Chereads / The Broadcast of Live and Love / Chapter 4 - Act 4 The Hatchling Learns To Fly; Only to Fail.

Chapter 4 - Act 4 The Hatchling Learns To Fly; Only to Fail.

"Kamu nggak salah?" ujarku terbelalak. Resy hanya terdiam dan melihat ke bawah, "Resyana...aku emang mantan mahasiswa DKV, tapi aku gak yakin โ€“"

"Kalau gak mau bantu, yagak papa!" ujar Resyana tiba-tiba. Aku tersentak. Oh my God, aku udah jadi orang yang jahat banget. Bukan hanya aku sudah merusak karyanya, aku bahkan tidak mau bertanggung jawab.

"Resy? Resy? Aku minta maaf banget yo, aku mau kok tanggung jawab." Balasku pelan sambil mengguncang-guncang badan Resy. Dia terdiam dan menangis. "Aku pasti bantuin kamu sampai kamu dapet nilai bagus...plis,jok nangis po'o," aku mengguncang dia lebih hebat lagi. Entah apakah itu pilihan yang bijaksana.

"Oke. Janji ya." Ujarnya mengacungkan jari kelingkingnya. "Sampai nilaimu bagus. Sampai kamu puas." Ujarku tersenyum hangat. Dia tersenyum kembali. Nampaknya ini pertama kalinya sepanjang aku mengenal Resyana aku melihat dia tersenyum manis.

"Kamu pulang sendiri? Atau...." aku mencoba basa-basi.

"Enggak kok, aku udah pesen Grab." Kata Resy sembari mengecek HPnya. Abang Grabnya sudah dekat ternyata. Sekitar 5 menit lagi.

"Aku minta maaf ya udah kasar banget sama kamu...aku memang kurang peka sama cewek." Aku berkata dengan napas berat. "dan karena aku emang mantan mahasiswa DKV, aku harusnya bisa bantu kamu lebih, bukan malah jadi alasan. Aku minta maaf banget." Lanjutku sambil menoleh ke Resy.

"Terus, apa yang terjadi?" "Maksudnya?" "Kamu mahasiswa DKV. And then what happened?" balasku sambil balik menoleh ke arahku dengan mata sembab bekas tangisannya. Aku terdiam sejenak.

"Kapan-kapan aku ceritain. Itu mobilmu bukan?" kataku sambil menuding ke mobil keluarga waran putih yang berjalan pelan. "Oke. Kamu hutang aku satu cerita ya." Kata Resy sambil tersenyum lagi. Aku mengangguk. Dalam lima menit ini, dia sudah tersenyum lebih banyak daripada berjam-jam pertemuan kita sebelumnya.

Lalu aku termenung, mencoba mengingat sesuatu yang penting. Apakah itu? Aku berpikir keras. Hmmm. Chrisjul!

Sesosok laki-laki modis berjeans sempit dan t-shirt branded serta menenteng kamera memberikanku jari tengahnya dari kejauhan. Aku bisa merasakan auranya yang seperti hendak menelan orang bulat-bulat.

"Nang endi ae koen, pekok?" katanya sembari mendekat ke arahku sembari mendengus. Chrisjul sudah menunggu sekitaran 1 jam untuk kehadiranku. Setia sekali orang ini.

"Maaf. Macet." Padahal jalanan MERR lebih lengang dari biasanya, dan hari ini sepi sekali di Galaxy Mall. Hanya sesekali sinyo-sinyo tajir lewat dengan beragam barang mewahnya dan tante-tante kelewat modis.

"Lain kali lek kowe ngapusi, sing luwe apik po'o." ujarnya melihat langsung kebohonganku.

"Oke. Kita mau ngapain sih hari ini, kok ndadak amat?" ujarku mengalihkan topik pembicaraan.

"Pasti kamu nggak lihat HP," kata Chrisjul menuding. Dan memang benar aku tidak melihat HP.

"Aku butuh model buat clothing line ku dan siapa lagi yang bisa dimintain tolong selain sahabatku tercinta?" ujarnya tersenyum culas.

Dasar serigala licik, menyuruh orang datang ke mall segala buat kek ginian. Di rumahmu sendiri kan bisa. "Bukannya kamu banyak kenalan cowok-cowok ganteng dan tinggi ya?" kataku mencoba skeptis dengan pilihan model yang dia pilih.

"Ada. Tapi semua repot. Dan bayarannya tinggi." Jadi menurut Chrisjul, aku merupakan efisiensi neraca. Kurangajar sekali bocah ini tiap menitnya. Aku mencoba melihat sekeliling yang jauh lebih sepi dari biasanya. Selang beberapa menit malah aku hanya bisa melihat kami berdua.

"Aku tok dewean? Jerry?" kataku melihat sekeliling, mencoba mencari teman berbincang-bincang karena aku malas berbicara dengan Chrisjul.

"Gak ikut. Sibuk katanya. Padahal paling juga cuman maen Overwatch." Ujarnya sambil sibuk mengutak-atik kamera. Ooooh. Andai aku juga di rumah bermain Overwatch. Itu pun juga kalau aku punya gamenya. Menghabiskan ratusan ribu untuk sebuah game itu bukan prioritasku. Mendingan uangnya dibuat beli nasi pecel bungkusan. Bisa dibuat makan satu kompi tentara di Kodim deket rumahku.

"He, ngelamun! Ayo sini," ujar Chrisjul menampar pipiku pelan. Tapi tidak sepelan seperti orang berpacaran. Tapi cukup hangat. Ah, lupakan. Chrisjul berjalan agak cepat menuju ke lift dan memencet tombol naik.

"Sungguh cuman ada aku ini ceritanya?" ujarku masih tidak percaya dengan lidah orang ini.

"Iya, cuman kamu tok." Balas Chrisjul sembari menaruh kamera di tas selempangnya. *Ding!* Suara lift terbuka. Buset. Tidak ada orang. Hanya mbak-mbak berpakaian rapi dan petugas lift.

"Lantai berapa, Mas?" ujar petugas lift ramah.

"Lima, mbak." Tinggi amat, pikirku. Jangan-jangan Chrisjul mau mendorong aku dari balkon karena datang terlambat. Berbagai pikiran negatif muncul di benakku sekarang ini. Lantai demi lantai terbuka namun hanya satu-dua orang yang masuk dan keluar. Mall ini sesepi rumahku saat malam minggu. *Ding!*

"Lantai lima, Mas. Silahkan." Jar petugas lift mempersilahkan kami. Kami berdua tersenyum pada petugasnya dan bergegas keluar. Chrisjul lalu berjalan cepat lagi. Jangan-jangan anak ini mantan atlet Olimpiade. Cepat sekali jalannya. Dan ternyata benar. Dia berhenti di salah satu balkon yang anginnya cukup untuk membuat anak balita melayang tinggi. Chrisjul mengambil sesuatu dari tas selempangnya. Ternyata t-shirt.

Untunglah, karena aku sempat berpikir akan memanjatkan doa seelum anak ini merenggut nyawaku. Ternyata benar saja, dia mengundangku untuk menjadi model t-shirtnya.

"Ndra. Pake yo." Ujarnya memberikan sebuah t-shirt kepadaku. "Dobelin aja. Bajumu gak usah dilepas, soalnya dingin banget di sini." Yakalimas aku lepas baju. Masak iya dua orang laki-laki matang bertelanjang dada di sebuah mall terkemuka. Bisa-bisa diciduk Satpol PP sambil berteriak,

"Hei! Mesum ya?! Mesum ya?!". Aku mengenakan t-shirtnya. Cukup nyaman ternyata. Memang anak ini soal fashion tidak ada bandingannya.

"Oke sip. Langsung aja kamu berpose sok keren di deket situ." Chrisjul menyiapkan kameranya sambil menunjuk salah satu pojokan di balkon. Ada sebuah pohon mungil. Aku tertarik bergaya seperti orangutan, tapi aku tahu Chrisjul akan langsung mencabut nyawaku jika itu terjadi. Lebih baik aku mencoba serius. Mulailah aku bergaya judes bak anak-anak hypebeast yang nongki-nongki di Barat.

"Sip. Sip. Keren." Ujar Chrisjul tiap kali selesai mencekrek aku. Selang sekitar setengah jam kemudian, Chrisjul terlihat puas dan hasil fotonya. Andai aku bisa berkata hal yang sama, tapi angin yang tidak bersahabat dan nyamuk ganas ini berkata sebaliknya. Nyaris anemia sudah diriku ini setelah semua darahku disedot dan suhu tubuhku naik.

"Jul, turun yuk. Dingin bangetnih." Kataku sembari mendekat di salah satu lampu sorot yang kebetulan agak hangat.

"Oh iya. Udah selesai kok. Turun,yuk. Sampe lupa aku." katanya. Lupa katanya. Sudah bosan hidup barangkali anak ini bisa tahan dengan cuaca seperti ini. Kita langsung memencet lift untuk kembali turun ke food junction.

"Keren pol sih. Kayaknya kowe nduwe bakat terpendam sih." Kata Chrisjul tersenyum sambil memegang-megang t-shirtnya yang masih kupakai. Yang punya bakat nih, aku apa bajunya sih? Kok malah aku gagal paham. *Ding!* Petugas lift mempersilahkan kami masuk. Matanya menyiratkan kalau dia memandang kita aneh. Ya pantaslah.

Pulang-pulang aku pake baju lain dan Chrisjul menenteng kamera dengan bahagia sambil sesekali memegang-megang bajunya yang aku pake. Di bagian dada, pula.

Ingin sekali aku berkata pada petugasnya melalui telepati, Saya bukan bintang porno. Saya bukan bintang porno. Saya bukan bintang porno. Kita berdua masuk dan lift tertutup kembali.

"Kemana, mas?" "Food junction, mbak." Karena hanya ada kami bertiga di lift itu, keadaan menjadi sangat merisihkan. Chrisjul masih saja tersenyum melihat hasil fotonya. Aku hanya bisa memalingkan muka. *Ding!* Pintu terbuka dan aku buru-buru keluar. Chrisjul mengikuti dari belakang,

"Eh, cepet amat. Baru juga dibuka." Katanya sedikit tersentak melihat langkah kijangku.

"Iyo. Soale laper aku." Kataku meraba-raba perutku.

"Tenang ae, lur. Aku yang traktir nih." Katanya bangga. Wah. Tumben banget anak ini. Aku sempat ingin merengek untuk dibelikan Pepper Lunch yang harganya aduhai, tapi menilik kebiasaan bocah satu ini, dibelikan satu biji kentang goreng di Doner Kebab pun seharusnya aku bersyukur.

"Uh....oke. Lebih baik kita cari tempat duduk dulu," kataku mencari-cari tempat duduk yang kosong, padahal hampir semuanya kosong. Nyaris tidak ada manusia malah. Lalu aku berpikir sejenak. Bukankah aku bertemu Resyana dalam perjalananku kemari? It would be nice to buy her something as a gift.

"Uh...Jul?" ujarku menepuk pundak Chrisjul. "Hmmm?" dehamnya sambil membawa kentang goreng dari Doner Kebab.

"Aku mau ngomong sesuatu, mumpung kita di sini." Kataku serius. "Oke," ujarnya santai, "Tapi kamu bawain ini semua ke meja kosong ya. Aku mau bayar dulu."

Katanya tersenyum sambil membawakan baki nyaris ke wajahku. Ada 2 buah kentang goreng dan 2 buah ice tea. I should have known. Anak ini lebih pelit dari stereotip orang Tionghoa kebanyakan. Sesampainya di meja, aku berpikir. Aku belum mempunyai kontak Resyana. Apakah ini pilihan yang bijak membelikan sesuatu pada orang yang aku belum dekat dan belum tahu arahnya ke mana? Ah. Sudahlah. Toh, apapun yang tidak jadi kuberikan ke Resyana bisa kuberikan ke mamaku.

"Maap, lama. Soalnya kartu diskonku nyaris ditolak karena kadaluwarsa," ujar Chrisjul senang, "Jadi!" katanya sambil menaruh tangannya di meja dengan keras, "Kamu mau ngomong apa, Ndra?" katanya sambil menaikkan satu alis sambil menatapku dalam-dalam.

"So, there is this girl, andโ€”" belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Chrisjul tersedak makanan. Terbatuk-batuk alay seperi bintang obat batuk. Kurangajar sekali anak ini.

"Sek, sek, sek!" katanya sambil menyetop aku berbicara lebih lanjut, "Seorang Diandra bicara cewek?" katanya tersenyum picik, "Tumbenan kowe? Tak kiro doyan lanang kowe?" Chrisjul menyelesaikan kalimatnya lalu menaruh sesuap kentang goreng ke mulutnya dengan lahap.

"Aku lho belum selesai ngomong," kataku sedikit menggeram. Chrisjul hanya bisa mengangguk-angguk sambil melanjutkan makannya.

"Jadi, cewek ini," ujarku sambil bernapas dalam-dalam, berharap dia tidak akan memutus omonganku lagi. "...aku hutang budi sama cewek ini, aku udah ngelakuin sebuah kesalahan dan aku mikir kalau aku bisa menebusnya dengan sesuatu, gitu. Something special?" kataku menaikkan bahu, berharap anak ini paham.

Seharusnya dia paham. Seorang fotografer keren dengan puluhan panggilan job, menggunakan bajunya dengan stylish dan bergaya ramput kekinian. Aku berbicara dengan orang yang tepat untuk masalahku ini.

"Gini lho, Ndra..." katanya memantapkan posisi duduknya. Aku menyimak dengan seksama. "Cewek itu gak suka diberi hadiah maaf...." katanya serius, "karena itu berarti sebelumnya mereka membuat kesalahan sampai harus dimaafin." Lanjut Chrisjul. "Cari momentumnya....bisa waktu ultah, kek. Waktu kalian jalan bareng, kek. Anytime. Kamu cuman harus ngasah instingmu aja. Karena jadi cowok romantis itu bukan bakat, tapi hasil kerja keras." Lanjutnya sembari bersandar di kursi.

"Dan kalo dia sayang kamu, harusnya dia sayang kamu apa adanya. Ya kowe sing saiki iki." Aku berpikir. Hmm. Hmm. Chrisjul benar juga.

"Bener juga yo, Jul. Berarti yang bener adalah aku harus nunggu waktu yang tepat?" kataku menanyakan kepastian pilihan yang pelik ini.

"Ya. Pinter." Katanya tersenyum licik. Kurangajar anak ini. Pasti dia mengejek aku. "Emange kowe meh tuku opo?" lanjut Chrisjul. "Nah. Itu dia masalahnya."

Sudah berjam-jam kita menyisir mall ini, dan aku belum juga menemukan hadiah yang tepat untuk Resyana. Baju? Takut salah ukuran. Tas? Iya kalau itu gayanya. Parfum? Aku yang nyium aja bingung, kok semuanya harumnya sama? Tapi kata mbaknya harumnya berbeda. Mungkin bulu hidungku sudah kehilangan efisiensinya semenjak bertahun-tahun mendekam di rumah yang baunya sangat tidak mengenakkan.

"Aduuuh, Ndra. Tenang aja deh. Katanya kalau si dia gak mau, bakalan kamu kasih ke mamamu? Lah terus ngapain pilih-pilih?" kata Chrisjul dengan nada capek. Iya, sih. Mungkin aku terlalu takut membeli hadiah yang tepat.

Aku takut membuat hubunganku dengan Resy berakhir lebih pahit lagi dari sebelumnya. Kalau mamaku, mah, hubungannya udah dari dulu. Jadi udah sohib banget. Aku teringat sesuatu, bukannya Resy anak DKV? Jadi seharusnya aku membeli sekotak pensil atau crayon gitu. Dia pasti suka.

"Jul, toko di sini yang jual crayon dimana?" kataku berbalik pada anak ini yang jalannya sudah gontai.

"Kalau crayon mah, beli di toko ATK juga bisa. Ini kan shopping mall, cuk." Ngegas banget anak ini.

"Yaudah, terus enake tuku opo?" kataku capek mengitari mall ini seperti kualifikasi MotoGP.

"Jawabanku tetep sama. Kamu beli baju. Mungkin dress?" kata Diandra bangkit dan bersandar ke tembok. Oke. Mari kita beli sebuah dress.

"Mmm, beli dress itu dimana?" "Di toko buku." "Heh, sing genah." "Yaudah, kamu ikut aku ayo. Ntik tak cariin yang bagus wes." Kata Chrisjul berjalan berbalik menuju eskalator. Nah, gitu dong.

Jadi perjalananku ke mall ini gak sia-sia. Dia menuntunku ke salah satu tempat toko baju. Harganya boleh juga. Sekitar dua ratus-tiga ratus ribu gitu. Cocok dengan isi dompet seorang Diandra.

"Nih, bagus." Kata Chrisjul seketika membawa dress floral dengan warna kuning-hijau. Mirip rumah SpongeBob. Kalau saja motifnya diganti nanas, aku pasti akan berteriak memanggil Gary si Siput nakal.

"Kayaknya gak banget deh, Jul. Norak gitu." "Oh, gitu ta?" lanjut Chrisjul sambil melihat dress pilihannya.

"Yaudah, aku cari yang lain, kamu cari juga ya. Biar cepet selesai." Kata Chrisjul kembali. Aku mengacungkan jempol. Ternyata sulit juga ya, mencari hadiah untuk wanita. Bagi aku yang menjalani hubungan terakhir bertahun-tahun lalu, hal seperti ini sudah asing bagiku, dan ternyata hadirlah anak ini. Yang dengan sikapnya yang seperti Mak Lampir, mampu membuat aku membelikannya sesuatu.

Pikirku kesana-sini sambil menyisir baju-baju di sana. Lalu aku menemukan sesuatu yang bagus. Sebuah t-shirt dengan sablon besar bertuliskan, 'I Am A Graphic Designer.' Nah, ini boleh nih. Apalagi harganya. Sekitar seratus ribuan, daripada beli dress yang dipakai hanya dua-tiga bulan sekali, mending aku beli baju yang bisa nyaman dipakai setiap hari.

Betul kan? Betul kan? Ini gak pelit kan? Tanpa pikir panjang, aku membawa baju itu ke kasir dan segera membayarnya.

"Yee....kowe pelit amat, lur." Kata Chrisjul mencibir pilihanku. "Duduk pelit iki, ancen klambi e sing apik tenan."

"Okedeh. Karena kamu sudah beli hadiah, pulang yuk. Mobilku di basement, kamu tak anterin pulang sekalian." Katanya mengeluarkan kontak mobil dari saku celana superketatnya itu.

"Ah, gak usah. Aku nggowo vespa, kok." Kataku menggelengkan kepala. "Oke. Aku tak duluan ya, Ndra. Fotonya harus tak proses lagi. Thanks a lot yo." Katanya beranjak pergi dengan buru-buru. Aku bahkan belum sempat mengatakan iya. Ah, sudahlah.

Aku juga harus pulang. Aku mengecek HP. Seperti biasanya, ucapan selamat pagi dan sore hanya dikatakan oleh official account Pevita Pearce. Miris. Beberapa toko sudah mulai menutup rolling doornya. Yah, hidup dan bekerja di mall dapat menyita banyak waktumu, apalagi hari weekend dimana kamu harus tetap buka.

Bagi seorang penyiar radio sepertiku, weekend juga diisi dengan acara ngemsi ke sana-sini dan mencari job-job sampingan untuk menambah uang jajan. Better lah daripada menjamur di rumah mikirin jemuran yang belum kering. Akhirnya aku sampai di parkiran. Hanya ada sekitaran dua-tiga motor yang tersisa di sini. Salah satunya pasti merupakan motor pemilik pemeriksa karcis dan satpam. Yang berarti tersisa motorku seorang.

Ah. Hidup di kota memang melelahkan dan sulit, tapi yang berusaha lebih biasanya lebih dulu sukses dibanding orang yang hanya bermalas-malasan. Itulah pola pikir yang harus ada jika kamu mau survive di tengah kepungan jutaan orang mahasiswa dan migran di kota besar ini.

Kupacu vespaku cepat-cepat di tengah jalan besar yang kosong ini di malam hari. Alasannya, mungkin aku takut saja sih. Dibegal juga aku gak bisa lari, maklum motor vespa. Kalau aku diam aja, motorku disikat. Dan aku gak ada asuransi. Pilihan terbaik adalah aku pulang secepat mungkin sebelum hal-hal itu terjadi. Setelah rasanya aku berjam-jam dengan kecepatan 20 km per jam ini, akhirnya aku sampai di rumahku tercinta.

Yang selalu kotor dan penuh sempak dekil. Kutaruh tasku di meja belajar. Di ujungnya terdapat asbak dengan satu buah rokok yang belum habis. Ya, aku dulunya perokok. Lalu seiring waktu, karena sibuk, aku mulai jarang merokok. Kadang malah sebulan hanya sekali. Itupun tidak habis. Investasi yang sia-sia aku beli sebungkus rokok.

Kadang malah habis disikat tetangga sebelah. Walaupun kamar ini masih kotor banget, aku merebahkan diriku di ranjang. Aku capek. Dan besok aku masih harus kerja. Oh iya, dimana aku menaruh t-shirt yang aku beli tadi?