Chereads / The Broadcast of Live and Love / Chapter 6 - Act 6 The Hatchling Now Becomes A Bird.

Chapter 6 - Act 6 The Hatchling Now Becomes A Bird.

'Hooahhmmm'. Aku ngantuk sekali. Aku terduduk di kasurku yang kotor dan terbangun dengan mata setengah terpejam. Yah, enak sekali rasanya mengambil cuti sekali-kali.

Aku harus memanfaatkan waktu luangku yang terbatas ini dengan berjalan-jalan di taman. Mungkin saja aku bisa kepincutsama cewek cantik, kaya dan religius. Terbayang sudah entrance-entrance ala FTV terputar jelas di kepalaku. Aku berjogging ria, saat seorang cewek tepat di depanku terjatuh.

"Ah!" desahnya manja, lalu terjatuh di pelukanku. Lalu segala sesuatunya menjadi pelan.

"Kamu tidak apa-apa?" kataku dengan suara berat dan muka fokus, bulir-bulir keringat mengalir di tulang pipiku yang tinggi. Dia menyentuh wajahku perlahan.

"TEEEET!!" "TEEEET!!" Deg. Hatiku langsung berdegup cepat. Sialan. Siapa sangka bangun pagi menjadi sebuah acara sport jantung. Aku benar-benar terbangun sekarang. "TEEET!!" "TEEE—" Ah, selamat tinggal mimpiku yang indah. Seharusnya aku tidak membiarkan semuanya menjadi sia-sia, karena mungkin mimpi itu bisa saja menjadi kenyataan.

Saatnya bersolek ria dan menikmati sisa liburanku pagi hari ini. Aku berjalan pelan ke arah lemari. Ada sebuah hanger dengan t-shirt yang belum dicuci dengan kertas harga yang belum dilepas. Sebuah t-shirt dengan sablon besar bertuliskan, 'I Am A Graphic Designer.' Sudah berapa hari barang ini ada disini? Mumpung libur, lebih baik aku serahkan saja hadiah ini pada Resyana.

Aku membuka HP. Jarang sekali ada chat wanita di telepon genggam ini. 'Resy, bisa ketemuan gak hari ini? Aku ada hadiah buat kamu.' Ummm. Rasanya ada sesuatu yang kurang di chat ini. Emoticon? Picture hadiahnya sendiri? Pap? Ah, sudahlah.

Lebih baik aku bergegas mandi. Saat aku mengambil handuk, di saat itulah HPku bergetar. Sebuah momen yang mengubah seluruh hariku yang seharusnya menyenangkan.

Aku menyalakan keran air panas. Terbayang jelas di kepalaku sebuah hari yang menyenangkan. Itu, sampai aku benar-benar merasakan saat sebuah gayung berisikan air super panas mendarat di kepalaku. Aku sampai bisa mendengar bunyi 'cssss' saat air itu menyentuh tanah. Gusti, panas sekali.

Aku hanya bisa terdiam untuk merasakan semilir angin mendinginkan tubuhku yang seperti baru kembali dari api jahanam neraka. Sialan. Dulu, waktu SD, aku mempunyai trik jitu untuk mengubah air panas menjadi dingin. Yaitu dengan cara mengaduk gayung di bagian bawah bak mandi lalu menggiring airnya ke bagian atas.

Sebagai mantan anak yang pernah mengikuti OSN, ini kalau tidak salah namanya perbedaan temperatur dan tekanan air. Semakin dalam air, temperaturnya akan semakin rendah dan tekanannya semakin tinggi. Ha, science bitch. Oke.

Setelah berkali-kali mengaduk, sepertinya airnya sudah cukup manusiawi untuk disiramkan. Itu juga kalau aku mempunyai tengaga tersisa di lenganku setelah semua olahraga tambahan barusan. Sepertinya lengan kananku sudah nyaris kram.

Aku menghela napas panjang. Lebih baik aku mandi menggunakan tangan kiriku saja. Eugh, sulit sekali! Ternyata mandi seperti ini menguras banyak tenaga dan pikiran. Namun aku pernah membaca di internet kalau melakukan hal shari-hari menggunakan tangan kiri dapat melatih pikiran kita menjadi lebih fokus.

Sepertinya itu berita hoax, buktinya aku terlihat seperti orang mabuk merogoh kuncinya di dompet. Ah, sudahlah. Lebih baik segera kita sudahi semua ini dan memulai kegiatanku.

Kancing empat, kancing lima, dan sudah! Kulihat diriku di cermin dan berpikir, "Ah, betapa gantengnya diriku ini." Jikalau mamaku bisa melihat rupa anaknya, dia pasti bangga. Rambut kekinian rapi dipadankan dengan kemeja kotak-kotak dan celana ripped jeans serta sepatu kets mahal. Walaupun mungkin sepertinya jika mamaku melihat celanaku, dia pasti akan mengira aku habis jatuh terseret sepanjang aspal Kendangsari yang superpanas.

Aku membawa tote bagku yang berisikan laptop dan makanan dan pergi ke salah satu tempat ngafe termurah dan terpencil di Surabaya ini. Ah, indahnya hari ini, pikirku sembari menggeber vespaku cepat-cepat keluar rumah dan menikmati pemandangan pagi hari ini. Sepertinya segala sesuatunya tampak sungguh menyenangkan.

Aku sampai di kafe. Kulihat sejenak ada sesosok orang yang tampak sendirian memegang gitarnya. Tampak asyik sekali sepertinya, kutengok. Tunggu dulu. Sepertinya aku mengenal manusia itu sebelumnya. Yap. Dialah satu-satunya gitaris handal di sekitar sini yang aku tahu, sang Fransiskus Xaverius Made Ketut Sunarya.

"Made!" seruku melambaikan tangan tinggi-tinggi. Made menoleh, tersenyum simpul dan membalas lambaianku. Aku berlari kecil menuju mejanya, dan langsung melempar tote bag ku ke sofa yang berbentuk segi empat ini.

'Duk!' Oh iya. Masih ada laptopku di dalam. Sialan. Aku bergidik sebentar dan langsung duduk di seberang tempat duduk Made.

"Ada laptopmu ya? Kok suaranya keras gitu?" kata Made, tersenyum kecil. Sumpah, anak ini indigo.

"Ah, nggak kok." Kataku tergagap sambil menggaruk-garuk leherku. "Ngomong,ngomong, kamu sendirian aja ta?" kataku tetap tergagap sambil melihat ke Made.

"Iya, nih," katanya menggenjreng gitar. "Lagi cari inspirasi buat laguku, Dra," Katanya menghela napas panjang. "Maklum lah, kan bandku album terakhirnya sekitar tiga tahun lalu. Itu lama banget kan." Katanya dengan nada yang lebih pelan. Kenapa atmosfernya menjadi galau begini? Dua orang laki-laki dewasa dengan atmosfer seperti ini selalu berakhir tidak menyenangkan. Pertama si Chrisjul, sekarang Made. Berikutnya siapa? Mas Joni? Aku mengernyitkan dahiku.

"Kenapa, Dra?" tanya Made sambil menaikkan satu alisnya. "Ah, gapapa kok De." Aku berdeham.

"Kowe wes pesen makan?" kataku kepada Made. Dia mengangguk sambil menyetel gitarnya. Aku melambaikan tangan kepada waiter. Waiter yang berada sekitar 3 meter jauhnya itu langsung berlari kecil menuju meja kami.

"Iya, mas?"ujarnya sembari sedikit ngos-ngosan. Aku jadi sedikit merasa bersalah. "Uh, menunya dong, mas." Kataku. "Ini, mas." Kata waiter itu sigap. Aku membuka daftar menu itu. Wah, boleh juga. Secangkir kopi hitam harganya hanya delapan ribu perak.

"Satu kopi hitam ya mas." Kataku tersenyum. Sepertinya aku tidak salah pilih kafe. Oke, mas. Ditunggu ya." Ujar waiter itu tersenyum padaku dan Made. Kita berdua tersenyum kembali. Made kembali mengutak-atik gitarnya dan berkata, "Eh, Ndra." Aku yang mengecek HP seketika langsung menoleh ke arahnya.

"Aku kan belum pernah bikin official merchandise buat bandku, nih." Katanya tersenyum. Aku bisa melihat ini arahnya kemana. "Uhm," kataku terbatuk,

"Jadi, secara magis, tiba-tiba ada seseorang yang bisa membantu kamu dan kebetulan dia duduk di depanmu." Kataku membaca situasi dengan teliti. Made tersenyum lagi, "Wah." "Cenayang ya kamu." Katanya menuding.

Yah, kenapa tidak? Pikirku. Toh, kesempatan ini bisa menjadi portofolioku berikutnya. Oke, aku terima saja. "Oke, De." Kataku mengacungkan jempol.

"Siiip," katanya memainkan gitar sembari mengacuhkan aku. Sialan. Tiba-tiba muncul penyesalan yang ttadinya tidak ada. Biarlah, jangan sampai hal sepele seperti itu merusak hari cutiku yang indah ini.

Pagi yang indah ini berubah menjadi senja. Waktu berlalu cepat saat kita menikmati diri, tidak terhitung sudah hal-hal yang aku bicarakan dengan Made. Mulai dari politik, influence, sampai argumen mendalam tentang paradoks ayam dan telur. Nikmat sekali rasanya.

"Udah sore nih," kata Made menunjuk matahari sembari telentang di sofanya. Antara dia memberikan info cuaca atau dia mencoba menyuruhku pergi dengan halus. Sepertinya yang kedua.

"Uh, iya, De." Katakumelihat cuaca.Padahal masih siang. "Kamu mau balik?"

"Iya, Dra. Aku ada kerjaan lain." Timpalnya sembari berdiri dari sofanya. "Jangan lupa permintaanku tadi ya," kata Made melangkah ke pintu keluar meninggalkan aku sendiri. Aku hanya mengangguk. Dan aku memesan satu lagi kopi di siang yang cerah ini.

Siang beranjak sore. Dan aku masih saja di sini dengan kopi hitam yang mulai mendingin. Memang benar apa kata orang. Anak indie cenderung diare dan mati muda. Mungkin sudah waktunya aku kembali pulang dan mengerjakan hal-hal yang lain, pikirku sambil menuju kasir.

"Berapa mbak? Tiga kopi hitam." Kataku sambil mengeluarkan dompet dari saku celanaku. "Dua belas ribu, mas." Kata mbak-mbak kasir.

"Dari mana, mas?" lanjut mbak tadi sembari menerima uangku. "Dari rumah, mbak." "Maksud saya, asli mana?" timpal mbaknya sembari tersenyum. Yaelah. Yang rinci kali mbak tanyanya. Eh. Hampir saja pikiranku terucap di lidahku.

"Asli surabaya, mbak." Ujarku pelan. Aku benar-benar harus mengontrol pikiranku belakangan ini. Aku penasaran dengan seluruh hariku ini akan menjadi seperti apa dengan overflowing inspirasi dari suasana kafe ini, dan aku tidak mau inspirasi ini berakhir dengan cepat, jadi aku memberanikan diri bertanya kepada mbaknya,

"Euh, mbak," kataku lirih. "Iya, mas?" kata mbaknya ramah dengan senyuman lebar yang tersungging di wajahnya. Makin menampakkan muka mungilnya. Dan tubuhnya. Dan tangannya. Jika dilihat baik-baik, mbaknya seperti tuyul. Kecil banget.

"Kafe yang lain yang bagus dekat sini di mana ya, mbak?" lanjutku berusaha ramah. Bertanya tentang kompetitor tidak pernah bagus dalam sebuah usaha. Tergambar jelas di otakku jawaban mbaknya,'YA DI SINI MAS!' dengan wajah sok ramah. Ew. Tapi seketika imajinasi itu lenyap.

"Ada kok, mas!" sahut mbaknya sedikit keras. Sepertinya ini sifat aslinya. "Di dekat Wisma Gunung Anyar itu ada sebuah kafe kecil...namanya Kafe Roemah." Katanya cepat sekali. Nyaris mengimbangi Saykoji.

"Harganya murah, kopinya juga enak pol, apalagi suasananya." Kata mbak ini bersemangat. "Wah." Aku terkagum-kagum dengan antusiasme mbak ini. "Alamatnya?" kataku mengeluarkan HP, hendak membuka fitur peta.

"Wiguna Timur, tulis aja nama kafenya mas." Kata mbak tadi dengan senyuman yang sama seperti sebelumnya. "Oke sip." Kataku setelah dengan cepat mengetikkan kafenya dan langsung menemukan arah jalan. Yang seharusnya tidak perlu. Karena hanya berjarak 10 menit saja dari rumahku.

"Ehem!" batuk seseorang. Asalnya dari belakang. Ternyata sudah mengantri 2-3 orang yang hendak membayar.

"Oh, maaf mas! Ini sudah selesai kok!" kataku terhentak. Aku menoleh ke mbak tadi dan tersenyum. Dia tersenyum lagi. Terhitung sudah tiga kali dia tersenyum ke arahku. Sebenarnya orangnya cukup manis.

Aku menggeber vespaku menuju kafe tadi. Semoga saja mbaknya tidak membohongi aku dengan segala cerita bombastis tadi. Tapi sepertinya dia orang yang jujur, dan kita harus selalu mempercayai orang jujur. Aku merapatkan helmku dan melepas standar motor. Untuk sebuah kafe yang jaraknya hanya sekitaran 10 menit, apalah guna peta. Iya kan?

Jadi aku mempercayai instingku dan dan mulai berangkat. Tidak menyadari fakta bahwa aku adalah seorang laki-laki yang terlahir buta arah.

Lurus. Ke kiri. Ke kanan. Ke kanan. Eh, atau kiri? Sialan. Sepertinya aku tersasar. Baterai HPku sudah habis. Langit beranjak gelap. Tidak ada orang di sekeliling gang butut ini. Bagus. Yang aku butuhkan sekarang adalah cerita seram dan aku akan segera menjadi novelis misteri terkenal. Aku melihat lagi ke kanan.

Ternyata sepertinya ada satu toko yang buka. Terang sekali dibandingkan rumah-rumah di sebelahnya. Aku langsung menginjak gass motorku ke sana, toko apapun lebih baik daripada sendiri di gang ini. Mau itu toko bangunan atau toko mobil mewah. Lalu aku melihat plakatnya. Tulisannya 'Kafe Roemah'. Ea dek. Gak dari tadi napa? Langsung aku parkirkan vespaku.

"Permisi," ucapku pelan sembari mengambil tempat duduk di pojok kiri kafe itu. "Iya, silahkan!" jawab seorang karyawati sambil menoleh. Senyum lebar itu tidak pernah keluar dari kepalaku.

Ternyata dia adalah mbak-mbak manis yang tadi. Mimpi apa aku? Aku langsung terduduk di ujung kursi. Penasaran. Bingung. Senang. Semua diaduk menjadi satu. Lagu Payung Teduh yang diputar di radio semakin menggugah semua momen ini. Padahal aku bahkan belum tahu namanya.

"Lho? Mbak yang tadi?" ujarku basa-basi. "Iya, mas." Katanya sembari menyodorkan menu. "Ini kafe milik ayah saya." Katanya lagi sambil menunjuk ke seluruh ruangan.

Aku mengangguk. Ruangannya tidak sebesar kafe sebesar tadi. Mungkin hanya seperempatnya. Tidak banyak dekorasi, tidak banyak hal yang bisa dijadikan perhatian di sini, tidak banyak pengunjung juga. Tempatnya terlihat damai sekali, jika tidak diperkenankan dibilang sepi. Sebenarnya tempat ini boleh juga.

"Jadi? Bagaimana tempatnya?" ujar mbaknya tersenyum. "Bagus. Banget." Kataku sedikit bersemangat.

"Cocok banget buat cari inspirasi." Kataku tersenyum kembali. Dia mengangguk gembira. "Kalau mau pesan apapun, tinggal panggil aku aja ya!" katanya seraya pergi.

"Eh!" kataku membuatnya menoleh kembali. "Aku udah mau pesen kok." Kataku tersenyum. Sepertinya aku tertular dia.

"Oh iya, maaf. Aku langsung nyelonong aja." Ujarnya sambil menepok jidat. "Iya, gapapa kok." "Kopi hitam satu, ya. Gak pake ampas." Kataku pelan, mengikuti irama sendu kafe ini. Mbaknya mencatat pesananku dengan teliti. Lalu mengulanginya.

"Kopi hitam satu tanpa ampas ya." Ya. Masak sih mbak. Coba saya cek lagi. Barangkali aja salah. "Mau tambah lagi?" katanya dengan senyuman khasnya. Sepertinya orang ini tipe orang yang tersenyum saat suka dan duka.

"Sementara ini dulu aja, deh." "Aku mau nanya sesuatu sih." Kataku memperpanjang durasi mbak ini di mejaku. Dia sedikit membungkuk. Aku tergugup. "Nama mbak siapa?" kataku pelan.

"Cieeee!" katanya lantang sekali sambil menuding ke wajahku. Eh. Malu sekali aku. Sumpah, wajahku mungkin sudah berwarna merah berpijar sekarang. Aku memasang muka mupeng. "Ehehehe....bercanda kok." Katanya memegang pundakku. Aku memalingkan muka, berlagak tidak mau tahu. "

Namaku Chelsea. Biasa dipanggil Chelsea." "Emang bedanya dimana ya, kalau boleh tahu?" ujarku sedikit jahil. Dia hanya tersenyum. Di tengah malam ini, suara yang tak diundang datang. 'Tik.' 'Tik.' Semakin keras.Semakin panjang. Semakin banyak.

Kulihat sejenak motorku di luar. Vespaku tersayangku sudah diguyur air hujan secara keroyokan. Sepertinya deras sekali di luar malam ini. Akan dibutuhkan lebih dari secangkir kopi hitam untuk melewati malamku di kafe ini.

Sudah sekitar satu jam berlalu. Suara melankolis dari radio kafe ini diiringi dengan gemeritik hujan membuat malam ini berubah sendu dan sepi. Di tengah kopiku yang tinggal sedikit, hanya buku gambar dan ratusan coretan menemani malamku hari ini. Itu, sampai aku mendengar suara si Chelsea dari kejauhan. Sosok semampai dengan rambut terikat membawa nampan itu memikat sekali. Terutama malam ini dimana tidak terlihat satupun manusia lain.

"Lagi asyik?" tanyanya sambil duduk di depanku. "Gak ganggu, kan?" katanya menaikkan satu alis sembari tersenyum simpul. Aku menggeleng.

"Tidak. Silahkan saja." Kataku sembari menggores kesana kemari dengan pensilku. Tidak terhitung sudah berapa sketsa yang aku buat malam ini. "Kamu lagi gambar apa?" katanya mendekatkan kursinya ke sebelahku. "Sketsa. People mostly." Kataku sedikit bangga – kalau tidak mau dibilang sombong.

"Wah! Berarti kamu bisa gambar aku dong!" serunya bahagia, menepukkan tangan, mirip anjing laut. Tidak sekali-dua kali aku mendapat tawaran seperti ini. Terngiang suara seorang wanita yang dulu pernah menanyakan hal yang sama padaku. Berbalut baju SD dengan senyum yang juga sama manisnya.

"Bisa, kok." Kataku tersenyum. Yah, hitung-hitung kali aja nanti aku bisa menjadi seorang seniman kondangan di Bali gitu. Yang sekali sketsa orang bisa dapat ratusan ribu, ya kan? Chelsea segera berpose. Menopangkan dagu sembari melihat ke jendela. Cantik sekali, sampai aku terpana dibuatnya. Oke, lupakan itu. Aku harus fokus. Fokus. Aku menggoreskan pensilku. Mulai dari dagu. Menuju mata. Tidak terasa sudah setengah jam berlalu. Aku bisa melihat posenya mulai goyah. Satu demi satu. Matanya mulai menoleh ke arahku. Jarinya yang lain mulai mengetuk meja.

"Tolong diam, mbak model." Kataku pelan sambil menjitakkan pensilku ke kepalanya pelan. Chelsea tersenyum, lalu kembali memasang pose jutek. Sayang sekali aku tidak membawa kamera. "Nah." Kataku berbangga hati sambil menambahkan detil terakhir di kelopak matanya. Bagus sekali. Aku bangga dengan karyaku.

"Gimana?" aku segera membalikkan buku sketsaku. "Wah! Bagus banget!" kata Chelsea terkagum-kagum.

Aku sampai turut senang dibuatnya. Jarang sekali dalam hidupku ada seorang wanita yang bisa membuatku gembira seperti ini. Chelsea langsung mengambil buku sketsa dari tanganku. Tampak berbinar terang matanya. Suara radio masih mengalun merdu. Hujan pun masih belum mereda. Tolong lanjutkanlah, dunia. Aku masih ingin di sini lebih lama lagi.