuin kamu." "Dan gambarnya sudah selesai. Ayo pulang." Kataku menyodorkan tas itu ke Resy dan merogoh kunci kontak dari sakuku. Resy tampak mengeluarkan buku skets dari tasnya dan mengikutiku menuju vespa.

"Makasih ya pak." Kataku tersenyum kepada bapak bakso sambil kembali ke vespaku. "Nggeh dek," katanya seraya tersenyum hangat, "Emang biasane mahasiswa yo ngene kui, dek. Sinaune sampek bengi." Katanya mencuci piring yang baru saja dia ambil dari meja kami.

Bapak ini benar. Mungkin memang aku tidak lagi menjadi mahasiswa, tapi sebenarnya, perjuangannya kurang lebih sama. Mau meraih ijazah, mau bekerja keras membanting tulang, kita semua memperjuangkan hidup kita.

Terima kasih bapak bakso malam dekat ITS. Wejanganmu mengubahkan malam saya.

"Makasih ya!" kata Resy lantang sambil menggoyang-goyangkan badanku kesana kemari. Aku mengambil HPku dan menelepon Chelsea. "Halo?" kata suara dari seberang sana. Buset. Cepet banget angkatnya.

"Eh," kataku entah kenapa senang mendengar suaranya, "Aku otewe ke sana ya." Kataku tersenyum, "maap lama." "Oalah, kirainapa," kata Chelsea pelan, "yaudah, hati-hati ya." Katanya lebih pelan lagi dari sebelumnya. "Iya, bye." "Byeee, jangan lupa makan yaa." Katanya seraya menutup telpon. Wah.

Apakah ini yang dinamakan bawa perasaan? Aku menaruh kembali HPku di kantong dan melihat Resy di belakang masi mengagumi karyaku. "Udah nelponnya? Pulang yuk!" katanya gembira.

"Ayo." Kataku pelan sembari mengambil helm di vespaku. Awan gelap sudah tidak menampakkan dirinya di malam tenteram ini, tidak pernah sebelumnya aku segembira ini menemui seseorang. Dingin gigil angin nampaknya tak berhasil membuat hatiku ikut beku.

"Ayo naik." Kataku menaiki vespa dan mengangkat standarnya. Resy pun menaiki vespaku. Terdengar sedikit suara skok motorku yang berteriak minta tolong. "Sudah!" katanya riang. Aku sampai tersenyum dibuatnya. Sepertinya aku telah berbuat sesuatu yang baik hari ini. Aku menggeber vespa dan bertanya,

"Emang gambarnya bagus banget gitu?" kataku penasaran. "Bagus banget!" kata Resy berteriak sembari menggoangkan badanku. "Thankyou banyak yaa!" katanya tiba-tiba memelukku. Sampai kaget aku dibuatnya. "Iya," kataku tersenyum lebar, "Sama-sama." Kok jadi tambah hangat ya? Ah, sudahlah. Mari kita pulang. Sepanjang perjalanan, yang terdengar lagi hanyalah Resy yang bertanya setiap menit tentang ini dan itu, tentang perjalanan, dan tentang aku.

Tidak pernah terpikirkan sebelumnya dalam hidupku, setiap malam yang kujalani sekarang menjadi berkesan. Menjelma menjadi malam yang diiringi berbagai orang dan berbagai cerita. Sumpah, aku menikmamti sekali malam ini. Suara sember knalpot motorku mengiringi malam yang semakin larut ini, diiringi suara Resy yang tak kurung jua berhenti. Ah, sudahlah.

"Terimakasih ya," kata Resy turun dari motorku. "Sumpah bagus banget itu, kapan-kapan tak traktir makan ya." Katanya seraya membuka helmnya. Aku baru menyadari, dia cantik sekali menggunakan helmku.Wajahnya yang mungil dihiasi helm mungil tanpa kaca dan berbentuk bulat. Dia jadi mirip jamur shitake.

"Oke," kataku mengambil helmnya dan membnuka jok motorku, "Janji ya." Kataku tersenyum. "Iya," "Janji." Kata Resy dengan senyum yang hangat. Nampaknya semua beban hidupnya sudah beres, jika dilihat dari senyumnya. "Yaudah, masuk sana gih. Udah malem." Kataku menaiki motor lagi.

"Oke," kata Resy sembari melangkahkan kakinya menuju rumahnya. Rumah yang tidak besar, namun sepertinya padat. Suara anjing mengiringi kepulangan Resy. Resy menggendong anjingnya lalu melambaikan tangannya ke arahku.

Aku melambai kembali dan menggeber vespaku. Sekarang tinggal satu tempat lagi sepertinya. Semoga aku tidak terlambat, karena perjalanannya cukup jauh.

Vespaku kuparkir di depan kafe. Malam semakin larut saja, namun bulan belum menampakkan batang hidungnya. Aku melepas helm sambil mengintip ke dalam kafe. Hmm. Sepertinya tidak ada orang.

Apakah Chelsea tertidur menunggu? Aku menaruh helmku dan merogoh kantongku. Kuambil HPku dan menelepon anak itu. 'Tuut' 'Tuut' 2 detik. 'Tuut' 'Tuut' 3 detik. "Halo?" Wah. Ternyata ada jawaban.

"Kamu dimana? Aku sudah di depan nih," kataku sedikit lega masih mendengar suaranya yang bising. "Oh, tunggu ya," katanya seperti terburu-buru, "Aku masih beresin kamar nih. Ini keluar!" katanya lantang. Jleb. Baru saja bersih-bersih di kantor, sekarang aku harus bersih-bersih lagi? Capek sekali. Sepertinya semua portofolio ini bisa dimasukkan jika aku melamar petugas kebersihan.

"Tunggu ya! Ini aku di pintu!" balasnya masih berteriak-teriak. Sejenak aku berpikir, jarang sekali ada cewek seramai ini bisa diterima menjadi barista yang notabene hangat dan anggun.

Bukannya dulunya dia anggun waktu aku pertama bertemu dengannya di kafe? Belum selesai aku berpikir, pintu depan kafe terbuka lebar.

"Hei!" suara cempreng wanita memanggilku dari balik pintu, "Ayo masuk!" katanya riang. Aku mulai menyesal. Apakah datang ke sini merupakan keputusan yang bijak?

Kafenya tampak sedikit kotor. Tapi aku ragu, apakah Chelsea memanggilku ke sini hanya karena bersih-bersih?

"Eh," kataku memanggil anak itu, yang sibuk merapikan rambutnya yang disanggul ke atas. "Ya?" katanya menoleh sambil menahan rambutnya, "Aku ngapain nih ke sini?" Dia melihat ke langit-langit dan terdiam sesaat.

"Pertanyaan yang bagus." Katanya tersenyum. Wah, terimakasih sekali. "Aku mau dekor ulang kafeku," katanya menunjuk ke sekeliling ruangan, "Dan!" katanya tiba-tiba.

"Sebagai anak yang jago gambar, pastinya naluri senimu tinggi dong," katanya menudingkan telunjuknya ke arahku. "Yah," kataku besar kepala, "Gimana ya? Bener sih, tapi, gimana ya," kataku merapikan rambutku dan menyombongkan diri. Chelsea tersenyum.

"Ya, ya, ya, sombong sana gih," katanya membalikkan badan. "Pokoknya kamu harus bantu aku ya!" katanya menuju pintu belakang, sepertinya mengarah ke dapur – atau rumah? Ah, sudahlah.

Sepertinya dia akan ganti baju rumah. Lebih baik aku duduk dulu, mengambil napas sebentar Seharian ini capek sekali sepertinya. Aku melihat sekeliling kafe ini. Radio lama yang dulu biasa mengiringi kesendirianku itu masih berdiri teguh di pojokan sana.

Memang benar, kalau barang lama biasanya awet. Dindingnya yang berwarna hijau kebiruan mengundang rasa alam di sini, disertai rerumputan dan sulur-sulur liar di jendela tempatku biasa mengintip ke luar. Semua meja dan kursinya dari kayu, semakin menunjukkan aura "hutan" tempat ini.

Namun, kesemuanya tua. Mulai dari retak-retak di berbagai sudut dinding, sarang laba-laba yang tidak terurus di pojok langit-langit, sampai beberapa lumut? Ya, lumut sepertinya, menampakkan diri dan beberapa bersembunyi di lantai kafe ini. Ada tumpukan dus di bawah radio lama itu, apakah Chelsea akan pindah rumah? Dekor ulang? Apa kira-kira yang harus ditambahkan di kafe ini?

"Halo!" kata Chelsea, membuka pintu lebar-lebar. Benar kataku. Anak ini ganti baju. Cepat sekali. Tidak seperti wanita kebanyakan. "Mari kita dekor ulang!" katanya gembira, berdansa kesana kemari. Aku berdiri dan merapikan kursi tempat ku duduk. Ya. Mari kita dekor ulang. Sialan.

Sepertinya aku mengantuk. Aku harap Chelsea punya kelebihan kopi malam ini. "Dekorasinya mana?" kataku menguap.

"Noh," katanya menunjuk ke tumpukan dus di bawah radio. Buset. Itu kan dus yang tadi. Banyak amat. Terhitung ada tiga-empat dus berukuran dus kulkas dan TV flat. Ada cat. Banyak sekali cat dinding. Dan kuas, yang kecil dan yang paling besar. Aku tersenyum kecut. Sialan. Sepertinya aku akan bekerja keras malam ini.