Chereads / The Broadcast of Live and Love / Chapter 11 - Act 11 The Bird is Injured; And It Grows Wiser.

Chapter 11 - Act 11 The Bird is Injured; And It Grows Wiser.

"Diandra!" sesosok wanita memanggilku dari kejauhan. Eh? Wajahnya seperti tak asing. Alissa. Ternyata dia.

"Kamu kemana aja?" suara Alissa mendekatiku. Semakin dekat. Kulihat wajahnya yang putih, rambutnya yang panjang, suaranya yang lembut.

"Aku—" belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Alissa menoleh. Sesosok laki-laki tinggi dengan rambut coklat menyapanya dari jauh. "Aku harus pergi, deh. Nanti kita ngomong lagi ya." Katanya membalas sapaan laki-laki itu, dan menoleh ke arahku.

"Lagi? After all this years?" Alissa tersenyum. "I promise I'll come back to you." Rambut itu. Baju putih abu-abu ini. Semua ini, tidak terasa sudah bertahun-tahun lamanya. Aku harus jujur. I miss you so much. Andai aku bisa mendengar suaramu lagi.

"Diandra? Diandra?" suara seorang wanita memanggilku lagi. Tapi kali ini, suaranya lain. Sedikit lebih cempreng.

Aku membuka mataku. Chelsea, dengan mukanya yang super berminyak, menggoncang-goncangkan badanku. "Tidur mulu ah. Kamu capek?" katanya dengan muka mewek. Oh. Ternyata aku di atas meja kafe. Dengan sebuah bantal tertambat manis di kepalaku. Sudah berapa lama aku tertidur di sini?

"Sekarang jam berapa?" kataku menyibakkan rambutku, hal yang biasa kulakukan saat bangun. "Udah pagi." Hah? "Pagi?!" kataku sedikit berteriak. "Iya," kata Chelsea menutup kupingnya karena suaraku yang berisik.

"Tapi kan, sekarang hari Sabtu. Masak, kamu weekend kerja?" Oh. Ternyata hari Sabtu. Untunglah. "Enggak sih." Kataku kembali mereda setelah letupan emosi tadi.

"Kamu masih mau bantuin?" kata Chelsea dengan memasang muka senyum yang manis. Licik sekali anak ini, kataku tersenyum culas. Aku mengangguk. "Tapi aku pulang dulu ya. Mandi." Kataku tanpa sadar memegang pipi Chelsea. Berminyak sekali.

"Kayaknya kamu juga harus mandi deh." Chelsea tersenyum. "Gak mau." Aku turun dari meja kopi dan menguap. Ya Tuhan. Bau sekali mulut ini. "Yaudah deh," kataku mengambil barang-barangku.

"Aku pulang dulu ya." Kataku mencoba fokus setelah bangun tidur ini. "Hati-hati ya." Aku mengangguk.

"Jangan lupa balik!" katanya dengan suara cempreng khasnya. Aku tersenyum dan melambaikan tanganku, melewati pintu depan kafe. Aku mengambil helmku dan berusaha mengingat apa yang aku lewatkan tadi di mimpiku. Sesosok wanita. Sesosok orang yang aku dulunya sayangi. Alissa?

Panas sekali Surabaya ini, bahkan ketika pagi hari. Bisa kita coba bayangkan bagaimana kondisi siang harinya untuk pemuda sepeda motor seperti saya ini. Telur pun bisa matang dalam tiga menit.

Aku kembali di rumah. Bagi seorang yatim piatu seperti aku ini, pulang tidak pulang pun, tidak ada yang mencari. Kondisi rumah selalu sama. Kondisi rumah selalu sepi. Atau lebih tepatnya, kondisi rumah selalu kotor. Kotor sekali. Entah kapan terakhir kali aku mendengar omelan mamaku karena bungkusan mi instan di dapur atau ranjang yang tak beraturan di kamar.

Lambat laun aku terbiasa dengan kesendirianku ini. Aku mengambil di handuk di rak biasanya, dan segera melepas bajuku. Panas sekali di sini. 'Jebyurr!' Guyuran air dingin mendinginkan badanku dengan spontan. Ini adalah tips anak rumah yang tidak mau menghabiskan banyak uang memasang AC.

Cukup mandi air dingin saja berkali-kali. Walaupun setelahnya tagihan PDAM akan naik, dan hasilnya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan menyetel AC setelah aku hitung-hitung sekarang. Setelah sebarisan cipratan air dingin mengguyur tubuhku, aku menggapai handuk. Banyak sekali yang muncul di kepalaku saat ini.

Mulai dari kebodohanku tertidur di kafe orang lain, sampai satu hal lain yang muncul di pikiranku tadi – seseorang yang lama kabarnya tidak aku ketahui, seseorang yang pernah mengisi kekosongan di hidupku dulu – Alissa. Di mana dia sekarang?

Aku membongkar lemari dan memakai baju seadanya. Sebenarnya tubuh ini masih basah, tapi aku akan menyimpan sisa dingin ini untuk sekembalinya aku ke Chelsea. Satu lagi trik anak pelit ala Diandra Mulia. Aku mengibaskan rambutku ke sana-sini, mirip anjing buluk.

"Kunci. Kunci." Kataku sibuk mencari ke bawah-ke atas mencari kunci vespaku. Sampai di dapur. Sampai di kamar mandi. Sampai di pagar. Ternyata terkunci manis di vespa. Okelah, selagi badan ini masih basah-basah dingin, mari kita menuju Chelsea.

Kalau dipikir-pikir, ini adalah pertama kalinya aku menghabiskan hari Sabtuku dengan seseorang – apalagi seorang wanita. Tahun ini mencengangkan sekali bagiku. Bagi hidupku. Ah, sudahlah.

Mari kita segera berangkat, pikirku cepat-cepat mengaitkan kait helm ke kepalaku. Semoga dingin badanku masih ada saat aku menjajaki jalanan Surabaya yang melebihi panas neraka jahanam ini.

"Halo!" kataku memasuki pintu kafe seraya melepas helmku. "Halo!" Chelsea membalikkan kepalanya, rambutnya masih saja dicepol.

"Wah! Kamu balik ya ternyata!" katanya seiring menyapu lagi. "Iya dong." Kataku menaruh helm di salah satu meja kafe. "Kafe hari ini tutup kan?" kataku lagi sambil mengibaskan poninya. Panas sekali sumpah.

"Iya," katanya pelan. "Kan kita belum selesai bersih-bersih." Katanya seakan tidak rela untuk menutup kafe ini barang sehari saja. Ngomong-ngomong soal kafe, aku belum pernah bertemu keluarga Chelsea – satupun – di tempat ini.

Bukankah dia anak asli Surabaya? Dimana semua orang relasinya? Apa bertanya mengenai hal ini bukannya melukai hatinya? Hmm. Aku berpikir keras. Mungkin aku simpan saja dalam hati pertanyaan ini. Resyana juga. Tidak pernah aku bertemu keluarganya. Tunggu. Kenapa aku memikirkan keluarga orang lain?

"Woy!" suara keras membuyarkan pikiranku. Chelsea sangat dekat dengan mukaku. "Ngelamun mulu ih!" katanya mendekatkan mulutnya ke telinganya. Tuhan. Berisik sekali anak ini.

"Eh, biarin ya kan." Chelsea tersenyum culas. "Aku mau istirahat dulu ya." Baru juga aku sampai, anak ini udahan aja. Sialan.

"Lha," katanya bengong. "Terus aku ngapain dong?" kataku lagi, menunujk ke diriku. "Kamu istirahat juga aja." Katanya melepas cepolan rambutnya. "Di sini?" kataku menunjuk lantai kafe, yang kebetulan sudah bersih.

"Bukan," kata Chelsea sambil mencuci muka, "Di atas. Di rumahku." Eh. Ya Tuhan. Kenapa muka ini menjadi merah sekali. Padahal kan, aku cuma beristirahat.

"Ayo, buruan. Ntar aku kunci kamu disini lho." Kata Chelsea dengan muka yang masih basah. "Eh," kataku malu, "Iya, iya." Chelsea pun mengeluarkan kunci-kunci dari kantong celananya dan beranjak ke belakang meja kasir, membuka pintunya. Aku mengikuti dari belakang. Ya Tuhan.

Aku nervous sekali. Tidak pernah aku se-nervous ini semenjak aku harus meminta tanda tangan Luna Maya dulu di Jakarta.'Drap.' 'Drap.' 'Drap.' Setiap langkah anak tangga yang aku langkahi di belakanga Chelsea serasa sangat berat sekali.Kenapa aku takut akan sesuatu yang tidak pasti? Ini kancuman ke rumahnya aja ya kan?

"Silahkan." Ujarnya membuka pintu di ujung anak tangga paling atas. Wah. Inilah yang biasanya orang bijak sebut kalau "rumah meniru orangnya". Bisa dibilang lebih kotor dari rumahku, dimana itu sudah sangat-sangat kotor.

"Bagus banget ya rumahmu." Kataku melihat sekeliling. Chelsea menyilangkan tangan dan tersenyum.

"Bohong." Aku tertawa. Sepertinya anak ini lebih dari mengenalku sekarang. "Kamu capek? Atau lapar? Atau – " katanya mencepol rambutnya lagi.

"Nggak usah deh. Ngerepotin ntar." Kataku masih melihat sekeliling. Walaupun mungkin memang kotor, aku bisa melihat tempat ini penuh dengan memento hidup.

Dinding yang sedikit retak ditutupi dengan pigura – banyak sekali pigura Chelsea sewaktu masih kecil. Dan foto ayah-ibunya. Serta kakek-neneknya. Dan segelintir keluarganya yang lain, sepertinya diambil dari tahun ke tahun. Perabotnya terlihat tua sekali. Hampir dapat dibilang reyot. Sepertinya hampir kesemuanya dibuat dari kayu jati, itulah mengapa sepertinya walaupun tua tetap bisa dipakai. Banyak meja – meja duduk, meja belajar, meja-meja yang lain, ada di ruangan ini.

Dipenuhi dengan taplak putih dan lagi-lagi pigura foto, mengesankan ruangan ini disayang oleh pemiliknya dan seisi penghuni rumah ini. Sumpah, banyak sekali foto-foto. Nyaris seperti ruang kantor detektif. Temboknya, dan lantainya, yang juga putih membuat kesan bersih seluruh rumah ini.

Walaupun sebenarnya kenyataan mengatakan sebaliknya. 'Gruuk!' bunyi lantang suara dari perutku bergemuruh, meminta diisi.

"Laper?" kata Chelsea mendekat dengan tersenyum licik. "Eh, anu – " "Yaudah, aku masakin ya. Sebagai gantinya, temenin aku sepanjang hari ini. Janji lho ya." Katanya menaikkan jari kelingkingnya.

"Iya deh. Janji." Kataku menyambut jarinya itu. Suatu janji yang murah, apabila aku dijanjikan sebuah makanan gratis. Siapa yang akan menolak?

"Diandra!" teriak sebuah suara dari dapur, membuyarkan tidur manisku di sofa ruang tamu. "Nasi gorengnya udah jadi nih!" kata suara itu diiringi dengan centingan wajan dan asap dari dapur.

Baunya mengundang. 'Gruuk!' Sabar, ya lambungku. Sebentar lagi kamu akan dijamu dengan mewah.

"Taraaa!" kata Chelsea membawa sepiring nasi goreng merah. "Nasi goreng ala Chelsea!" katanya menyajikan sepiring nasi itu di meja tepat di depanku, menyingkirkan beberapa pigura yang duduk manis.

"Wah!" kataku takjub. Sepertinya enak sekali. "Aku makan ya!" kataku langsung menyambar sendok dan garpu di pinggir piring.

"Yee, masih panas kali." Kata Chelsea duduk di depanku dan merapikan cepolannya. "Tiup dulu lah, atau doa dulu gih." Kata Chelsea. Aku tersenyum. Apa iya doa bisa membuat makanan ini lebih dingin? Apa salahnya dicoba, kataku seraya menutup mataku sebentar.

"Kamu lucu banget kalau doa," kata Chelsea tersenyum, memangku kepalanya dengan kedua tangan mungilnya.

"Yah," kataku mulai menyendok nasi, "Kan, semua orang doa juga kayak gini, ya kan." Kataku mulai membuka mulutku, mempersilakan nasi ini memuaskan dahaga lambungku.

"Iya juga sih." Kata Chelsea memperhatikan aku makan. "Eh, emang gak panas?" katanya menyibak rambutnya. Terlambat. Sensasi panas ini membuat mulutku terbakar.

"Hoh," "hoh," kataku membuka-buka mulutku dan mengatupkannya, persis seperti ikan lohan. Chelsea hanya tertawa. Tak terasa, gurauan kami habis rasanya ditelan waktu, dan tanpa terasa, sore berganti malam, menemani kami yang masih saja berganti cerita.

"Eh, kafenya gimana?" ucapku nyeletuk. "Hm?" kata Chelsea, sepertinya mendadak tuli. "Kafe. Pekerjaan. Belum selesai." Kataku mendikter dengan pelan-pelan.

"Gimana ya," katanya berpikir keras, "Besok aja deh." Katanya tersenyum. Aku ikut tersenyum. Malas sekali manusia satu ini. "

Yaudah," kataku berdiri dan menarik celana jeans-ku ke atas. "Aku pulang dulu kalau gitu ya." Aku berusaha men-stretching badanku yang pegal ini.

"Yaaah," kata Chelsea dengan nada manja, "Kok pulang?" Aku tersenyum simpul. Gila sekali anak ini. Satu malam lagi dan kita akan digiring massa keluar ramai-ramai. Ngomong-ngomong tentang orang, sedari tadi – kemarin, bahkan – tak satupun kulihat orang lain masuk ke rumah ini. Apakah Chelsea hidup sendiri?

"Eh," kataku berusaha bertanya. "Yaudah, hati-hati ya." Kata Chelsea membereskan piring bekas nasi gorengku tadi, yang entah kenapa, baru dibereskan sekarang. Aku menghela napas panjang dan mengangguk setuju. Ah, sudahlah.

Mari kita akhiri malam ini, malam yang liar ini, malam yang tidak pernah aku sangka akan menjumpaiku, seperti malam ini. Apakah ini pertanda hatiku yang dingin ini akan menghangat lagi?

Yah, siapa yang tahu. Suara gurauan kami sudah berhenti, tergantikan oleh deru sepeda motor yang lalu-lalang lewat, mengingatkanku sesaat, bahwa di tengah momen yang terasa sangat damai tadi, aku masih berada di sebuah kota besar – kota yang dingin, keras dan juga tidak berperasaan.