ENAM BULAN KEMUDIAN
'TEEET!' 'TEEET!' 'TEEET!' Dua tangan menggapai alarm itu. Dua tangan yang berlarian ke sana kemari mencari tombol, seperti tangan-tangan yang sibuk mengaduk undian lotere. 'TEEET!' 'TEEET!' 'TEEET!'
"Matiin dong itu, alarm!" kataku dengan suara parau. "Kamu aja!" ujar suara laki-laki yang tidak kalah paraunya, beranjak dari kasur di sebelahku dan melangkah keluar ke pintu.
Aku melemparnya bantal dan berseru, "Minta tolong kek, apa susahnya?" kataku sekarang terduduk, menggapai alarm sialan itu. "Ah, berisik!" 'TEEET!' 'TEE -- *Klik!* Ah. Rambut ini selalu menghalangi pandangku.
Mungkin sudah saatnya aku potong rambut. Aku melangkah keluar. Lalu aku merasakan tubuhku bergetar. Aku kebelet kencing. Aku meraih pintu kamar mandi bulu itu dan memutar kenop. Kenapa tidak berputar? Ternyata dikunci. Ah, sialan.
"Woi, cepetan dong! Kebelet nih!" kataku geram. "Berisik, ini juga udah mau selesai!" Arrgghh. Lama sekali orang ini. Sumpah, aku tidak tahan lagi. 'Blam,' bunyi pintu buluk itu akhirnya terbuka.
"Noh, kencing sono." Aku langsung masuk ke dalam dan buang air. 'Crrrssssss,' ahh, enak sekali rasanya. Sudah lama aku tidak ngeden kencing seperti ini. Ya, sudah lama aku tidak merasakan rumah yang tidak sepi seperti dulu lagi.
Rumah yang sekarang dipenuhi oleh masalah, mungkin jauh lebih banyak masalah ketimbang sebelumnya. Aku keluar dan mengambil peralatan mandiku.
"Kamu mau mandi? Aku duluan dong." Kata laki-laki menyebalkan itu menenteng handuk dan gayung yang dipenuhi peralatan mandi.
"Huh," dengusku, "Yaudah, cepetan." "Sip." Ah, apa-apaan ini. Kataku menggerutu sambil membuka HPku. Ada banyak pesan. Mari kita buka satu-satu, toh aku punya banyak waktu. Pesan pertama, dari Alissa. Huh.
Nampakya aku berbuat sesuatu di kantor tempo hari. 'Diandra, jangan lupa hari ini ada slot untuk iklan Hotel di Surabaya Barat; Hotel Sakura. Terimakasih, jangan lupa VO hari ini.' Yap. Sangat teratur dan rapi, sepertinya pesan-pesan darinya sebelum ini.
Pesan kedua, dari Jerry. 'Ndra, kamu bisa nemenin aku gak ke Tunjungan besok? Aku mesti tuku celana baru.' Kenapa tidak? Mari kita balas demikian. Sudah lama aku tidak berkumpul bersama Jerry. Aku ingin tahu banyak perihal perkembangan dunia desain grafis dan seni sekarang ini.
Yang terakhir dan yang paling penting, dari Chelsea, yang dipenuhi emoji cinta-cinta di belakangnya. Kalau dilihat-lihat, cukup menjijikkan jika dilihat lama. Tapi....ah, sudahlah. 'Sayang, aku bakalan ke kantor dulu. Kamu mau titip makan?' Aku tersenyum.
Tentu saja aku mau titip makan. "Ah, seger sekali." Kata seseorang menyebalkan yang lama sekali menghabiskan waktunya di kamar mandi. Yap, waktunya untuk mandi dan bekerja sekarang. "Aku duluan ya, Diandra." Katanya mengambil jaket dan pergi ke pintu. "Ya," kataku menoleh, "Selamat bekerja, Kak Dion." Kataku memberikan jempolku.
'Brrrtrtttrtrtrtrtrttt,' bunyi vespaku semakin butut saja dari hari ke hari. Gerutuku sambil menendang knalpotku di tempat parkirku yang biasa, tepat di bawah plakat besar "YoungFreeWild FM" yang sekarang sudah diganti, lebih besar dan lebih bagus dari sebelumnya.
Aku ingat perjuangan untuk logo baru ini. Sudah tak terhitung berapa kali pertengkaran dan pertemuan hingga larut malam dengan Resy dan juga Jerry. Melihat perjuangannya, nampaknya sangat melegakan untuk melihat hasilnya sekarang. Benar kan? Kataku tersenyum bangga.
"Pagi, Mas!" kataku menyapa Mas Joni yang menyapu daun jatuh, di sebelah kucing kecil yang memakan seonggok daging ikan. "Pagi, Bos!" kata Mas Joni mengacungkan jempolnya. Kubalas dengan jempolku juga.
"Pagi, Meong." Kataku mengelus kepala anak kucing ini. Anak kucing yang ditemukan beberapa waktu lalu oleh Made di jalanan, kedinginan karena hujan deras. Sejak saat itu, anak kucing ini selalu kembali ke stasiun radio, hingga tak lama menjadi rumahnya. Untuk orang yang dingin, Made ternyata mempunyai hati yang sangat hangat.
Bahkan, dialah yang repot-repot membelikan makanan untuk anak kucing ini setiap harinya. Aku masuk, mendapati Jerry yang masih saja di melahap makanan. Sumpah, dia menjadi lebih gemuk sekarang.
"Jer!" kataku melambaikan tangan. "Oi, Ndra! Pagi! Mau makan?" katanya mengangkat tinggi bungkusan plastik makanan ringan.
Aku menggeleng dan mengacungkan jempol, "Makasih, deh. Terusin aja!" "Mas Diandra!" kata seorang wanita keluar dari dapur. Resy. "Pagi, Resy!" kataku melambai tinggi. Resy tersenyum dan duduk di ruang tamu.
"Woi, Ndra! Kok berani-beraninya kamu nyapa dia?" kata seorang laki-laki yang keluar dari toilet dengan nada bercanda. "Oh, maap, ampun Mas, ampun deh." Aku membungkukkan badanku dan melipat tanganku. Dia tertawa dan duduk di sebelah Resy. Yap, Chrisjul berpacaran dengan Resy sekarang.
Aku tidak tahu bagaimana awalnya, tapi aku tahu akhirnya pasti membahagiakan. Aku percaya akan hal itu. "Ndra, pagi banget." Kata seseorang dengan nada malas.
"Euh, aku tiap hari berangkat jam segini ya kan." Kataku tersenyum kecil. "Oh iya ya," dia tersenyum kembali. "Oh iya, Ndra. Aku besok lusa manggung di Hongkong, ijin sehari ya." Katanya menepuk pundakku ringan.
"Oke siap, kamu mau kemana sekarang?" kataku penasaran. "Ke minimarket. Beli makanan kucing." Katanya santai. Band yang dibuat Made sudah dipanggil ke negara yang bermacam-macam sekarang. Tinggal menunggu kapan dia akan manggung di Kutub Utara.
Aku menuju studio, hendak memberikan info kepada penyiar baru radio ini tentang VO yang baru saja diinfokan oleh Alissa. Aku membuka pintu studio.
"Ini ada materi voiceover. Nanti kita rekaman ya." Kataku menaruh tasku di meja. "Oke, sayang. Kamu udah makan?" kata penyiar itu dengan suara cempreng, namun lebih halus sekarang.
"Bukannya kamu bawain aku makanan?" kataku balik bertanya. "Oh iya ya, ini, hehe," katanya menyodorkan tepak berisikan makanan lengkap. "Eh, kamu ke mana?" katanya dengan nada manja.
"Ke dapur. Ambil sendok." Kataku beranjak menuju dapur. Terdengar bunyi tombol yang tak asing.
Lalu ada suara yang lama dulu kujalani bertahun-tahun, "Hello guys! This is Chelsea from YoungFreeWild FM, and – 'Blam!'" suara Chelsea pun terpotong oleh pintu studio yang kututup. Aku menuju dapur, mencari sendok. Aku menoleh ke bungkusan plastik yang tergantung di kabinet atas.
Aku buka perlahan, dan menemukan bungkusan kopi sachet kosong. Hampir semuanya kosong. Kurangajar sekali. Padahal aku yang membeli semua bungkus kopi ini. Ah, sudahlah. Lebih baik aku makan, karena emosi biasanya timbul dari perut yang kosong, pikirku postifi sembari kembali ke studio. Aku membuka lebar pintunya dan duduk di seberang Chelsea.
"Makan ya, sayang." Kataku pelan. "Ati-ati ya, ntar kamu keselek cintaku yang aku taruh di bekal itu." Katanya tersenyum manis. Tapi kata-katanya menjijikkan. Nyaris saja aku muntah. Okelah, waktunya makan sekarang.
Aku melongok ke luar dari kaca jendela, dan ruang tamu itu sekarang selalu dipenuhi dengan candaan, yang suaranya – entah kenapa – bisa sampai ke studio ini yang dipenuhi dengan peredam suara.
Aku melahap bekal ini dengan tersenyum, suara radio maengalun yang biasa kudengar dengan orang yang kusayang sekarang mengalun tiap hari – bersama dengan kegilaan dari orang-orang yang aku sayangi.
Tanpa kusadari, hari semakin sore. Aku yang membaca koran sambil menutup telingaku di ruang tamu tidak bisa fokus apa-apa, karena manusia ini sibuk mendiskusikan, apakah lebih enak sup atau soto. Tidak penting sekali.
"Sup lah!" kata Chrisjul. "Sup kan asli punya Indonesia!" Ternyata walaupun penampilannya mentereng, otak Chrisjul ini perlu dibenahi. "Apaan?! Soto dong, soto kan punya ayam!" teriak Jerry kembali. Anak satu ini, hanya peduli dengan takaran kalori sepertinya kalau memilih makanan.
"Sup dong! Aku sukanya sup, lebih banyak orang Indonesia suka sup!" kata Resy mengelak. "Itu mah karena kamu bela Chrisjul, ya kan!" kata Made tersenyum culas sambil menuding Chrisjul. Mereka berdua tersenyum dan berpelukan.
"Biarin!" kata Resy menjulurkan lidahnya. "Pokoknya sup!" "Gak bisa, soto yang menang!" "Sup!" "Soto!" "Gais!" suara cempreng yang terakhir menenangkan seluruh ruangan. Akhirnya aku bisa membaca koran dengan tenang.
"Gimana kalo kita terusin ini di kafeku, dan by the way, aku milih soto!" teriak Chelsea. "Wooo, tim soto!" suara orang-orang itu menggelegar. Yah, karena semua pekerjaan selalu selesai sore, jadi mereka selalu makan atau sekadar berkumpul di kafe Chelsea sekarang.
"Sayang, pulang yuk." Kata Chelsea memelukku dari belakang. Aku tersenyum pahit. Sialan, padahal aku belum selesai membaca berita olahraga hari ini. Hari-hari ini berisik sekali belakangan ini.
Suara radio mengalun pelan, nyaris tak terdengar oleh teriakan manusia ini sedari tadi. Topiknya pun tak kalah aneh, jeruk atau apel. Apa-apaan topik semacam itu?
"Jeruk lah, kan jeruk digunakan di Imlek, berarti spesial!" kata Chrisjul lantang. Aku semakin yakin otak anak ini tertinggal di rahim ibunya dulu kala. "Apel dong, apel kan banyak variannya, berarti banyak yang milih!" balas Jerry.
"Pokoknya jeruk!" ganti Resy yang berteriak sekarang. Meja kita seperti sidang politik. "Aduh, berisik banget deh." Kata Chelsea membawa baki berisi banyak gelas kopi susu.
"Makasih Chelsea!" teriak semuanya hampir bersamaan. "Eh, curang! Kamu ambil yang lebih banyak kopinya!" teriak Jerry pada Resy yang mengambil gelas pertama yang disodorkan.
"Eh, enak aja loe gendut! Kan aku yang pertama megang, berarti punyaku dong!" teriak Resy. Ah, berisik sekali orang-orang ini. *Kling kling,* suara bel pintu berbunyi. "Maap ya gaes, aku terlambat." Kata laki-laki tinggi membawa sekotak pizza.
"Halo, Kak Dion!" kata kami semua berisik. Tunggu dulu. Berarti aku juga sama seperti mereka. "Kak Dion, lebih milih apel atau jeruk?" kata Made menuding Kak Dion langsung.
"Eh, aku, apa ya?" kata Kak Dion tersentak, kebingungan. "Jeruk dong!" kata Resy. "Alasannya apa, coba?" kata Made tersenyum culas.
"Karena, apa ya?" kata Resy langsung bingung. "Apel." Tiba-tiba suara wanita dengan nada datar terdengar. "Karena apel lebih murah, dan lebih enak." kata suara kaki wanita itu dari balik pintu, diiringi dengan bel pintu yang baru berbunyi. *Kling kling,* dan mukanya terlihat dari sela pintu kafe.
"Halo, Alissa!" kata semuanya bersamaan. Alissa tersenyum dan melambai. Lalu langsung duduk. "Gimana? Semuanya baik?" kata Alissa, membingungkan Kak Dion yang tadi hendak duduk di tempat duduk Alissa itu.
Namun sepertinya Kak Dion tidak setega itu mengambil tempat duduk dari seorang wanita, dan mengambil tempat duduk lain. Gentleman sekali Kak Dion. Persis seperti adiknya.
"Tumben kamu kesini." Kataku pada Alissa yang duduk di sebelahku. "Aku bosen di Amerika. Jadi aku bakalan lebih sering ke sini, sekali-kali." Katanya tersenyum.
"Kenapa? Kamu keberatan?" tanya Alissa tajam. "Nggak kok," kataku menggelengkan kepala, "Nggak sama sekali." *Kling kling,* bel itu berbunyi lagi. Kali ini Mas Joni yang datang membawa kresek putih.
"Maaf ya, terlambat." Kata Mas Joni tersenyum. "Halo, Mas Joni!" seru semua orang, kecuali Alissa. "Ayo dong, kamu juga harus beri salam." Kataku menyenggol siku Alissa sedikit.
"Halo, Mas Joni." Kata Alissa datar. "Halo, Mbak Alissa." Balas Mas Joni tersenyum lebar. Inilah perbedaan orang yang dibesarkan di kota, dan yang dibesarkan di pedalaman.
"Oke, tapi jeruk juga ada yang lebih murah di pasar." Kata Chrisjul menyela semuanya, sementar Mas Joni langsung mengambil kursi, dan duduk di samping Kak Dion. "Tapi apel juga lebih banyak, kan, yang murah di pasar." Ya Tuhan. Kita masih saja membahas ini?
"Teman-teman, lebih baik kita membahas yang lain –" *Kling kling,* lagi-lagi bel itu berbunyi.
"Halo semuanya!" kata sesosok laki-laki dengan senyum yang sangat ramah. "Halo, Mas Ridho!" semuanya serentak memanggil namanya, dan kali ini, Alissa juga.
"Maap ya terlambat." Sekarang semua orang terlambat dan meminta maaf. Sialan. Harusnya aku terlambat juga, mungkin aku bisa nyolong tidur satu atau dua jam tadi. "Tadi sibuk banget, aku sampai lupa jam berapa." Kata Mas Ridho membawa sebuah kotak berisi makanan ringan.
"Oh iya, hampir lupa punyaku." Kata Mas Joni. "Yeeee! Gak mau dibagi nih, Mas Joni! Pelit amat!" kata Chrisjul dengan nada bercanda. Perasaan, yang pelit di sini itu Chrisjul, deh. Dia bahkan tidak membawa apa-apa ke sini.
Aku masih ingat, hari ulang tahunnya dirayakan dengan memakan satu bungkus kentang goreng. Yang harus dibagi berlima di kantor. Mas Joni hanya tertawa.
"Ini, saya bawa gorengan." Buset. Meja ini penuh sekali dengan makanan. Air liur Jerry sudah banjir ke mana-mana.
"Mari kita makan!" teriak Jerry, yang disambut dengan sorak-sorai semua orang di meja ini. Aku tersenyum lebar. Lalu melihat jendela tempatku biasa merenung itu. Ya, di luar turun hujan. Rintik-rintik air yang sedari dulu menemai kesendirianku itu ada lagi. Namun suaranya nyaris tak terdengar, apalagi setelah semua orang sibuk menyanyi bersama lagu yang diputar di radio butut itu.
"Kutatap megaa...tiada yang hitam..." suara semua orang ini, jika digabungkan, ternyata semakin fals. "Sayang, kamu mikirin sesuatu?" kata Chelsea bersandar di pundakku, "Dari tadi kamu melihat ke luar. Jangan-jangan ada hantu?" katanya panik. Aku tertawa.
"Ciee, mesra-mesraan, cieee!" kata Resy menuding kami berdua. Semuanya tiba-tiba menggoda kami berdua. Termasuk Alissa. Malam semakin larut, dan tawa kami semakin besar. Tanpa sadar, aku melupakan rintik hujan di luar. Mungkin yang aku butuhkan selama ini bukan kesendirian yang aku bangga-banggakan, namun kebersamaan yang hangatlah yang aku rindukan. Mama, Papa, kalian bisa tidur dengan tenang sekarang.
Hidupku, tempat tinggalku, hari-hariku, semuanya tak lagi dipenuhi oleh awan hitam yang mengitari kepalaku setiap hari, merindukan kebersamaan yang dulu pernah kita bagi. Tak lagi sekarang. Sekelilingku dipenuhi oleh orang-orang baik, orang-orang yang kusayang, oran-orang yang menyayangiku juga.
Perlahan air hujan itu berhenti, dan tawa kami malah semakin besar saja seiring malam ini semakin larut. Percakapan demi percakapan menggantikan lamunanku yang selalu mengisi hariku selama ini, tak disadari aku bersyukur dengan semua ini. Terimakasih semuanya. Tak disadari, air mataku jatuh manis di pipi kananku, untungnya semua orang tidak melihatnya.
Ah, sudahlah.