Chereads / The Broadcast of Live and Love / Chapter 8 - Act 8 The Bird Grows Up, The Bird Grows Old.

Chapter 8 - Act 8 The Bird Grows Up, The Bird Grows Old.

Tidak terasa malam tadi berubah menjadi pagi buta. Ada kala saat orang harus curhat sama orang lain, dan mungkin malam tadi saatnya. Aku menghela napas panjang, mencoba mengingat dengan seksama apa yang terjadi malam barusan. Berjam-jam kuhabiskan berdua dengan Chelsea di kafe itu, melompat dari satu topik ke topik yang lainnya, hati ke hati ditemani rintik hujan. Itulah, sebelum malam semakin larut dan hujan memutuskan untuk menyudahi absensinya di kafe itu.

Aku pamit, lalu beranjak pulang. Mungkin aku mendominasi percakapan malam itu. Aku yakin Chelsea juga pasti punya uneg-uneg untuk dibicarakan. Untungnya aku menyimpan nomor telfonnya, dan pagi ini marilah kita mencoba untuk lebih dekat lagi satu sama lain. Parahnya, aku jarang sekali membuka percakapan, apa lagi dengan lawan jenis. Ah, tidak ada salahnya mencoba, ya kan?

Aku mengirimkan pesan singkat, berterimakasih atas malam tadi dan pergi mengambil handuk. Sepertinya pagi ini jauh lebih khidmat tanpa kehadiran alarm sial itu. Seharusnya aku sudah membuangnya sejak lama.

Aku mengambil handuk butut warna biru itu dari rak handuk, lalu melangkahkan kakiku pelan menuju kamar mandi. Mungkin ini imbasnya tidak menggunakan alarm, aku tidak sepenuhnya bangun. Sepertinya sukmaku tertinggal entah di mana. Ah, sudahlah. Lebih baik aku bersiap-siap sebelum Mas Ridho membakar rumahku dengan aku di dalamnya.

Seperti biasa, Surabaya selalu saja macet siang ini. Apalagi dekat kawasan perkantoran. Bagi pengguna roda dua seperti aku, mungkin memang tidak terlalu terasa imbasnya, tapi panasnya, panasnya sepertinya melebihi api neraka jahanam. Gila. Bercampur dengan debu dan asap, lengkaplah sudah.

Dan gemuruh suara klakson dan konstruksi selalu menemani siang hari ini dengan indah. Hampir 30 menit aku di jalanan. Tumben. Biasanya tidak semacet ini. Akhirnya di kejauhan nampak bangunan familiar dengan plakat besar 'YoungFreeWild FM'. Ah.

Senang sekali rasanya setelah semua panas ini bisa akhirnya merasakan dingin angin AC. Ya, kondisi angin di Surabaya ini memang sangat kontras. Di luar seperti neraka, di dalam seperti surga.

"Siang Mas!" kataku menyapa Mas Joni dengan semangat. Mas Joni yang sibuk menyapu halaman membalas salamku dengan teriakan yang sama semangatnya, sambil menggigit rokok di mulutnya.

Bagaimana rokoknya masih bisa bertahan di mulutnya masih menjadi misteri alam. Aku masuk dan mendapati ada seorang cewek di ruang tamu yang sibuk bermain HP. Ada banyak tamu dan orang penting lalu lalang di sini, tapi seorang remaja sendirian? Sepertinya baru sekali ini saja aku melihatnya.

Mukanya tertutup oleh rambut panjangnya yang terurai panjang dan oleh kupluk warna hitamnya. Sembari aku berjalan pelan menuju studio, Mas Ridho yang baru keluar dari toilet, dengan muka basah, langsung menyapaku.

"Andra!" sahutnya kencang sambil berjalan ke arahku. "Kamu tahu kalau dulu kita akan mendapatkan seorang anak magang di stasiun radio kita tercinta ini?" katanya bersemangat. Oooh. Pasti anak itu.

"Sini, aku kenalin." Lanjut Mas Ridho dengan masih bersemangat. Heran. Antusiasme di tempat ini selalu tidak jelas arahnya kemana. "Kenalin, ini anak magang baru kita," kata Mas Ridho menghampiri anak yang terduduk manis di pojok sofa itu.

Anak itu langsung memutar mukanya ke arahku. Aku tersentak kaget. Terlebih lagi saat Mas Ridho mengucapkan suatu kalimat yang membuatku terkejut setengah mati, "Namanya Resyana." Kurasakan ada sesuatu yang terputus di saraf otakku. Hah? Anak ini? Bagaimana bisa?

"Euh..." kataku terbata. Aku bisa melihat kalau Resy juga diam seribu bahasa saat melihatku. "Kenapa, Ndra?" kata Mas Ridho.

"Gak usah dikenalin, mas. Kita udah saling kenal kok." Kataku sedikit melongo. "Oh, oke kalau gitu." Kata Mas Ridho menepuk pundakku. "Karena kalian udah saling kenal, kamu langsung siaran ya." Kata Mas Ridho menudingku sembari menuju studio.

Nah, ini dia Mas Ridho yang aku kenal. Aku menoleh ke Resyana. "Eh..aku duluan ya." Kataku mencoba ramah. Dia hanya mengangguk, lalu mengembalikan pandangan ke HPnya. Untuk pertemuan yang sangat tidak mengenakkan ini, aku sebenarnya masih bisa bersyukur.

Karena dengan adanya Resy di sini sekarang, mungkin masa lalu yang kelam itu bisa dirubah ke depannya. Optimis, Diandra. Optimis. Aku menghela napas panjang dan melangkahkan kakiku menuju studio. Hari ini aneh sekali. Ah, sudahlah, mungkin aku yang terlalu melebih-lebihkan.

Aku melongok dari jendela dan mendapati Mas Ridho ada di dalam, mengutak-atik sesuatu. Jangan-jangan dia menyadari kalau aku sering membuka VPN untuk keperluan pribadi. Jangan-jangan dia tahu kalau bekas upilku selalu kutempelkan di tepian meja. Semua kesalahanku langsung terlintas jelas di benakku. Aku jadi panik, padahal sebenarnya tidak terjadi apa-apa.

Aku membuka pintu studio, Mas Ridho menoleh. Nah. Inilah dia saat semua kebenaran akan tersingkap.

"Ndra," kata Mas Ridho berat. Aku langsung terkejut. "Ya, Mas?" kataku sedikit lantang. "Eh," Mas Ridho langsung menaruh dus di bawah kakinya, "Santai aja kali."

Lalu mengangkatnya kembali, "Ini ada mic dan jugaheadphone baru buat kamu." Kata Mas Ridho menaruh dus di meja dan mengeluarkan isinya. Aku lega. "Oalah, tak kirain apa toh, Mas." Kataku dengan nada santai.

"Yah, sebenernya mic nya bukan buat kamu sih, tapi buat stasiun radio ini." Kata Mas Ridho tenang. Ya, ya, terserahlah. "Panggilin Resyana dong, minta tolong suruh bantuin." Kata Mas Ridho yang sibuk mencopot mic dari tempatku biasa bercuap.

Aku? Berbicara pada anak itu? Ingin rasanya menolak, tapi aku tak kuasa. Aku langsung kembali ke ruang tamu dan memfokuskan mataku pada anak itu, yang masih saja bermain HP. Emang dia disini digaji buat main HP? Kok dari tadi gak kerja.

"Eh, Resy," kataku dari ujung sofa. "Apa?" katanya dengan mata tajam seperti biasanya itu. "Kamu dipanggil Mas Ridho," kataku sedikit takut, "Disuruh bantuin katanya." Kataku menunjuk ke studio. Resyana langsung bangkit sambil melayangkan pandangan sinis kepadaku. Padahal kan, aku tidak salah.

Entahlah, aku bingung dengan wanita sejak dulu. Aku segera mengikuti anak ini dari belakang, langsung menuju studio. Resy membuka pintu studio dengan susah payah. Pintu peredam ini memang kalau dilihat baik-baik nyaris menyerupai pintu brankas Paman Gober. Berat sekali kalau sudah tertutup rapat.

Setelah berusaha dan sedikit erangan, akhirnya pintu itu terbuka. Tanpa bantuanku, tentu saja. Dia harus merasakan suka-duka di bangunan ini.

"Mas manggil saya?" kata Resy sopan. Kenapa dia tidak pernah sesopan ke aku? "Iya, sini dong." Kata Mas Ridho yang masih berjongkok dan membereskan barang.

Eh, mungkin bukan barang sih, lebih tepatnya sampah. Resy menghampiri Mas Ridho dan berjongkok juga. Seperti tongkrongan anak-anak muda pinggir jalan. Bedanya adalah satu preman wanita, dan satunya lagi bapak-bapak paruh baya.

"Ya, Mas?" kata Resy. "Kamu, sama Andra tolong buang sampah ini keluar dong." Kata Mas Ridho. "Lah, siaran?" kataku penasaran. "Udah di-taping kok, pake segmen Jakarta." Kata Mas Ridho tersenyum dan mengacungkan jempol. Ooooh.

Aku mengangguk-angguk. Semoga saja gajiku tidak dipotong. Aku langsung mengambil satu kresek sampah di sebelah Mas Ridho, begitu pula dengan Resy. Wah, sepertinya anak ini gercep dah. Tapi ternyata kresek ini berat juga. Oh, Tuhan. Punggungku hampir saja patah. Apalagi Resy, ya kan. Kan dia cewek.

"Berat, Resy?" kataku mencoba sopan. "Iya, berat." Katanya dengan mata memohon ke arahku. Sialan. Jadi kamu mencoba memanipulasi otakku untuk membawa sampahmu sendiri.

"Bantuin dong, Ndra. Kamu kan cowok." Kata Mas Ridho membersihkan bajunya dari sarang laba-laba. Huft. "Iya, deh, iyaa." Kataku malas. Sudah enak hari ini tidak siaran, eh ternyata aku malah menjadi pasukan kuning dadakan.

Apa-apaan ini semua. Ah, sudahlah. Lebih baik aku kerjakan ketimbang bertengkar dengan Mas Ridho, apalagi Resyana ini. Jadilah aku membawa dua kresek sampah ini ke luar. Dimana Mas Joni? Seharusnya aku bisa minta tolong dia juga, ya kan. Sudah kubuang sampai di teras luar, namun batang hidung Mas Joni belum juga terlihat.

Mungkin itulah kenapa tiba-tiba Mas Ridho mengadakan acara bersih-bersih ini, kataku positif saat kembali ke kantor dengan peluh keringat yang deras. Di pintu masuk, Resy terlihat seperti menungguku.

Aku menghampirinya, dan dia menyodorkan selembar tisu basah. "Ini, makasih ya." Katanya malu-malu. "Setahuku, sih," kataku sambil menerima tisu itu, "Orang keringeten gak pernah tuh dikasih tisu basah." Kataku heran.

"Maaf," kata Resy dengan pandangan tajamnya, "Tapi cuman itu yang aku punya." Katanya mengulum bibir. "Gapapa kok," kataku tersenyum, "Aku cuman bercanda aja." Padahal aku sama sekali tidak bercanda. Sudahlah.

Lebih baik kembali ke studio dan meneruskan kerja rodi ini. Semakin cepat selesai, semakin cepat aku bisa mandi dan pulang. Ternyata Mas Ridho sudah di ruang tamu,

"Eh, Ndra." Teriaknya dari jauh sambil berjongkok, di sebelahnya bertebaran kresek-kresek yang familiar. "Iya, iya, Mas. Tak buang kok." Kataku berlari kecil. Aku berjongkok dan mengambil kresek-kresek itu dengan kedua tanganku. Sebuah tangan kecil menghentikan langkahku.

Aku menoleh. Ternyata itu tangan Resyana. "Eummm...." kataku terheran-heran. Ini bukan FTV. Judul FTV mana yang dimulai dengan kresek sampah? "Sini, aku bantuin." Kata Resy dengan wajah semerah stroberi.

Aku terbelalak. Bisa ramah juga ya orang ini ternyata. "Boleh, nih." Kataku menyodorkan kresek yang paling ringan. "Mantap banget Resy!" kata Mas Ridho mengacungkan jari jempol. Resyana hanya mengangguk dan tersenyum. Kenapa hanya ada kita bertiga di bangunan ini? Emangnya hari ini jadwal piket? Gerutuku sambil melangkah ke luar, membuang sampah itu ke teras.

Aku menengadah ke jalan raya dan melihat ke kiri dan kanan. Sialan. Tidak ada siapa-siapa. Apa iya seharian ini akan dihabiskan dengan perbudakan. "Kenapa?" kata Resy sambil mendongakkan kepala. "Ah gapapa kok." Kataku dengan senyum setengah hati.

Resy memicingkan mata sebentar, lalu kembali ke ruang tamu. Aku melihat ke jalan raya sekali lagi. Sepertinya memang tidak ada siapa-siapa. Mau itu Mas Joni, Made, Chrisjul, bahkan Jerry yang paling rajin datang sekalipun tidak tampak hari ini. Hmm. Aku mengusap keringat di mukaku, lalu kembali ke ruang tamu. Sepertinya seharian ini akan menjadi hari yang sangat menyebalkan.

"Jadi..." suara sedikit senyap muncul dari belakangku, "Kamu gimana?" kata Resyana tertunduk, namun tetap dengan mata tajamnya ke arahku. Namun mata yang tidak lagi jahat, lebih pengertian sekarang.

"Maksdunya?" kataku menunduk juga, berusaha mengimbangi tingginya yang pendek. "Euh..." Resy menunduk lebih dalam lagi, "Kamu gimana belakangan ini?" katanya dengan muka dengan merah padam. Wah. Insting jahilku bergerak tak karuan.

"Kenapa?" kataku tersenyum jahil. "Ndra!" kata Mas Ridho dari dalam. Kita berdua menoleh, dan melihat sesosok orang yang menyuruh kami ke sana – dengan muka yang tampaknya siap melahap orang bulat-bulat. Yah, sayang sekali percakapan kami harus ditunda dini pikirku sembari berlari-lari kecil ke ruang tamu.

Tapi, ya, sudahlah. Yang tidak aku tahu adalah, kita melanjutkan hari ini – ya,bertiga saja – hanya membersihkan stasiun radio ini, yang ternyata, sangat-sangat kotor.

Hah. Napas beratku terhalang oleh keringat yang sampai masuk ke lubang hidungku. Langsung ku usap bersih sebelum orang lain melihat. Hih. Jijik sekali. "Capek?" kata Mas Ridho. Haha. Pertanyaan lucu.

"Ah, enggak kok mas." Kataku tersenyum licik, menyembunyikan beribu pikiran terselubung ini. Aku melihat Resyana yang sibuk mengganti air di tangki ikan di ruang tamu. Aku ingat, dari tahun-tahunku di sini, ikannya selalu satu dari dulu. Entah diganti tiap malam atau ikan itu survivor sejati di dunia kaca itu, hanya Tuhan yang tahu.

Kita bertiga sudah berpeluh keringat di sini, sekarang yang aku harapkan hanya es dingin – atau apapun lah yang dingin. Kerongkonganku menyimpan dahaga luar biasa. Aku melongok ke pintu dekat gerbang masuk, dan berpuluh-puluh kardus dengan barang tidak berguna tertumpuk di dalamnya. Ahh. Rasanya seluruh bangunan ini sekarang dibersihkan dari cengkeraman setan alas.

"Mas," kataku melangkah ke studio, melihat Mas Ridho dan Resyana yang berjongkok mencari sampah, persis seperti kerja bakti dulu semasa SD. Keduanya menoleh. "Gak capek ta? Istirahat dulu kek." Kataku memasang muka mupeng. Resyana tersenyum simpul. Baru pertama kali aku lihat manusia ini tersenyum. Lain halnya dengan Mas Ridho yang mukanya malah tambah kusut.

"Okelah," kata Mas Ridho sambil bangkit berdiri, "Kamu mau beli makan?" kata Mas Ridho membersihkan bajunya. Terhitung sudah tujuh kali dia membersihkan bajunya hari ini.

"Makan apa ya Mas?" kataku mengambil tasku di studio, "Resy?" aku menoleh ke anak itu. "Ya?" kata Resy terkaget. Sepertinya Resyana ini pemalu, "Kamu mau makan apa?" lanjutku meringkasi barang-barangku ke tas dan menyematkan tas selempang itu ke bahuku.

"Ummm...." pikir Resy keras. Oh iya, dia kan cewek. Disuruh makan mah biasanya sulit kalau cewek. "Apapun deh." Katanya tersenyum. Nah. Jawabannya sudah tertebak.

"Soto aja gimana?" kata Mas Ridho meluruskan percakapan kita yang tidak terarah. "Boleeeeeeh." Kataku malas, hanya ingin mengisi lambungku dan pulang sesegera mungkin. Remuk sudah badanku ini dengan semua perbudakan hari ini.

"Eh," kata Resyana. "Aku naik gojek ya." Katanya pelan sembari membuka HP. Kita berdua – aku dan Mas Ridho – bertatap-tatapan. "Gak usah, Resy." Kata Mas Ridho, "Kamu ikut Andra aja." Kata Mas Ridho tersenyum sambil melirik ke arahku. Lah. Sialan.

Siapa yang ngasih jawaban, siapa yang tanggungjawab ini? Kok jadi aku? Aku menaikkan alis, sayangnya tatapan Mas Ridho membuat aku berkata dengan suara berat, "Oke deh." "Sip!" kata Mas Ridho menepuk-nepuk pundakku.

Ah, sudahlah. Yang penting kita makan dulu, pikirku mencoba positif. "Kalian duluan ya," kata Mas Ridho, "aku beres-beres studio dulu." Kata Mas Ridho tersenyum dan mengacungkan jempol.

Aku tersenyum balik. Setelah apapun itu yang terjadi, kita pasti menyadari di akhir hari, Mas Ridho adalah pemimpin yang baik. Nyaris seperti keluarga sendiri, dan aku yakin Resyana pasti berpikir hal yang sama. Aku memijit bahuku dan bergerak menuju pintu keluar.

"Eh," kata Resyana dari belakang, "Makasih banget ya." Katanya tertunduk dengan muka merah padam. "Iya," kataku menahan diri mengatakan sesuatu yang jahil, "Gapapa kok. Santai aja." Kataku melanjutkan langkah kakiku menuju pintu keluar. Perut ini sudah tidak bisa lagi diajak kompromi.

Aku menduduki vespa tersayangku ini dan mengangkat standarnya, menapakkan kakiku menahan vespa dan menstarternya. "Ayo naik," kataku menoleh ke Resy. "Eh," katanya bingung, "Helm?" katanya sedikit panik.

"Udah, gak usah. Ayo cepetan naik gih." Resy langsung menaiki belakang sadel vespaku, dengan pose cewek yang paling sopan. "Pegangan ya." Kataku sengaja menjahili.

Aku merasakan ada sepasang tangan di pinggangku. Lah. Dia ternyata berpegangan sungguh. Ah, sudahlah. Kita berangkat, mengikuti Mas Ridho yang sudah sedari tadi menunggu di depan dengan sepeda motornya. Jalanan Surabaya tampak begitu lengang hari ini. "Gimana? Enak?" kataku menoleh ke Resy. "Butut sih motornya," katanya tersenyum.

Aku tertawa terbahak-bahak. Kurangajar sekali bocah satu ini. "Heh," kataku sambil tersenyum, "Kamu tahu gak ini harganya berapa?" "Yah, kan butut. Jadi pasti murah." Katanya lagi sambil tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. "Kurangajar ya kamu!" kataku sambil tersenyum, "Turun sini kamu!" kataku sambil memperlambat vespaku, menjahili anak ini lebih lanjut.

Ternyata di luar dugaan, dia jahil juga ya."Iya, iya," katanya menepuk pundakku, "Maaf." Aku bisa mendengar gelak tawa yang ditahan di sela kata-katanya. Ah, sore yang indah. Gelak tawa memenuhi seluruh jalanan yang lengang ini, dan angin yang berhembus seolah menyatu dengan suara vespa yang bising.

Aku tidak mengingat banyak tentang perutku yang kelaparan setelah itu, hanya perjalanan yang kita jalani saja. Sebegitu indahnya momen ini, aku sempat berpikir kalau mungkin vespaku memang butut di mata orang lain. Ah, indahnya menjadi orang jahil.

"Soal yang dulu, kamu masih inget gak?" Waduh. Kok aku tidak mengingat apa-apa ya. "Yang mana ya?" kataku tersentak, "Maksudnya, kamu ngomonginapa?" kataku cepat-cepat meralat ucapanku. "Itu," katanya mendekatkan kepalanya ke helmku, "Aku minta tolong kamu bantuin karya seniku."

Hah. Itu kapan ya? "Ooh," kataku berlagak, "Iya. Aku ingat kok. Kenapa?" kataku membalas ucapannya, walaupun aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. "Besok bantuin ya, setelah kamu siaran." Katanya tersenyum manis. "Euh," aku berpikir sejenak. "Boleh?" kataku pelan. "Oke," kata Resy, "Thankyou banyak ya." Katanya memijit punggungku.

Anak ini tidak cocok menjadi tukang pijat. Jari-jarinya terlalu ringkih. Sore ini berkembang, mengalur dan mengalir ke mana-mana. Semoga saja aku tidak membuat keputusan yang salah kali ini.