'TEEET!' Ahhhh. Alarm sialan itu lagi. Sudah kesekian kalinya aku terbangun dengan mood yang tidak karuan karena suara menyebalkan itu. 'TEEET!' Ugh. Rambutku yang sudah panjang dan tidak karuan membuatku secara teknis buta. Aku mengibaskan rambutku ke samping, dan mencari alarm sialan itu. 'TEEET!' Di samping ranjang, tentu saja. Kenapa aku sebodoh ini? 'TEE – ' Fyuh. Akhirnya semua sport jantung ini mereda.
Dan kembali rambut sialan ini mengacaukan pandanganku lagi. Aku harus sesegera mungkin memotong rambut gila ini. Aku terduduk si tepian ranjang, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Semua seperti mimpi saja, datang dan pergi begitu cepat. Aku bahkan tidak menyadari apa yang aku lakukan semalam tadi, tapi pastinya sesuatu yang teramat sangat penting, karena sekarang aku terjebak dengan ingatan malam kemarin.
Apakah aku terlibat dalam sebuah insiden? Apakah sekarang sudah tahun 3000? Apakah Indonesia mempunyai armada pesawat laser sekarang? Apakah? Apakah? Banyak sekali pertanyaan di otakku. Ugh. Pagi ini memuakkan.
'Brrrrmmmmm' Brrtttttt....' bunyi fals motor vespaku ini saat kuparkir tepat di bawah plakat YoungFreeWild FM. Pagi ini diisi dengan berbagai keanehan yang kupikir akan kujadikan materiku berbicara saja. Seperti kata orang bijak, sambil menyelam minum air.
"Pagi, Mas Jon." Ucapku diabaikan begitu saja olehnya yang terpaku ke layar dengan mobile game-nya itu. Aku merasa paling tua sendiri sepertinya di sini. Aku melangkah masuk, ada Made rupanya. Dan Chrisjul, pula Jerry.
Dan seperti biasa, Mas Ridho yang selalu saja mondar-mandir dengan HPnya. Wah, full team ini. Cocok buat main futsal. Aku langsung saja menyapa semuanya sembari sekelebat masuk studio.
"Eh,Ndra!" kata Mas Ridho tiba-tiba. Membuyarkan tingkah semua orang di ruang tamu. Termasuk saya, yang bersangkutan. Aku kembali menuju Mas Ridho. "Kita ada anak magang baru nih!" kata Mas Ridho sumringah. Ingin sekali aku menegurnya bahwa telepon di HPnya belum putus.
"Siapa mas?" kataku ingin tahu. "Ada deh, besok datengnya. Pokoknya cewek." Katanya lagi tersenyum. Aku juga tersenyum. Sudah saatnya kandang singa ini butuh sentuhan wanita.
"Itu aja, mas? Aku tak langsung rekaman lek gitu." Kataku menunjuk ruang studio yang tampak supergelap dari luar. Persis ruang sakit jiwa di Menur.
"Iya, itu aja. Tak kira kamu bakal seneng apa gitu," Mas Ridho menepuk pundakku, "Soalnya kan kamu jomblo." 'Tasss.' Bunyi sebuah kabel terputus di nadi otakku. Ingin marah, tapi aku sayang masih gaji bulananku. Kuputuskan untuk tersenyum saja, dan langsung melangkah ke studio. Hanya ada satu harapanku.
Dengan adanya anak magang, pasti studio ini tidak akan menjadi sesuram sekarang, dipenuhi dengan laki-laki bau ketiak. Ah, sudahlah. Lebih baik aku langsung bekerja sekarang.
"...Jadi, guys! Di era kayak sekarang ini, jangan kemakansama hoax dan berita-berita palsu yang disebarkan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab ya! Ntar lama-lama, kalian bakal denger hoax kayak Diandra bakalan marriedsama Pevita Pearce, hahaha! Nah itu kan baru hoax, minta maaf nih ya sama semua penggemar Pevita Pearce di luar sana, this is Diandra, and you're listening to YoungFreeWildFM!" aku memencet tombol di sebelah mic.
Lalu beristirahat sebentar. Pikiran-pikiran tentang anak magang besok terus saja menyelimuti pikiranku, membuatku tidak tenang. Aku tahu bahwa dari dulu aku jarang sekali menaruh perhatian pada wanita, jadi seharusnya hal seperti ini tidak menganggu pikiranku, kan? Kenapa aku cemas akan sesuatu yang belum terjadi? Pada orang yang belum aku kenal? Aku beranjak ke dapur sebelum pikiranku menjadi lebih filosofis lagi. Bisa-bisa stasiun radio ini nanti menjadi tempat istirahat biksu nantinya.
Aku berjalan gontai menuju dapur, aku melihat Mas Joni dari kejauhan. Kesempatan baik sepertinya. Aku bisa meminta tolong Mas Joni untuk membuatkan aku secangkir kopi selagi aku mengalihkan pikiranku menuju hal-hal yang lebih berguna. Cicilan motor, misalnya. Vespaku tersayang ini cukup mahal harganya. Dan HP ini juga. Eh, ada notifikasi ternyata.
Yah, semenjak HP ini jarang sekali mendapat pesan dari siapapun, aku mempunyai kebiasaan menonaktifkan semua notifikasi tidak penting dari grup, atau orang yang tidak penting, tapi ini jelas penting. Jika dilihat-lihat, ternyata menyedihkan sekali hidupku ini. Oke, sudah cukup pemikiran pesimis ini. Aku melihat layar HPku yang menyala terang benderang.
Dari Jerry rupanya. 'Ndra, bsk bisa gk temeni aku ke Tunjungan Plaza?' Wah, tumben banget, kataku sembari menuju ke dapur dengan perlahan, dan menyadari ternyata Mas Joni sudah tidak di dapur. Sialan.
Berarti aku harus membuat kopiku sendiri. Semua ini salah Jerry. Aku mendengus sambil membuka kabinet di dapur. Hmm. Hanya tinggal satu sachet kopi di sini. Sepertinya kopi di studio ini jauh lebih langka daripada sebongkah emas.
"Mas Ridho?" kataku menengadah ke ruang tamu, mencari Mas Ridho. "Ya, Ndra?" kata Mas Ridho keluar dari toilet dengan muka basah.
"Kopinya tinggal satu...tak pake ya?" kataku menoleh ke dapur. "Monggo, Ndra." Kata Mas Ridho sembari mengangguk. "Cuman kamu yang ganti nanti ya." Lanjut Mas Ridho sambil tersenyum. Hahaha. Lucu sekali. Mas Ridho tetap tersenyum.
"Betulan Mas?" kataku terbelalak. "Loh ya iya, betulan ini." Kata Mas Ridho serius. Padahal baru kali ini saja aku sempat mencicipi fasilitas stasiun radio ini dan aku sudah dipalak. Ah, sudahlah.
Lebih baik segera aku seduh kopinya, karena sebentar lagi aku harus broadcast. Kengerian akan amarah Mas Ridho kalau aku telat broadcast lebih mengerikan dari harga sesachet kopi. Oh, rumitnya hari ini.
Aku beranjak ke dapur sambil melihat jam tanganku. Ternyata sudah waktunya untuk siaran. Aku rasa menyeduh kopi bisa nanti saja sepertinya. Aku melangkahkan kakiku menuju studio dengan membayangkan aroma kopi yang manis dan kehangatannya yang hakiki.
Semakin aku memikirkannya, semakin geram saja jadinya aku ini. Lebih baik aku memikirkan sesuatu yang lain. Kopi yang lain. Oh iya, sudah beberapa waktu aku tidak pergi ke kafe dengan cewek manis itu. Mungkin setelah kerja aku bisa pergi ke sana sejenak untuk melepas penatku hari ini.
Aku kembali menuju studio. Hari sudah hampir sore dan tenagaku nyaris habis seharian ini. Aku duduk dan menekan tombol di sebelah mic,
"Halo guys, back again with Diandra and this is YoungFreeWildFM! Buat kalian yang lagi nyari buku nih guys, mau itu komik, novel atau buku apapun itu, minggu depan bakalan ada Big Bad Wolf di Surabaya! Apa itu Big Bad Wolf? Big Bad Wolf adalah acara buku dimana kalian bisa beli buku super duper bagus dengan harga yang miring, guys! So don't miss it ya, acaranya bakal diadain weekend di lantai 6 di Galaxy Mall seharian penuh! Berhubung hari sudah semakin sore, Diandra harus pulang nih! Setelah ini kalian bakal dengerin salah satu lagu classic, yaitu Elvis Presley, Can't Help Falling In Love! This is Diandra, coming to you live from YoungFreeWild FM, bye-bye guys!" Aku mengalihkan diri dari mic, dan bernapas sebentar. Fyuh.
Aku mengecek HPku. Oh, iya. Jerry memintaku untuk menemuinya. Aku harus bilang kalau aku tidak bisa. 'Sorry ya Jer, aku gk bs. Cpk bgt ini hehe.' Sent.
Aku harap Jerry mengerti. Aku sangat capek dengan semua kejadian hari ini, dan hanya kopi yang bisa membuatku menjalani hari esok lagi. Ngomong-ngomong, katanya bakalan ada anak magang? Kok tidak ada siapa-siapa sampai sekarang? Wah, Mas RIdho nyebarin hoax ini. Berarti beliau tidak cocok menjadi politikus. Aku keluar meninggalkan studio dan beranjak menuju ke vespaku yang kuparkir di tempat sehari-hari.
"Pulang semua!" seruku di ruang tamu, semuanya hanya mengacungkan jempol. Tidak terkecuali Mas Joni, yang aku lihat sedang menyeduh kopi di dapur. Tunggu dulu. Kenapa bisa ada kopi di dapur? Ah, tidak tahulah.
Lebih baik aku pulang sebelum kepalaku meletup. Aku mengeluarkan kunci kontak dari celana jeansku, dan menggeber vespaku cepat-cepat menuju tempat kopi yang sunyi itu.
Malam telah menggantikan sore yang penuh peluh ini, dan aku memarkir vespaku tepat di pojok tempat parkir di depan sebuah bangunan bertuliskan 'Kafe Roemah'. Aku melihat jam di HPku. Selain jam yang terpampang besar-besar bertuliskan 6.08, ada notifikasi dari Jerry yang sepertinya sedang bersungut-sungut.
Aku tersenyum, bukannya anak itu selalu bersungut-sungut? Ah. Nikmat sekali melihat dia menderita sekali-kali. Aku melangkahkan kakiku memasuki kafe ini.
"Permisi," ujarku pelan sembari membuka pintu kayu besar ini. 'Kriieeeet,' bunyi engsel pintu ini keras sekali, mengalahkan suaraku malah. "Ya?" Sesosok cewek mungil tampak menoleh ke arahku. Dan tersenyum. Aku tersenyum simpul dan langsung duduk di tepian kafe, tepat di sebelah jendela.
"Capek ya hari ini?" kata Chelsea, sembari tersenyum lebar dan berlari kecil menuju arahku. "Yah..." kataku sambil melepas jaket, "Begitulah. Kopi hitam satu ya." Kataku menghela napas panjang.
"Beres!" balas Chelsea keras. Aku yakin dia pasti capek juga seharusnya. Dia bekerja di dua tempat berbeda dan masih bisa bersikap baik pada orang asing. Aku iri padanya.
Aku mengeluarkan laptop dari tas selempangku dan melemparkan jaketku ke kursi di depanku. Ah, capek sekali rasanya hari ini. Terdengar suara tidak asing. Dan bau tanah. Aku melongok ke luar. Benar saja, di luar nampaknya akan hujan deras.
Untunglah aku sudah berada di ruangan tertutup. Suara langkah kecil terdengar dari seberang ruangan. Chelsea sedang berjinjit untuk menyalakan radio. Dan melompat. Dan mencoba menggunakan sapu untuk menyalakan radio, lalu dia menoleh ke arahku. Sepertinya anak pendek itu membutuhkan bantuan. Aku beranjak dari kursiku,
"Gimana? Nyampek?" kataku menyindir. "Yah, seperti yang kamu lihat." Balasnya terengah-engah. Kasihan sekali wanita pendek ini. Aku lalu berjinjit sedikit dan menyalakan radio. Suara hujan di luar semakin deras. Tidak mau kalah, aku menaikkan suara di radio.
"Kenceng banget." kata Chelsea menyindir. "Soalnya hujan di luar. Ya kan?" kataku membersihkan bajuku yang berdebu akibat rak radio itu sambil menaikkan satu alis. Chelsea mengangguk, lalu kembali ke dapur.
Aku melihat ke sekitar. Seperti terakhir kali aku ke sini, tidak ada orang sama sekali. Hmm. Apakah aku terlalu malam? Aku berpikir keras sambil melangkahkan kakiku kembali menuju kursiku tadi. Hujan yang deras ini kentara sekali mengguyur vespaku tercinta di luar. Sialan. Aku membuka Photoshop di laptopku, dan membuka Pinterest di HPku.
Pun aku mengeluarkan sebuah buku gambar kecil dari tasku. Hari ini nampaknya sangat indah sekali ditutup dengan secangkir kopi hangat. Belum selesai aku berpikir, tiba-tiba langkah kecil tadi terdengar lagi. Lebih keras lagi dan emnuju ke arahku.
"Sudah jadi!" teriak Chelsea sambil membawa baki berisikan satu kopi hitam yang hangat. Ahh, nikmat sekali aromanya. Chelsea tampak melihat-lihat semua barang yang aku bawa. "Aku boleh duduk?" katanya manis sembari tersenyum.
Aku mengangguk. "Kenapa tidak? Hujan-hujan gini, enak banget ditemenin." Kataku seraya mengambil pensil dari kotak pensil, menggambar sketsa di buku gambarku. "Kamu bikinapa?" tanya Chelsea lagi, menaruh lengannya di mana-mana, menyentuh semua barangku.
"Aku," kataku mengambil jeda, "Aku lagi buat sketsa poster." Kataku menggariskan pensilku lagi di buku gambarku. Sepertinya sketsanya sudah separuh jadi. Aku mengambil kopi yang masih duduk manis di sebelahku. Masih panas sepertinya. Aku menyebul kopi ini pelan-pelan, lalu meminumnya.
"Wah, kamu punya banyak barang bagus ya." Kata Chelsea terkagum. Aku hanya menaikkan alis sambil meminum kopiku. "Ahh, enak sekali kopinya." Kataku lega sambil tersenyum.
Bahkan mulutku mengeluarkan uap panas. Hangat sekali di sini. Aku bahkan sudah melupakan suara hujan di luar, tergantikan oleh suara-suara yang kami buat dan radio yang sedari tadi mengalun sendu. Chelsea masih saja asyik mengobrak-abrik barangnya. Aku pikir itu lucu. Apalah hari hujan ini tanpa teman untuk menemaniku di kala malam tiba.
"Tolong jangan memvandalisme barang saya, plis." Kataku sambil tersenyum kecil, geli melihat tingkah lakunya. "Eh, maap. Hehe." Kata Chelsea tersentak, langsung menarik kedua tangannya yang sedari tadi asyik itu dari meja.
"Soalnya seru banget, sih. Ada banyak barang yang keren." Katanya sambil memegang pensil 8B milikku. Jangan-jangan dia mengira kalau pensil itu untuk alis. "Itu bukan untuk alis, lho." Kataku menunjuk pensil yang dia pegang. "Tapi bisa dipake kan?" katanya tersenyum jahil.
"Bisa," kataku mengangguk sambil mengalihkan pandanganku ke layar laptop. "Tapi alismu bakalan sebelas-duabelas sama ulat bulu." "Waah," kata Chelsea berbisik, takjub.
Aku bingung. Apa yang keren dari semua barang ini? Toh, ya semua barang ini serumpun dengan alat tulis kantor. Hanya saja agak lebih mahal sedikit. "Daripada ngerusak, mending kamu bantuin aku deh." Kataku berpaling ke Chelsea.
Dia mengangguk. Sepertinya nganggur banget anak ini. Toh, tak apalah. Dia bisa membantuku. Baik sekali anaknya. "Aku butuh opini buat posterku." Kataku meyilangkan tangan di meja.
"Bagus, kok." Balas Chelsea sedikit berteriak. "Belum juga diliat." Kataku sambil bernapas panjang. "Apapun yang kamu buat, pasti bagus dimataku." Katanya tersenyum. Wah, baik sekali Chelsea ini.
"Karena mataku jelek." Katanya lagi, tersenyum. Lah. Kurangajar sekali makhluk satu ini. Ya, sudahlah. Opini apapun akan jauh lebih bagus daripada tidak ada sama sekali. Aku memutar laptopku ke arahnya. "Hmm," ujarnya mengernyitkan dahi.
Entah kenapa, jantungku jadi dag-dig-dug menunggu jawabannya. Apakah ini cinta? Tentu saja bukan. Aku hanya takut desainku dianggap jelek. "Hmmm," lanjutnya, masih mengernyitkan dahi. Gusti, lama sekali anak ini. Jangan-jangan dia lemot.
"Jadi? Gimana?" kataku mendekatkan kursiku ke arahnya. "Hmmmmm," dia semakin mengernyitkan dahinya. Dan seluruh mukanya. Mirip Gollum di Lord of the Rings. 2 menit berlalu dan dia masih berpikir keras. "Bagus kok." Katanya tersenyum ke mukaku. Fyuh.
Syukurlah. Aku menghela napas panjang. "Oke..." aku masih tersenyum dan mengambil napas, "Makasih banyak ya. Opinimu berharga banget buat aku." Aku mengmabil kopi yang mulai menghangat di meja dan menyeruputnya pelan-pelan. "Sama-sama." Balas Chelsea dengan nada riang. Hujan nampaknya masih saja deras di luar, menyisakan kami dengan ribuan pertanyaan untuk digali.
"Kamu udah lama kerja di sini?" kataku serius. "Sebenernya sih...." katanya sembari mengikat rambutnya,
"Ini kafe milik ayahku." Lanjutnya menyibak poninya ke belakang. "Sudah bertahun-tahun aku kerja di sini," dia berkata dengan lirih. Lalu jeda sejenak. "Semenjak papaku pergi, aku hanya bisa menjaga kafe ini. Hanya ini warisan dari papaku." Katanya mencoba tersenyum. Aku terdiam.
"Maaf, ya," kataku menundukkan kepala, "Aku gak seharusnya tanya itu." "Gapapa kok." Tandas Chelsea tiba-tiba. Mukanya menyiratkan raut muka orang yang lega.
"Semenjak papaku pergi, mamaku bekerja sendirian sejak aku kecil..." katanya mengalihkan pandangan ke jendela luar, melihat bulir-bulir hujan yang mengalun deras di tepian jendela, "Dan ini mungkin pertama kalinya ada seseorang yang bener-bener peduli dengan hidupku....dengan kafeku ini." Dia mengelus meja dan vas di depannya. Sepertinya dia benar-benar mencintai tempat ini dengan sepenuh hati.
"Lalu? Kamu gimana?" lanjutnya melihat ke arahku, "Sudah lama menjadi penyiar radio?" ujarnya menocba tersenyum. Aku terdiam sejenak, lalu memikirkan kapan karirku ini sebenarnya dimulai. "Aku...sudah," aku terdiam lalu mengernyitkan dahi, "Mungkin sekitar tiga tahunan menjadi penyiar." Kataku menopangkan tangan ke dagu.
"Sebelumnya aku seoarng mahasiswa," aku tersenyum sebentar. "Dan itu merupakan saat-saat paling bahagia di hidupku," Aku melihat Chelsea mendengarkan semakin dalam. Semakin terserap masuk. "Sampai kedua orangtuaku – mereka meninggal – dalam kecelakaan." Aku mencoba menahan emosiku. Meredam tangis yang hampir menunjukkan diri di wajahku.
"Kakakku, semuanya mendadak pergi." "Beberapa menikah, beberapa lainnya melarikan diri," kataku semakin terbata-bata. Tanpa aku sadari, setetes air mata jatuh di pipiku, dan tangisanku nyaris tak terbendung lagi. "Lalu, semua – semua, mereka, pergi, lalu aku, cuman, aku cuman," aku seketika menangis. Luka lama ini akhirnya terbuka kembali. Sayup-sayup terdengar suara mamaku dari kejauhan. Teriakan semua orang yang aku sayang. Lalu semua itu menghilang begitu saja. Lenyap.
Aku masih ingat hari-hari aku mendengar mereka kecelakaan. Betapa aku menangis berhari-hari, menyusuri setiap sudut rumahku dan menangisi ketiadaan mereka. Di dapur, tak lagi kutemui mamaku yang marah saat bungkus-bungkus kopi dan mie instan tidak dibereskan. Di kamar tidur, kukoyak semua barang. Kasur. Lemari. Semuanya. Tak ada lagi mamaku yang marah melihat kamarku yang berantakan. Semuanya pergi. Semuanya hilang.
Aku rindu amarah mereka. Aku rindu pelukan mereka. Aku rindu semuanya tentang mereka. Di tengah suara hujan dan petir yang menggelegar ini, mengingatkan aku tentang mereka. Alunan musik di radio dan sentuhan hangat tangan Chelsea di pundakku, sayup-sayup kudengar suara untuk menenangkanku. Persis seperti dulu kala. Hari ini merupakan sebuah berkat, dan bencana....semua tergabung menjadi satu.