Chereads / The Broadcast of Live and Love / Chapter 10 - Act 10 ...They Flock Together.

Chapter 10 - Act 10 ...They Flock Together.

Ah, sudahlah. Mari kita bekerja. Aku mencoba positif seharian ini, walaupun yang bermunculan hanyalah satu musibah diikuti dengan yang lain. Aku mengambil kuas untuk dinding.

"Ini mau diwarnain lagi nih, ceritanya?" kataku menunjuk dinding. "Iyaaa!" katanya riang. Aku tidak mempercayai orang yang masih bisa gembira setelah jam 9 malam, tapi tak apalah. Chelsea adalah salah satu orang yang aku sangat bersyukur bisa mengenalnya. Bahkan belum lama mengenalnya, aku sudah membagi masa lalu dengannya. Yang menimbulkan satu pertanyaan, seperti apa kira-kira masa lalunya?

"Ayo!" teriak cempreng dari belakang membuyarkan pikiranku, "Yang dinding warna coklat ya!" "Iya, iya." Kataku berjongkok melepas tutup cat kaleng berwarna coklat.

"Enggghhh!" kataku dengan muka ngeden seperti orang hendak buang air besar. Ugh. Tutupnya tak kunjung terbuka. Pasti cat murahan, pikirku frustasi. "Kamu ada obeng?" kataku menoleh ke Chelsea yang meraih sarang laba-laba dengan kemocengnya.

"Nggak lah," katanya menaikkan satu alisnya, "Emangnya ini toko bangunan?" katanya judes seraya membalikkan mukanya lagi. Kurangajar sekali. Lalu bagaimana caranya tutup cat ini bisa terbuka sekarang? Pikir, Diandra Mulia, pikir. Bagaimana jika dengan ujung sepatu? Tapi seketika aku menoleh ke Vans Old Skoolku ini.

Apakah setega itu aku membiarkan sayangku ini terluka? Tidak mungkin. Dengan pisau? Bisa-bisa aku yang celaka nantinya. Aku tidak mau menjadi Joker. Gigi? Haha. Sudah gila rupanya aku. Hmm. Nah. Aku baru saja mendapat sebuah ide cemerlang.

"Chelsea!" kataku merangkak berdiri. "Ya?" ujarnya menoleh. "Kamu ada sendok, garpu kek, sutil sup kek." Kataku memasang muka sok serius. Semoga saja diberikan.

"Ooh, sendok." Katanya mengangguk-angguk, "Ada kok." Syukurlah. Rumah macam mana tidak memiliki sendok. Aku berjalan santai menuju salah satu tempat duduk yang berserakan mengelilingi meja kafenya masing-masing. Hmm. Jauh sekali dari tempatku biasanya duduk. Tempat duduk ini jauh dari jendela, di tengah keramaian, dan tidak terkena kipas angin.

Apa yang bisa dibanggakan dari meja yang tepat di tengah ruangan ini? Sepertinya arsiteknya perlu dibenahi otaknya. Mari, Diandra, kita benahi susunan ruangan ini, selagi si dia sedang mengambil sendok. Aku mengambil kursi, hendak merapikannya satu-satu.

"Kamu ngapain?" kata Chelsea sambil membawa sendok. Sialan. Situasinya seperti aku sedang nyolong sebuah kursi dari kafenya. "Euh, jadi gini," kataku melirik sana-sini. Sial. Malah tambah meyakinkan gambaran kalau aku maling kondangan.

"Menurutku kan," kataku melepaskan kursi itu pelan-pelan dan mendudukinya, "Menurutku," kataku batuk dan jeda sebentar. "Lebih bagus kalau meja tengah ini digeser agak ke sisi," kataku menuding tanganku ke kiri, mendekat ke sisi jendela tempatku biasa merenung.

"Kan orang ngafe, jarang ada yang mau di tengah. Iya gak sih?" "Hmm," kata Chelsea mengemut sendok di mulutnya. Ih. Jorok sekali anak ini. "Kamu ada benernya sih," katanya mengeluarkan sendok dari mulutnya.

"Tapi janji ya, bakalan bagus." Aku mengangguk pasrah, melihat sendok yang belepotan dengan air mulutnya. Ya Tuhan. Apakah ini sendok yang akan kugunakan untuk membuka cat? Apakah catnya tidak akan luntur terkena ludahnya?

Sepertinya hidup anak ini sehari-harinya kotor sekali. Ironisnya, dia malah semangat membersihkan kafe ini. Pasti tempat ini sarat ribuan makna baginya.

"Nih, sendoknya. Katanya tadi butuh sendok." Katanya menyerahkan sendok bekas mulutnya. Aku mengambilnya dengan ragu, tanpa menyentuh bagian pipih bulatnya, lalu diam-diam mengusapnya ke bagian pantat celana jeansku.

"Oke! Ayo kita kerja!" kata Chelsea menguncir rambutnya ke belakang. Sisa ludah dari sendok itu menempel sedikit ke telapak tanganku. Benar. Ayo kita bekerja. Kataku mencoba positif, sekali lagi dalam keadaan yang mencengangkan dalam selembar momen diari hidupku ini.

"Udahan yok!" kataku belepotan cat dinding, sekitar dua jam semenjak kita mulai bekerja. Chelsea menoleh, dengan masker dan ponytail-nya, memberikan ekspresi datar.

"Capek bangetnih," kataku mengambil kursi kafe ke tempatku berdiri sedari tadi. "Sebentar lagi deh," kata Chelsea meneruskan memberesi kotoran di sudut-sudut tembok.

"Kan kafenya udah mau selesai? Nanti tak traktir makan deh." Katanya sembari tersenyum, yang terlihat dari raut-raut matanya yang menyipit bahagia. "Kalo gitu, aku mau istirahat dulu." Kataku berdiri, hendak menyeduh kopi.

Di balik counter rak kasir, ada banyak sekali macam dan jenis kopi. Berbeda jauh dengan stasiun radio miskin kopi itu. Ini jelas surga dunia. "Minta satu ya. Iya, ambil aja." Kataku sembari langsung mengambil satu sachet kopi latte.

"Iya." Kata Chelsea singkat. Anak ini masih semangat rupanya. Aku harus mencontoh satu-dua hal dari nona manis satu ini. "Air panas, air panas." Kataku berbisik sambil melangkah menuju dispenser air. Rak cangkir tepat di sebelahnya. Aku mengambil satu cangkir dan mengamatinya dengan teliti.

"Semuanya bersih kok." Kata Chelsea sambil mengayunkan kemocengnya. Oh. Untunglah. Aku merobek sachet kopi dan menaruhnya di cangkir, menyeduhnya langsung dengan air panas. Aku menghela napas panjang dan melihat kafe ini. Selain sesosok mungil yang sibuk mengibaskan kemoceng, memang jelas terlihat kalau kafe ini terlihat lebih bagus dari sebelumnya – minimal lebih rapi.

Aku membalikkan badan lagi dan mengambil secangkir kopi panas itu dan menaruhnya di meja sebelah counter kasir. Aku duduk di sisi luarnya, yang dipenuhi dengan bar stool. Aku menyadari kalau radionya sedari tadi mati. Mari kita nyalakan stasiun radio favorit kita; YoungFreeWild FM. Alunan radio yang mengalun merdu mengiringi kafe ini tampak syahdu sekali.

Aku melihat lagi seisi kafe yang baru setengah selesai ini. Memang nampaknya kurang bagus di mata, kataku sambil meneyeruput kopi ini dalam-dalam. Sambil menghela satu napas panjang, aku menyelesaikan kopi ini dan kembali berdiri. Memgambil cat besar yang sudah sedikit mengering, dan menaruhnya dalam-dalam di kaleng cat yang sedari tadi bekerja. Aneh.

Sekujur tubuhku capek dan lelah, tapi entah mengapa pekerjaan ini memberikan rasa hangat dalam hatiku ini. Entah mengapa, kekosongan hatiku mencari hidup sedari dulu dalam masa mudanya yang terbatasi pekerjaan dan sebagainya ini terasa terisi penuh hari ini. Penuh dalam peluh, namun tidak lagi merasa dilelahkan – tidak lagi merasa dipaksakan.

Terima kasih, Chelsea. Berjam-jam bersamamu di sini, walaupun tanpa cuap kata yang berarti, membuatku merasa ada sesuatu yang bisa kunanti menyongsong hari esok. Paling tidak, besok-besok aku adalah yang pertama bisa melihat kafe "baru" ini. Aku berhenti sejenak dari semua pemikiranku sambil duduk. Semua tembok rupanya sudah selesai dicat ulang.

Aku bisa membayangkan aku duduk di tempat rintik hujan biasa menghampiriku, dan berpikir sejenak – untuk sebuah tempat yang baru saja kujumpai, kenapa aku merasa seolah menginginkan sepenuhnya tempat ini? Di kepalaku kudapati sebuah memoar lama, kepingan hidupku yang sudah sedari dulu ingin kulupakan. Masa laluku.

Perlahan segala sesuatunya tampak kabur. Hujan rintik yang selalu kujumpai itu terngang-ngiang di kepalaku. Semakin jelas. Semakin jelas.

"Diandra!" seru sesosok wanita putih berambut panjang memanggilku dari kejauhan. "Diandra!" "Diandra!"