"Hai, Diandra." Aku menoleh. Sesosok wanita itu mucul lagi dengan balutan dress putih. Alissa. "Kamu kemana aja?" tatapnya tajam, tersenyum manis. "Terbalik. Kamu yang kemana sedari dulu." Dia tersenyum lagi. Kali ini lebih lebar dari sebelumnya.
"Aku selalu di dekatmu kok." Katanya misterius, menyisakan seribu tanya di pikiranku. Di dekatku? Dimana? Lalu dia pergi. "Kamu kemana?" kejarku dengan sepenuh tenaga. Tapi dia berlalu cepat sekali. Lalu dia menoleh ke arahku. "Diandra."
"Diandra!" "Diandra!" semakin kencang suara yang memanggilku. Semakin buram. Lalu semakin cerah. Semakin jelas.
Aku melihat sesosok wanita yang wajahnya semakin dekat. Aku tidak pernah lupa rambut ikat kuda yang berantakan itu. Chelsea. Untunglah. Aku sangat senang dapat melihat wajahnya saat ini.
"Kamu gak papa? Kok kamu senyum? Ngigau ya?" katanya menggoncang-goncangkan kepalaku. Aku tersenyum lagi. "Heh! Jangan-jangan kamu udah sakaratul maut!?" teriaknya menampar pipiku. Kurangajar sekali anak ini, kataku sambil terbangun pelan-pelan.
"Augh," erangku kesakitan. "Eh, hati-hati! Kamu belum sembuh benar lho," kata Chelsea khawatri, sembari melingkarkan kedua tangannya di badanku. "Aku gapapa kok." Kataku memegang tangan Chelsea. Chelsea tersenyum.
"Bohong." Katanya menidurkan aku lagi di pangkuannnya. "Kamu lho, baru saja pingsan. Hampir saja aku memanggil rumah sakit." Katanya mengecek suhu badanku. "Kamu panas banget. Aku mau masakin sesuatu, tapi kamu butuh tidur sekarang." Kata Chelsea pelan.
"Gak usah deh. Sungguh ini." Kataku tersenyum simpul. Aku terkesan sekali dengan kebaikan anak itu. "Hm, terus kita ngapain ya? Aku bosen banget, tapi aku juga gak mau kamu kecapekan." Katanya berpikir keras. Lucu sekali wajahnya.
"Ah,hujan!" kata Chelsea seraya melihat ke jendela. Aku menoleh dengan pelan. Ya, benar. Hujan lagi. "Ini bagus, kamu jadi gak boleh pulang sekarang. Kamu butuh istirahat banyak." Kata Chelsea panjang lebar.
Aku tidak mendengarkan kata-katanya. Telingsku disumpal habis oleh suara rintik hujan ini. Semakin deras. Semakin deras. Sama sperti waktu itu. Sama seperti setiap memoriku di sini. Aku melihat wajah Chelsea yang masih berbicara sesuatu. Entah apa. Aku baru menyadari, aku menyukai momen ini. Aku takut kehilangan momen ini. Aku menyukai tempat ini. Aku menyukai....Chelsea.
"Chelsea," kataku pelan, tapi pasti. "Iya?" katany seketika menghentikan semua omongannya tadi. "Kamu mau jadi pacarku?" Chelsea terdiam. Hujan terdiam sejenak. Alam semesta sepertinya juga terdiam, menyisakan aku dan dia dalam menit-menit hidupku ini. Terasa sesak, terasa panjang, namun aku menyukai setiap detiknya.
Aku bisa hidup di momen ini selamanya, hanya berdua dengannya dalam kesunyian yang tersembunyi dalam gemuruh hidup kota ini. Aku baru menyadari, aku benar-benar menyukainya. Lalu, Chelsea tersenyum.
Oh, Tuhan. Terjadi lagi. Aku tidak bisa melihat apapun. Aku tidak mendengar suara Chelsea barang sekata pun. Semuanya buram. Semuanya memusingkan.
Aku sejenak menolehkan kepalaku, hendak melihat hujan yang kurindukan itu sekali lagi. Lalu aku terjerembab ke tanah. Terdengar lagi raungan Chelsea. Tanpa sadar, aku menitikkan air mata. Kenapa, Tuhan? Di saat aku pikir semuanya sempurna, haruskah kau renggut sesuatu dariku? Pertama, orangtuaku.
Lalu wanita yang paling aku sayang di hidupku. Di saat aku sudah menemukan wanita pengganti lubang di hatiku, sekarang kau merenggut...diriku. Sakit sekali. Semuanya buram. Lalu semuanya hitam. "Diandra!"
"Diandra!" "Diandra....." "Diandra." "Diandra." Ah. Aku terbangun. Dimana ini? "Syukurlah kamu bangun. Kamu di kamarku." Kata Chelsea mengambil sebuah handuk dari baskom berukuran kecil yang mengeluarkan uap. Lalu dia menaruhnya pelan di dahiku. Hangat sekali.
"Kamu gapapa? Kamu dulu pernah sakit kayak gini?" kata Chelsea pelan. "Nggak. Ini pertama kalinya." Kataku mengepalkan tanganku erat-erat, mencoba menghangatkan diriku. Chelsea tersenyum.
"Kamu tau," katanya memegang tanganku erat-erat, "Kamu sedari tadi menggumamkan nama." Katanya tersenyum kepadaku. "Siapa?" kataku balik bertanya.
"Hmm, aku kurang yakin....sepertinya Alissa?" aku terdiam. Mataku terbelalak. "Apa dia mamamu?" katanya bertanya kepadaku dengan muka cemas. Aku bernapas tersengal-sengal, dan mengeratkan genggaman tangannya.
"Oh, maaf. Aku tahu kamu sangat ingin melupakan kejadian keluargamu di masa lalu." Katanya seketika merasa bersalah, lengkap dengan muka tengilnya. "Aku bakal ninggalin kamu sendiri dulu buat istirahat. Cepet sembuh ya." Katanya tersenyum hangat, lalu meninggalkan ruangan. Alissa. Kenapa kamu tiba-tiba muncul di pikiranku seperti ini?
Sudah semakin larut dan aku masih saja belum bisa tertidur. Ada banyak hal yang mengitari pikiranku, tapi jelas kondisiku lebih baik ketimbang tadi siang. Ada banyak sekali yang terjadi, aku sampai bingung harus mulai dari mana. Ah, sudahlah.
Kata guru olahragaku, jangan terlalu sering memikirkan sesuatu. Tapi bukannya aku benci olahraga? Setiap detik dihabiskan di futsal sebagai anak bola untuk alasan "kebugaran" itu membuatku dongkol sampai hari ini. Eh. Kenapa aku justru memberatkan pikiranku seperti ini? Sudahlah.
Pikirkan hal yang menyenangkan. Seperti Chelsea misalnya. Eh, iya. Di mana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Eh. Ah. Sudahlah. Aku mencoba menutup mataku.
Pelan-pelan—"Diandra! Sayang!" Ya Tuhan. Berikanlah hambamu ini waktu istirahat barang sedetik saja. "Aku belikan kamu makanan!" Aku tersenyum seketika. Benar. Anak ini yang selama ini menghilang di hidupku yang hambar dan penuh dengan laki-laki kotor. Aku melihat wajahnya yang lucu dan menggemaskan dan menarik napas panjang. Kemana saja kamu, sayangku?
Aku mencoba duduk. "Eh, hati-hati! Kamu belum sembuh bener!" kata Chelsea memegang badanku erat-erat. "Aku gapapa kok." Kataku sambil bergear sambil mencoba duduk. Sulit sekali, ya Tuhan. Apakah ini penderitaan engkong-engkongusia seabad dengan asam urat?
"Huh. Kamu gak pernah dengerin aku." Balasnya manyun dengan mulut yang dimonyongkan. Aku tersenyum. "Kamu bawa apa?" kataku penasaran dengan dua kresek yang dibawanya. "Kamu pasti kaget," kata Chelsea tergirang sambil merogoh dalam-dalam. Aku mencoba melihat ke dalam—"Taraaa!!" kata Chelsea senang sambil mengeluarkan seplastik bakso kuah yang terbungkus erat.
"Kata papaku, orang sakit paling cocok makan yang berkuah!" katanya bahagia sekali, seperti menang lotere. Tumben sekali. Biasanya ibu-ibu yang bilang begitu.
Aku pernah teringat mamaku memarahi aku yang sedang sakit sambil memberiku makanan berkuah, lengkap dengan kata-kata Chelsea barusan, padahal dia sendiri dengan rakus memakan keripik kentang. Ah, semoga saja bisa kembali ke masa-masa dulu. Aku yakin mama sudah memakan keripik kentang tak terbatas di surga sana.
"Hei!" kata Chelsea memegang kedua pipiku, "Kamu ngelamun?" Aku menggelengkan kepala.
"Aku berpikir keras." Kataku memasang muka sok serius. "Dengan kata lain, melamun." Gurau Chelsea sambil mengelus pipiku. "Istirahat lagi gih. Kamu butuh istirahat." Katanya pelan.
"Oh iya, ini di kamar siapa?" kataku melihat sekeliling ruangan ini. "Ini kamar papaku. Dulunya." Kata Chelsea menoleh ke seisi ruangan. "Sebelum kamu berrbicara sesuatu, papaku pergi. Tanpa kabar, sampai hari ini." katanya semakin pelan.
"Maaf ya." kataku gantian memegang pipi Chelsea. Dan ya Tuhan, lembut sekali. Persis kue mochi. "Gapapa kok. Aku juga sudah lama melupakan orang itu. Yang dia tinggalkan hanya rumah ini." Kata Chelsea memegang tanganku.
"Dan sebelum kamu bertanya lagi, mamaku di New York. Aku belum tahu kapan dia akan kembali." Katanya mengambil napas panjang. Sepertinya bercerita akan hal ini merupakan hal yang sangat menyakitkan baginya. Tapi, dia lebih tabah. Tidak seperti aku yang menangis seperti Sungai Bengawan Solo.
"Lalu?" tanyaku pelan. "Maksudnya?" kata Chelsea, perlahan mengangkat wajahnya melihat wajahku dengan dalam. "Apakah kamu akan kembali jika waktunya tiba?" Chelsea terdiam. Kesunyian merasuk sekelebat ke ruangan ini, menyisakan rasa takutku akan kehilangan seseorang yang aku sayang untuk kesekian kalinya, untuk orang yang akhirnya membuka kebuntuan hatiku mencari alasan untuk kehangatan. Lalu bibir manisnya bergerak. Dan hatiku tergoncang.
"Mungkin." Katanya pelan, menitikkan air mata. Malam ini, banyak sekali kejadian yang ingin kulupakan, dibarengi dengan seseorang yang tidak ingin kulupakan. Tuhan, jangan ambil dia dari hidupku.
Aku terdiam sejenak, dan berpikir. "Malam tambah larut. Mungkin aku harus pulang." Kataku membenamkan kedua telapak tanganku di pipi Chelsea. "Tapi kamu masih sakit!" katanya dengan mimik muka manja.
"Aku gapapa kok." Kataku berusaha bangkit. Ternyata aku bisa. Selamat tinggal penderitaan engkong-engkong umur tua dengan kondisi asam urat. "Lihat kan?" kataku berusaha sombong. Entah apa ini kesombongan.
"Hmm...." kata Chelsea menghakimi kondisiku, "Mungkin kamu bener." Katanya tegas. Aku hanya bisa tersenyum. "Oke, tapi kamu janji ya." "Janji." "Tapi aku belum ngomong apa-apa."
Aku bingung mencari alasan, karena sesungguhnya aku hanya ingin pulang sekarang. Di tengah semua kegundahan pikiran tak menentu, kuncinya hanya satu; kasur.
"Janji ke aku kalau kamu bakalan pulang dengan selamat." Katanya mengacungkan jari kelingking. "Janji." Tanpa aku sadari, tubuhku menghangatkan dirinya. Inilah perasaan yang dulu sekali kulupakan, aku sampai lupa rasanya. Menyenangkan sekali bisa kembali.
Kembali menjadi diriku yang seutuhnya, kembali memperjuangkan sesuatu, demi seseorang. Mari kita pulang sekali lagi, namun kali ini dengan seseorang untuk diperjuangkan di hari esok.
'TEEET!' 'TEEET!''TEEET!' Aku membuka mataku pelan-pelan. Aku mulai terbiasa dengan suara alarm ini. 'TEEET!' 'TEEET!''TEEET!'Aku melirik jam di alarm ini dan mematikannya. 'Klik!' Masih pagi.
Aku harus megirimkan pesan selamat pagi kepada Chelsea. 'selamat pagi sayang', tulisku cepat di HP. Oke. Terdengar menjijikkan. Sudahlah. Mari kita mandi. Aku menguap sambil menyabet handuk kesayanganku. Mungkin segala di sini adalah kesayanganku, karena segala di sini adalah milikku. Aku masuk ke kamar mandi dan mengunci pintunya. Kenapa aku mengunci pintunya? Toh hanya aku manusia di sini. Ah, sudahlah. Mari mandi, sebelum aku terlambat lagi.
Aku bersiap, dan mengunci helmku. Namun kulihat di spion, mukaku masih saja berantakan. Mungkin ini karunia Tuhan.
"Kamu belum berubah, Diandra." Kata seorang wanita. Eh? Kenapa bisa ada suara di rumah ini? Jangan-jangan hantu? Aku menoleh. Sesosok wanita yang selalu hadir di mimpiku yang tergelap muncul. Alissa.
"Alissa?" Dia mengangguk. "Kamu kangen aku?" Aku terdiam. Semua ini terlalu tiba-tiba. "Kamu masih hidup sendiri?" "Eh, kamu, aku – kamu kok bisa di sini?" kataku tergagap, bingung dengan kehadirannya yang tiba-tiba.
"Karena aku penasaran denganmu." Kata Alissa dengan senyuman misteriusnya. "Sudah cukup, Alissa," kataku mengambil napas panjang, "Kamu sudah hadir di hidupku, lalu kamu pergi. Tamat. Aku sedang tidak mau membahasnya lagi." Alissa terdiam.
"Apakah salahku? Aku harus kuliah di luar, Diandra." Ya, benar. Kamu seharusnya mengejar mimpiku. Meninggalkan aku yang dulu ditinggalkan oleh semua yang kuperjuangkan. Benar sekali. Kenapa aku menyalahkanmu?
"Kamu masih sama saja. Senang melamun." Kata Alissa pelan. "Aku harus pergi. Aku harus bekerja." Kataku menaiki vespa biruku.
"Dan meninggalkan aku di sini?" katanya menunjuk dirinya, seakan menyalahkan diriku. Aku berpikir sejenak. "Mungkin nanti malam kita akan bicara lagi, jika kamu mau." Kataku sembari menolehkan wajahku ke arahnya.
"Baiklah," katanya tersenyum, lalu pergi ke arah mobil sportnya. Kenapa di parkir sedekat itu dengan rumahku? Jangan-jangan tetanggaku mengira aku berurusan dengan kartel narkoba nantinya. Apakah NPWP ku akan dicek nantinya? Atau? Ah, sudahlah.
Sudah saatnya aku berangkat, kataku sambil mengangkat standar motorku dan menggeber vespaku ke jalanan. Aneh juga kalau dipikir. Apa ini mimpi? Aku menoleh.
"Alissa!" teriakku. Dia menoleh. Aku menghampirinya dengan helm yang terpasang erat di kepalaku. Aku mengernyitkan dahiku. Apa memang benar dia di sini? "Euhh," kataku menaikkan alisku, "Aku tidak sedang bermimpi kan?" kataku terheran. Sungguh. Kenapa dia bisa tahu alamatku? Alissa tersenyum.
"Pasti semua ini sungguh terasa asing buat kamu, Andra." Katanya menyeret visor kaca helmku ke bawah, lalu pergi begitu saja. Sepertinya dia bukan hantu karena bisa memegang benda. Tapi, kenapa?
"Pagi semuanaya." Kataku setelah sepagian tadi memikirkan panjang lebar tentang kehadiran seseorang di hidupku. Jatah siaranku masih sore nanti karena ada bintang tamu yang kebetulan ngomong, jadi untunglah.
"Ah!" kataku merebahkan diriku di sofa ruang tamu ini, yang kaya kenangan dan memori kita para pejantan tangguh – sampai Jerry merusak lamunanku. "Tumben capek, kayak bukan Diandra banget." Aku tersenyum.
"Thanks Jer. Aku lagi mikirin sesuatu." Kataku menutup wajahku dengan seoplah koran yang terbengkalai bebas di meja di dekatku – beserta dengan tumpukan cemilan yang aku duga merupakan milik Jerry.
"Apaan sih? Penasaran aku." Kata Jerry menghentikan ketukan jarinya di laptop dan pindah di sebelahku. Aku membuka mataku melalui celah koran, dan menoleh ke kiri dan kanan. Oke, tidak ada orang lain.
Aku mendekatkan badanku ke Jerry sambil telentang lalu berbisik, "Kamu tahu mantanku, kan? Alissa?" kataku hati-hati. "Kalian balikan?" kata Jerry setengah teriak, setengah berbisik. "Hey, dengerin dulu napa." Kataku dengan muka kusut. "Oke, oke. Maap." Katanya kembali mendengarkan dengan seksama. Aku tersenyum kecil. Sepertinya dia suka sekali dengan gosip-gosip semcam ini.
"Dia kemarin ke rumahku." "Hah?! Sungguhan?!" katanya berteriak, sampai membuat Mas Joni di pintu gerbang sekelebat masuk. Kita berdua berpura-pura tidak melakukan apa-apa. Mas Joni kembali. "Iya," kataku langsung menyambung ceritaku. "Aneh bangetkan?" kataku menaikkan kedua bahuku.
"Bukannya dia di luar negeri ya?" "Ya, justru itu anehnyaaa!" kataku gemas. Ya Tuhan. Lama sekali kinerja otak anak satu ini. "Terus aku," – "terus apaan, Ndra?" muncul Made dari belakang dengaan kedua tangan di sakunya, mendengarkan dengan seksama. Kita langsung mundur dan menjaga jarak.
"Gapapa kok. Aku cuman ngasih tahu Jerry tips diet." Kataku mengelak. "Oh gitu," kata Made dengan santai. "Oke deh." Lah. Biasanya orang biasa tidak percaya dengan kata-kata seperti itu, tapi Made tidak. Seperti biasa, anak itu selalu sedingin es batu di Kutub Utara. Ah, sudahlah.
"Pagi semua!" teriak Resy sembari masuk. Aku melihat di belakangnya. Ada Chrisjul. Oh, lengkaplah sudah. Aku melirik pada Jerry, dan menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya usai sudah periode curcol singkat ini.
Mas Ridho datang, "Pagi semua!" katanya riang sambil menaikkan jempolnya ke udara. "Pagi, Mas!" ujar semuanya. Ya, tidak membalas salam bosmu adalah sesuatu yang tidak baik untuk dilakukan.
"Andra, kamu kok nggak di studio?" kata Mas Ridho menghentikan langkahnya. "Wah, nanggur ya?" kata Resy duduk di seberangku sambil mengeluarkan laptopnya.
"Enak aja," kataku tidak terima. 'Ting!' HPku berbunyi. Ada balasan dari Chelsea. "Cieee siapa nih, senyum-senyum amat pagi gini." Kata Resy jahil. Yang lain ikut terpancing. "Ndra, udah punya pacar kamu?" kata Chrisjul di belakang. Buset. Itu telinga apa sonar, peka banget.
"Oh ya? Berarti yang tadi ngebahas pacaran?" kata Made santai, sambil menggebuk stik drumnya di meja. Pantas meja ini penuh dengan goresan, aku kira perbuatan kucing.
"Ndra, ke studio yuk." Kata Mas Ridho yang berjalan ke arahku. Sepertinya dia baru dari studio. "Oh, oke mas." Kataku langsung beranjak dari kursiku. Terimakasih Mas Ridho. Aku tidak harus berurusan dengan gosip viral kantor ini.
"Duduk, Ndra." Kata Mas Ridho menyuruhku duduk di seberang tempat duduk penyiar. Wah, sepertinya ini serius. "Mas, siaranku baru sore kok, aku" – "bukan itu, kok." Kata Mas Ridho serius.
"Kamu kerja di sini sudah lama..." kata Mas Ridho mengambil jeda sejenak. Waduh. Ada apa ini. "Sudah waktunya kamu mengambil alih pekerjaanku." Kata Mas Ridho melipat tangannya di dada.
"Sungguh?" kataku masih tidak percaya. Mas Ridho mengangguk. "Akan ada atasan di atasmu yang akan mengawasi pekerjaan kita dari Jakarta," Kata Mas Ridho. Aku mengangguk saja, walaupun semua ini masih terdengar cukup cepat bagiku, "Namanya Alissa Angelia." Deg. Aku langsung menyela.
"Alissa? Putih, rambut hitam panjang, naik mobil sport?" kataku bertanya, mengklarifikasi semua sinyal merah di kepalaku. "Iya, kamu kenal?" kata Mas Ridho tersenyum.
Mungkin maksud Mas Ridho, kalau sudah kenal, maka semuanya akan baik-baik saja. Seharusnya. Mengingat masa lalu kami, mungkin tidak juga. "Oh iya, kalian dulu punya masa lalu ya." Kata Mas Ridho langsung menaruh telapak tangan di wajahnya. Lalu menutup mulutnya, dengan mimik muka berpikir keras.
"Hmmm, gimana ya..." kata Mas Ridho masih berpikir. Oke, saatnya menjadi dewasa. Aku tidak boleh membiarkan masa laluku menghambat masa depanku. Apalagi saat-saat krusial seperti ini.
"Gapapa kok, Mas. Itu semua sudah tak lupain. Aku yakin dia juga pasti berpikir lebih dewasa sekarang ini." Kataku datar. Baru pertama kalinya dalam beberapa waktu aku berbicara seserius ini. Tapi ini kan, hal yang serius. Mas Ridho terdiam sejenak.
"Oke!" katanya beranjak dari kursi. "Aku akan bilang Alissa secepatnya." "Terus, Mas Ridho ngapain setelah aku promosi?" kataku penasaran sembari Mas Ridho sudah mau meninggalkan ruangan.
"Rahasia deh. Siaran sana gih." Eh. Kasar sekali. Sudahlah. Aku menarik napas panjang sekali lagi. Dan berhenti sebentar. Oke, mari kita siaran. "Morning guys, this is Diandra from YoungFreeWild FM – ," suaraku meredam segalanya dalam kesunyian, segala yang terjadi hari ini, esok, dan hari setelahnya. Aku penasaran apa yang akan terjadi di hari-hariku berikutnya.