'TEEET!' 'TEEET!' Eh buset! Kaget aku. Arrghh. Kenapa setiap pagiku selalu dikagetkan oleh barang – 'TEEET!' 'TEEET!' – sialan ini, gerutuku panjang lebar, meraih alarm sialan itu.
"Hampir...hampir..." kataku meraba dengan posisi telentang, "Hampir...hampir..." 'TEET!' 'TEEET!' 'klik!' Ah. Akhirnya berakhir juga penderitaan singkat pagi hari ini. Hari apa ini? Kataku membuka layar HP. Hah? Tunggu dulu. Semua rambut kucel ini menganggu pandanganku. Hari ini hari....Senin?! Jam 12?! Mati aku.
Aku harus cepat-cepat mandi dan berangkat ke kantor sebelum kepalaku disajikan dengan kecap manis oleh Mas Ridho.
Aku berlari keluar dari kamar tidur dan langsung menyambar handukku cepat-cepat. Tidak ada waktu yang harus terbuang. Cepat, aku harus cepat. Pikiranku seketika langsung berubah ke Mode Efisien. Jadi teringat jaman dulu ujian akhir saat masih berkuliah. Ah, masa-masa itu. Tunggu dulu.
Aku harus buru-buru sekarang ini. Oke. Fokus, Diandra. Fokus. Ah, sudahlah! Aku sudah terlambat, tidak ada waktu untuk berfokus lagi!
'Brrrmmmmm,' suara bising knalpot vespaku karena digeber cepat-cepat memekakkan telinga setiap orang yang lewat. Semua orang di jalan, dan juga tidak terkecuali Mas Joni, yang sibuk menyapu daun kering di halaman depan.
"Pagi, Mas!" kataku terburu-buru turun dari vespaku. "Pagi, Mas Andra! Tumben telat mas?" katanya membalas sapaanku seraya melanjutkan kegiatan menyapunya lagi. Ah, sialan. Seperlu itu dia mengingatkanku. Ya Tuhan, berkeringat sekali aku hari ini.
"Pagi, semuanya!" kataku beranjak masuk ke ruang tamu. Pas sekali. Semua orang di sofa, melakukan kegiatannya masing-masing. Ada Jerry, Made, Chrisjul dan Resy. Tinggal satu orang yang tertinggal. Mas Ridho.
Pasti di ruang siaran sekarang, pikirku dengan keringat yang masih bercucuran deras. Inilah akibat pergi ke jalanan Surabaya tanpa persiapan yang tepat. Orang biasa akan terpanggang hidup-hidup.
Aku melihat dari kaca, Mas Ridho sudah terduduk di ruang siaran. Ya, untuk seorang mantan broadcaster, jelas sekali Mas Ridho bisa menggantikan tugasku dengan mudah sekali – dan lebih baik juga, tentunya – selama aku tertidur pagi tadi. Oke, saatnya masuk ke pintu judgement, kataku sambil menarik napas panjang terakhir sebelum mendorong pintu besar itu.
"Pagi, Mas! Maaf ya, Mas!" kataku berusaha ceria saat memasuki ruangan, padahal jari-jariku gemetar, "Maaf banget ya Mas, tadi aku ada urusan sebentar Mas, maaf ya Mas," kataku duduk tepat di depan Mas Ridho.
"Gapapa Ndra," kata Mas Ridho menyeret mouse komputer kesana kemari, "Selama bertahun-tahun ini kamu jarang banget telat," katanya memencet tombol-tombol di papan DJ itu, ya begitu sekarang aku memanggilnya, papan DJ.
"Lain kali jangan telat ya." Kata Mas Ridho tersenyum, mengacungkan jempol, lalu keluar ruangan. Sebuah pertanda kalau aku harus langsung melanjutkan siaran. Setelah Mas Ridho meninggalkan ruangan, aku langsung duduk di tempat duduk biasanya – tempatku melihat jendela ke luar dan menghakimi orang dalam hatiku – dan melanjutkan siaran.
Aku melihat komputer. Hm, sampai mana dia tadi? Kataku melihat layar komputer dengan serius. Untuk broadcast radio, ada aplikasi khususnya. Semua jadwal seharian sudah dirunutkan dalam bentuk slot-slot, yang tidak boleh terlambat untuk diisi.
Contohnya, sekarang lagu RAN sedang mengalun dari speaker di seisi ruangan ini, jadi jelas jatah slot menit ini diisi oleh lagu RAN. Dan benar saja, ada tulisan "Begitu Saja – RAN" di 04.13. Buset.
Separah itu keterlambatanku ternyata. Di 04.17, ada lagu "Heaven – Afgan, Isyana, Rendy", yang berarti akan langsung digantikan oleh lagu itu. Ada juga yang dinamakan sweeper, sebuah suara berdurasi 3-4 detik yang biasanya diisi oleh suara cewek yang mengatakan "YoungFreeWildFM Surabaya" dengan suara yang seksi.
Lalu biasanya digantikan dengan segmen seperti berita, yang lazimnya kita sebut "Buzz News" setiap setengah atau satu jam sekali, berisikan berita lokal atau bahkan internasional yang biasanya bisa menyedot perhatian orang banyak, atau segmen "Siang-Siang Mantap", segmen apapun yang sedang happening, entertaining dan juga banyak didengungkan anak muda. Kedua inilah segmen dimana aku biasanya bercuap.
"YoungFreeWildFM Surabaya! Keep on listening!" Suara buzzer menampakkan dirinya. Lalu ada sebuah public announcement."Eh, kamu denger gak sih berita kemarin?" "Berita apaan?" "Itu loh, katanya artis itu pacaran sama artis itu sampai cerai sama istrinya!" "Yee, itu mah hoax! Huuu!" "Oh, hehe, maap." "Teman-teman, dianjurkan untuk tidak menyebar berita hoax di internet maupun di sosial media. Jangan terpengaruh olehnya dan jangan terpancing dengan berita-berita yang tidak jelas. Oke? Oke! Karena negara kita, bisa tercerai-berai oleh berita seperti ini!" suaraku keluar.
Gagah dan berani sekali. Pasti sudah diedit oleh Mas Ridho. Tidak seperti yang biasanya orang pikir, public announcement, walaupun sekilas sama seperti iklan biasa, tapi faedahnya lain. Sebuah PA, tidak dibayar oleh siapapun untuk disiarkan di radio.
Biasanya ada di radio karena diwajibkan pemerintah dan juga untuk kita mengincar Radio News of the Year, hehehe. Cukup licik. Sama seperti iklan, PA pun biasanya menggunakan voiceover suara kita. Namun, iklan biasanya mengikuti keinginan klien, dan biasanya draf untuk omongan kita sudah ditentukan.
Untuk iklan, hanya dua yang tidak diijinkan. Ikaln minuman keras dan juga penjualan wanita atau anak kecil. Selebihnya, boleh. Ya iyalah. Kita mah butuh uang juga yakan. Lalu darimana pendapatan stasiun radio sebenarnya? Ya dari bayaran iklan itu sendiri.
Dari perjanjian kerjasama. Dari menjadi MC di acara-acara tertentu. Menjadi pengisi panggung. Dari mana saja. Toh, kita kan juga sebuah bisnis kreatif. Pencarian uangnya juga harus kreatif. Oke. Lagunya sudah mau berakhir. Mari kita bekerja.
"What's up everybody, this is Diandra! Wooo! Hari siang yang panas ini, kalian ngapain sih guys untuk menghindari cuaca terik ini? Diandra mau lebih deket lagi dengan kalian, dan kalau kalian punya jawaban, cukup tag aja instagram, twitter, atau facebook kita, di @youngfreewildfmsurabaya! Pengin whatsapp, boleh! Nomor kita 081228983918, guys! Kirimin pendapat kalian apa aja sih yang bisa kita lakuin buat mengurangi panas yang mendera ini! Diandra tunggu ya, teman-teman! Selagi kalian menunggu, nih lagu "Indah Pada Waktunya by Rizky Febian", Enjoy!" Fyuh. Akhirnya kita kembali bekerja, setelah sepagi tadi dag-dig-dug saja rasanya jantung ini.
"Halo, pekerja yang terlambat!" ujar seorang wanita dengan suara ceria mebuka pintu lebar-lebar. Ugh. "Ha-ha-ha. Lucu sekali." Kataku memasang senyum palsu. "Yee, guyon kali." Katanya duduk di depanku.
"Terserah deh. Emang kerjaanmu udah selesai gitu?" kataku mencari-cari apakah ada yang mengontak radio ini lewat sosial media. Untukku yang jarang menggunakan sosial media, hal ini amat sangat sulit. Butuh bulanan ntuk aku bisa mengerti apa itu story.
"Sudah. Aku gitu." Cih. Sombong sekali anak ini. Aku melongok ke luar. Seperti biasanya, ketiga laki-laki cecunguk itu selalu saja mondar-mandir di ruang tamu. Coba saja mereka bertiga bikin band, pasti lucu jadinya. Aku pasti akan selalu duduk di paling depan untuk melempari mereka tomat busuk.
"Mesti ngimpi siang-siang kamu," kata Resy menaruh kepalanya di meja dengan malas. Aku menoleh, dan tersenyum. "Biarin." Kataku meneruskan melihat sosial media stasiun radio tercinta ini. Aku menghela napas panjang.
"Bosen ya di sini." Kata Resy memainkan bolpen di meja. "Apa kabar saya yang sudah bertahun-tahun di sini." Kataku berolahraga leher. "Apalagi para ketiga sepuh di luar itu. Atau Mas Ridho. Keriputnya sudah bertambah satu garis." Kataku santai. Resy tersenyum.
"Ketiga cowok boyband itu sudah lama di sini?" kata Resy melongok ke jendela. Aha. Akhirnya ada yang melihat mereka bertiga kalau berkumpul mirip boyband. Ala-ala Korea yang suka memperlihatkan adegan mereka sehari-hari di TV itu. Sekilas mirip JKT48. Tapi versi lokal.
"Yah," kataku menepikan mic yang tepat di depan mulutku, "Mereka dulunya penyiar sebelum aku di sini. Selain Jerry. Dia murni desainer grafis dari dulu." Kataku menunjuk mereka bertiga.
"Waaahh," kata Resy berbinar-binar, "Keren ya. Aku tahu Kak Made itu dulunya keren." Katanya menopangkan mukanya ke dagu. "Permisi, pekerjaan Made yang dulu itu pekerjaan saya sekarang. Harusnya aku keren dong." Kataku menaikkan satu alis.
"Enggak. Mas biasa aja." Kata Resy tersenyum simpul. Aku hanya bisa menghela napas. 'Ting-tong!' Wah. Pesan. Jarang sekali HPku ini menerima pesan. Semua grup sudah ku-silent. Bahkan Mas Ridho juga. Eh. Mungkin itu alasan semua tugasku selalu terlambat. Tapi aku benci diganggu. Ah, sudahlah. Kira-kira dari siapa? Ternyata dari Chelsea.
"He, senyum-senyum. Pacarnya ya?" kata Resy menggoda. "Kepo aja sih kamu." Kataku membalas pesannya.
"Eh, wajar dong. Cewek." Katanya membela diri. Kata siapa. Tukang jamu depan rumahku wanita, tapi sikapnya tidak penasaran tentang hidup orang lain kok. Tanpa sadar sudah hampir sore. Mungkin karena aku datang terlambat, jadi pekerjaan hari ini terasa cepat. Mungkin sekali-kali aku boleh seperti ini. Eh. Jangan. Aku masih cinta hidupku.
"Sebentar lagi pulang, kamu gak ringkes-ringkes?" kataku kepada Resy. "Mas sendiri?" katanya malas. "Udah sih aku." Kataku tersenyum bangga sambil berdiri.
"Tapi kan mas, harus closing siaran." Katanya berbalik tersenyum dengan licik. Sialan. Cepat belajar sekali anak ini. Aku berjalan menuju pintu.
"Mas mau kemana, kan belum closing?" "Toilet!" kataku geram dengan kejahilanku yang behasil dibalas. Oke. Kamu menang kali ini, Resy.
'Crrsssss,' bunyi kencingku yang mengenai air toilet ini membuatku berpikir sejenak. Hmm. Kapan terakhir kali aku ke toilet kantor ini? Bukannya aku belum pernah ke toilet di kafe Chelsea? Tunggu. Apa hubungan toilet dengan ini semua? 'Crsss....' Oh.
Sudah selesai rupanya. Kuning sekali kencingku. Aku pernah membaca di toilet mall, kalau urinmu berwarna kuning, itu tandanya kamu sakit. Semakin kuning, semakin sakit. Ditinjau dari warna kencingku, sepertinya sebentar lagi aku akan menghadap Tuhan. Sudahlah. Mari kita guyur air genangan amonia ini.
Aku keluar dari WC, mengambil satu napas panjang. Sepertinya bulan-bulan belakangan ini aku sering sekali mengambil napas panjang. Mirip anak gunung saja aku ini. Oke. Satu napas lagi. Mari kita pulang, pikirku senang sembari menggeber motorku, menuju kafe Chelsea.
Membayangkan kafenya selesai dari terakhir kali aku ke sana membuatku imajinasiku melayang kemana-mana. Menyenangkan sekali menebak kemana hari ini akan berkahir. Seperti bingo, tapi semua nomornya adalah pemenangnya.
'Brrrrmmmmm, brtrtrtrtrtttt," bunyi knaplot vespaku mulai bising dan parau. Sepertinya sudah saatnya untuk servis rutin. Yah, disinilah kita. Di kafe milik Chelsea, sepertinya semakin hari semakin sering saja aku pergi ke tempat ini.
Tak terasa, terkadang setelah melepas penat bekerja, instingku selalu menggerakan lenganku untuk menyetir vespaku ke tempat ini. Lagi. Dan lagi. Tak terasa sudah berapa gelak tawa yang sudah kita bagi, dan ternyata, Chelsea mirip denganku – dalam berbagai hal di hidup kita berdua.
"Hai, Andra!" suara cempreng mengiringi suara kafe yang terbuka. Aku tersenyum sambil membuka helmku. Eh. Kenapa sulit sekali? "Makan dulu yuk," kata Chelsea manis. "Eh, tunggu dulu, helm ini kok gak bisa dibuka," kataku menyeret pengaman helm itu ke kanan dan ke kiri.
"Gak usah dibuka dong," lanjut Chelsea mencoba membantu. "Hah? Maksudnya?" "Kan kita makan di luar." Timpal Chelsea tersenyum. 'Klik!' pengamannya terbuka. Aku bengong. Pemilik kafe yang memutuskan untuk makan di luar. Jarang sekali ada.
"Eh," kataku bingung, "Ya udah. Ayo naik." Kataku kembali ke vespa. "Yeayy!!" teriak Chelsea kegirangan. Aku hanya bisa tersenyum lagi dibuatnya. Anak ini tidak mempunyai tombol 'off' sepertinya. Chelsea terduduk dengan manis di belakang sambil memegang erat pinggangku.
"Euh," kataku menoleh ke belakang, "Helmnya, mbak." "Oh, iya mas." Kata Chelsea sontak turun dari motor dan kembali ke kafe.
"Tungguin ya!" kata Chelsea menudingku sambil memegang pintu kafe. Aku mengangguk pelan. Hujan mulai turun. Tidak apa-apalah aku terkena guyurannya sedikit. Pusing sekali aku. Sepertinya aku kecapekan setelah semua yang terjadi hari ini. Semuanya terlihat buram. Oh, Ya Tuhan.
Aku tidak mampu lagi. 'Bruk!' "Diandra!!" samar-samar seorang wanita meneriakkan namaku sambil berlari ke arahku. Aku tidak kuat lagi, ya Tuhan. Sakit. Sakit sekali.