Chereads / The Broadcast of Live and Love / Chapter 14 - Act 14 Thy Bird Now Flies Again; This Time, Into the Distance.

Chapter 14 - Act 14 Thy Bird Now Flies Again; This Time, Into the Distance.

Hari sudah sore, dan aku masih di studio, masih berpikir keras tentang semuanya. "Halo, Diandra." Akhirnya sosok itu muncul.

"Alissa." Ujarku tersenyum. Akhirnya aku bisa tersenyum dengan lepas. Apakah sebelumnya karena dia? Semua luka di hatiku?

"Aku yakin Mas Ridho sudah bilang semanya ke kamu, benar?" kata Alissa duduk di seberangku. "Ya, maksud saya, benar." Kataku gugup.

"Gak usah tegang, kali. Aku tetep Alissa yang dulu." Katanya mencairkan suasana. Ya. Benar. Segala sesuatu sama seperti yang dulu. "Jadi? Kamu akan jadi atasanku sekarang?" kataku pelan.

"Benar," kata Alissa sambil membuka HP, "Tapi aku akan lebih sering di luar. Toh, pekerjaanku sebatas mengawasi saja. Aku yakin dengan pekerjaanmu kok, Ndra." Kata Alissa menatap dalam-dalam bola mataku.

"Aku cuman," kataku sesaat. "Cuman?" kata Alissa penasaran. "Cuman ingin bisa melihat kamu lagi suatu saat nanti. Tapi sebagai teman baik, tanpa perasaan yang dulu." Kataku pelan-pelan, mendalami tiap kata yang kuucap. Alissa tersenyum. Lalu memegang tanganku erat-erat.

"Diandra," katanya berbisik pelan, "Kamu itu cowok yang baik. Luar biasa baik. Selalu begitu, dan selalu akan jadi begitu. Aku meninggalkan kamu di saat kita bersama, di saat kamu ditinggalkan kedua orangtuamu, dan semua yang kamu sayangi, bukan karena aku bertemu sosok yang lebih baik. Tapi karena papaku jatuh sakit di Aussie." Kata Alissa.

Aku tertegun. Jadi semua ini, semua yang aku lalui sendiri, mempercayai semuanya meninggalkanku sesaat dulu, ternyata salah. Aku terlalu naif untuk menyadari semua orang mempunyai masalahnya sendiri-sendiri.

"Ya?" kata Alissa pelan. Aku mengangguk pelan. "Oke, aku akan berikan kamu waktu sendiri ya, Ndra. Aku harus pulang, dan tidak ada orang lain di kantor ini selain kita. Tolong nanti kunci studio ya," kata Alissa beranjak dari kursi, "Kan, kamu bosnya sekarang." Kata Alissa tersenyum.

Aku tersenyum kecut, dan melihat sosoknya pergi. Tapi kali ini, aku masih bisa melihatnya kembali, tanpa perasaan lagi. Semoga. Selamat jalan dan sampai bertemu lagi, Alissa.

'Drriiiingggg!' HPku berbunyi. Tapi nada dering ini berasal dari nomor telepon, bukan media sosialku. Siapa yang tahu nomorku?

"Halo." Kataku mengangkat HPku. "Diandra?" kata seseorang yang asing. "Iya. Ini siapa ya?" kataku penasaran. Jangan-jangan dia stalker. "Ini Dion. Kakakmu." Aku tertegun sekali lagi.

"Kakak kangen banget. Bisa kita ketemuan malamnya? Sebentar saja." Hujan turun lagi. Dan bulir air mata ini mengalir pelan di sekujur pipiku. Aku tidak tahan lagi. Berkali-kali aku mengangguk, berkali-kali aku menahan emosiku. Sesak sekali rasanya, Tuhan. Tapi aku berterimakasih atas segalanya. Atas semua yang sudah terjadi. Atas semua yang akan terjadi. Aku akan siap.

"Halo, sayang!" kata Chelsea segar bugar, padahal jam menunjukkan jarum 10 malam. Aku tersenyum dan melambaikan tangan. Ada dua pasangan, sibuk berbicara satu sama lain di sudut kafe ini. Gembira sekali rasanya melihat ada orang selain kami di tempat ini.

"Aku ada berita buruk." Kata Chelsea memegang kedua lenganku. "Aku harus resign dari pekerjaan kafe pagi hariku, karena, um, karena kafenya, tutup." Aku mengelus pipinya. "Oh ya?" Dia mengangguk pelan.

"Gak masalah. Nanti kita pikirkan sama-sama ya." Kataku mengusap kepalanya. "Makasih ya sayang." Katany memelukku erat. Aku melihat sejenak tempat ini. Tempat Chelsea menyingkap kesendiriannya, entah berapa lama, sejak berdirinya bangunan ini.

Menunggu pelanggan, menunggu keluarganya kembali, menunggu pasangan. Menunggu dan terus menunggu. Aku dan dia, sebenarnya kami sama. Aku bersyukur dia menemukanku. Dia tidak harus menunggu lebih lama lagi. Aku tidak mau dia kesakitan lebih lama, lebih dalam. Aku menyayanginya.

"Sayang," kataku pelan. "Aku harus pergi sebentar ya. Aku ada janji dengan teman." Kataku menatap Chelsea dalam-dalam. Dia mengangguk. "Jangan lama-lama ya! Aku kangen." Aku mengangguk sambil tersenyum. Tentu saja. Tidak mungkin aku meninggalkanmu. "Oke. Duluan ya." Kataku beranjak pergi, melihatnya melambai ke arahku. Lalu aku melihat ke depan. Dan tersenyum lagi.

'Brrrttttt' suara bising vespaku memecah kesunyian di tempat ini. Sbueh taman di malam hari.

Aku menoleh ke sana kemari. Kenapa tidak ada orang di sini? "Diandra!" Aku kenal suara itu. Aku menoleh ke belakan dan melihat sesosok laki-laki jangkung tersenyum. Aku tersenyum kembali. Terimakasih, Tuhan.

"Malam, adik." Katanya pelan, sembari aku membuka helmku. Aku menghelap napas panjang. Tak pernah kupercaya aku akan bilang ini lagi. "Malam, kak." "Cari tempat duduk, yuk." Aku mengangguk.

"Jadi," kataku pelan. "Kakak kemana saja?" Kak Dion menoleh. "Kakak," katanya pelan, nyaris berbisik. "Kakak harus pergi, Ndra." Katanya mengulum bibir. Bohong. Tidak mungkin, kenapa harus pergi? Dia meninggalkanku sendiri selama ini. "Tapi, kenapa?" Kak Dion melihat ke langit.

"Papa punya banyak hutang. Dan, aku gak mau kamu yang masih kecil itu memikirkan sesuatu sebesar itu, seberat itu. Jadi, aku pergi. Untuk mencari uang, menutup luka yang ditinggalkan kedua papa mama tersayang kita." Aku terdiam membisu. Tidak kusangka masa laluku serumit ini, dan semua orang yang kurindukan datang begitu saja secepat ini di depanku.

I mean, kalian bisa kirim pesan kek, kalian bisa telepon kek, kirim merpati pesan kek, apapun itu. "Kita pergi yuk." Kata Kak Dion memecah lamunanku. "Ke mana?" kataku bertanya, aku ingin bersama dia lebih lama lagi. Kak Dion tersenyum. Sudah lama sekali aku tidak melihatnya, aku melupakan semua raut emosinya.

"Aku tahu tujuan Kak Dion baik," kataku melipat tangan rapat-rapat di dadaku, "Tapi kita bisa melakukannya besok pagi, ya kan." Kataku melihat sekeliling yang dipenuhi oleh batu nisan dan rumput-rumput liar.

"Tidak ada waktu, aku harus pergi besok." Katanya mengitari rumput liar ini. Cih. Cepat sekali. Apa dia tidak menyayangi adiknya? Gerutuku sambil berjalan perlahan. Gelap sekali di sini.

"Ini dia." Kata Kak Dion berhenti.Dengan tiba-tiba. Sampai kepalaku terantuk pundaknya yang lebar itu. Aku menoleh ke samping. Batu nisan besar bertuliskan "Tono Mulia – Riana Mulia. Rest in Peace."

Aku menghela napas dan tersenyum, bersyukur bisa ke sini lagi bersama dengan kakakku yang lama meninggalkan kota ini. "Hai Ma, hai Pa.," kata Kak Dion maju ke nisan orangtua kami dengan mata berkaca-kaca.

"Sudah lama banget ya Dion nggak ke sini. Dion kangen Papa Mama." Kata Kak Dion memegang erat foto Mama. Aku memegang erat kedua pundaknya. Pasti sulit sekali bagi Kak Dion untuk mengatakan hal yang sudah lama ingin dikatakannya. Apalagi semenjak kecelakaan itu, Kak Dion hidup sendirian tanpa siapa-siapa di kota asing.

"Dion udahbayar semua utang Papa, kok Pa. Tapi, rumah Dion di sana sekarang sudah diambil sama bank...jangan marah ya, Pa." kata Kak Dion dengan suara tersendat-sendat. Akhirnya air mata terjun deras di pipinya.

"Dion kangen....Dion kangen mama marah, Dion kangen papa meluk Dion, Dion kangen semuanya." Tanpa disadari, air mataku turun juga. Ternyata, bukan cuma aku yang merindukan semuanya itu. Aku sudah lama sekali meninggalkan kalian bertiga. Aku memeluk Kak Dion erat-erat. Erat sekali.

Tangan Kak Dion yang memegang erat kepalaku mengingatkan semua tentang keluarga kami. Yang dulu hilang, sekarang telah berkumpul lengkap.

Aku yakin, mama dan papa juga akan tersenyum akan berkumpulnya kami berdua lagi, meskipun pertemuan ini singkat. Malam ini tak lagi kurasakan dingin yang semenjak tadi merundungiku, aku hanya ingin disini sebentar lagi. Sebentar saja. Dan tanpa kusadari, malam semakin larut.

"Ayo," kata Kak Dion melepaskan tangannya dari kepalaku dan memegang pundakku. "Saatnya pulang sekarang." Katanya tersenyum dengan mata merah. "Setuju." Kataku juga dengan mata merah, dan sekujur kaki yang sedari tadi digigiti nyamuk.

"Kak Dion bilang udah gak ada rumah?" kataku mengitari rumput liar dalam perjalanan kami kembali. "Iya, Dek." Kata Kak Dion pelan, aku nyaris tidak mendengarnya.

"Aku terpaksa ngejual rumah untuk ngebayar semua hutang Papa." Aku mendengarkan dengan seksama. "Dan karena Kak Dion sekarang di-PHK," Aku langsung menolehkan kepalaku. "Kak Dion gak punya tempat untuk kerja." Aku terdiam.

"Kak Dion juga udah gak punya tempat tinggal," katanya semakin pelan. "Gimana ya?" kata Kak Dion tersenyum pahit melihat langit.

Aku tersenyum, dan juga melihat langit. Karena aku tahu, hari ini tidak akan menjadi saat terakhirku dengan Kak Dion. Terimakasih, Tuhan, aku siap menjunjung hari esok. Hari ini, dibawah surga tempat Papa dan Mama, adalah hari yang telah mengubah segala sesuatunya di dalam hidupku.