Chereads / The Broadcast of Live and Love / Chapter 3 - Act 3 The Hatchling Met His Friends.

Chapter 3 - Act 3 The Hatchling Met His Friends.

Sesosok wanita menghampiriku, dengan gaun putih dan buket putihnya. Kepalanya yang mungil dihimpit oleh rambut hitam menjulang yang indah. Aku tersenyum. Apakah dia?--

"TEEET!! TEEET!! TEEET!!" Matanya terbuka lebar. Napasku tersengal-sengal. Alarm ini mengganggu mimpi indahku saja. "TEEET!! TEEET!! TEEET!!" Belum sempat aku berpikir, dan suara menyebalkan ini datang lagi. Membuyarkan semua keinginanku melanjutkan mimpiku. "TEEET!! TEEET!! TEEET!!" Tanpa ada pikiran yang sehat, satu-satunya harapanku hanyalah mematikan alarm sial ini. "TEEET!! TEEET!! TEE -- *klik*

"Fyuh," desalku lega. Ingin rasanya sekali waktu aku terbangun oleh seorang yang aku sayang, pikirku terduduk di ujung ranjang. Aku tersadar dari lamunanku.

Tidak ada gunanya aku memikirkan kehadiran seorang wanita pagi buta-buta. Bisa-bisa nanti malah tante-tante menor haus belaian yang datang mengabulkan doaku. Aku meraih HPku yang berada di sebelah alarm. Tinggal menunggu waktu saja sebelum aku tidak melempar HPku karena kusangka alarm. Hidup yang berbahaya.

Ada notifikasi dari Chrisjul, 'Ndra, hari ini setelah kowe siaran ketemu aku bentar yah, di Tunjungan Plaza. Onok sesuatu sing meh tak omongne.' Lah. Jauh Amat. Siaranku di Ngagel, lah ketemuannya di Tunjungan Plaza yang luar biasa jauhnya. Belum lagi macet. Nungguin cat kering sepertinya jauh lebih menyenangkan.

Aku membalas chatnya, 'Eh, kutu kurap. Emang gak kurang jauh? Ganti yang lebih deket napa?' sesaat Chrisjul langsung membalas. Cepat banget ini anak. Apa karena gak ada kerjaan ya? Memang dasar jomblo akut.

Tandasku dalam hati tanpa melihat kenyataan yang menyakitkan. 'Yowis. Ndek Galaxy Mall aja ya. Tak enteni jam 6an di Lobby.' Ya Tuhan. Mengapa harus mall? Di Rawon Setan dekat Ngagel kan juga bisa. Aku sedikit curiga. Jangan-jangan ini sebuah prank. Jangan-jangan Chrisjul adalah admin sebuah oknum penjualan budak belian. Jangan-jangan aku dijadikan budak belian untuk settingan sebuah prank. Jangan-jangan – Ah, sudahlah.

Aku sampai di studio. Jam menunjukkan jam 10 pagi. Ah, tepat waktu rupanya. Kuparkir vespaku di tempat biasanya. Dan seperti biasanya, Mas Joni sibuk bermain game online sampai tidak menyadari keberadaanku. Beberapa orang senang sekali bermain game seperti Mobile Legends ataupun PlayerUnknown Battlegrounds. Apalagi para bocah-bocah. Mirisnya, umur Mas Joni malah sudah mendekati 50an.

Aku tidak bisa membayangkan Mas Joni berchatting ria di internet menggunakan emoticon seperti ':v' ataupun '^_^'. Hiiii. Merinding sudah aku dibuatnya. Lebih baik aku bergegas, sebelum aku pun tertular virus ini. Mas Ridho tampak sibuk menelepon sambil wara-wiri ke sana-sini. Aku langsung menuju studio dan melempar tasku. Aku melihat jadwal pemutaran di komputer.

Hmmm. Banyak sekali slot untuk iklan. Kuperhatikan satu-satu. Ada yang terkait promo hotel terkenal di Surabaya. Ada yang menjajakan produk sepatu. Dan seperti biasanya, selalu ada berita public announcement yang berbau keselamatan. Seperti jangan membuka situs porno, jangan chatting sambil menyetir, jangan ini dan jangan itu. Kenapa pemerintah tidak membuat sebuah iklan yang berisikan permohonan?

Nampaknya itu lebih efektif. Semisal,"Sesuai pesan Dedemit Hutan; dimohon tidak membuka situs porno atau kamu hilang malam ini!" Nah. Yang begituan pasti didengarkan. Tersenyum sendiri aku dibuatnya. Mas Ridho yang melongok dari luar tampak ketakutan dengan perilaku psikopatku.

Yap, jika aku menunggu sweeper dan jatah ngobrolku, sela-sela jadwal yang dipenuhi lagu dan iklan adalah kesempatanku mengeluarkan mulut pedasku. Sesuatu yang tidak bisa aku lakukan biasanya. Apalagi di stasiun radio. Sekalinya ngomong keceplosan, siap-siap aja dipanggil mirip Younglex. Lagu sudah habis. Aku memencet sebuah tombol di benda seperti turntable di depanku dan mulai berbicara.

"120.0 FM Surabaya, this is Diandra speaking! Guys, pada tahu nggak sih kalau sekarang, banyak banget kan yang bisa viral di medsos, dan barusan Diandra baru aja dikirimin sebuah video yang lagi nge-hits nih! Jadi, sebuah fenomena Kiki Challenge ini udah mewabah banget...dan tantangan ini mengharuskan kamu keluar dari mobil dan joget-joget gitu! Wah, jangan sampe nabrak tiang listrik ya guys! Karena walaupun kalian akan jadi viral setelahnya, tapi semua duit endorse kalian bakal hilang buat biaya berobat nih! Atau biar nggak rugi, sekalian aja endorse rumah sakit biar biayanya ditanggung nih! Jadinya gak rugi kan! Hehehe...anyways, stay tune ya guys, karena selanjutnya bakalan ada single terbaru dari penyanyi wanita favorit kita semua, Marion Jola!" aku melangkah menjauh dari mic merah yang selalu mecungul di depanku.

Mas Joni masuk ke studio dan bertanya, "Mas Diandra mau titip makan?" ujarnya sopan.

"Ah, enggak usah mas! Aku udah bawa bekal kok. Tapi bohong." Ucapku seraya berbisik di akhir kalimatku. Semoga Mas Joni gak denger.

"Oke Mas," senyum Mas Joni sampil mengacungkan jempol. Aku lihat Mas Ridho mengambil wudhu. Lah, terus kenapa Mas Joni malah gak sholat? Meh. Mungkin beliau PMS, pikirku berusaha positive thinking.

Kulihat HPku, seperti biasa, tidak ada pesan. Bagiku yang antisosial akut ini, jarang sekalia ada pesan yang masuk ke HPku ini. Paling banter ya paling si Jerry titip cemilan. Dan nggak dibayar sampai sekarang. Aku menghela napas dan melihat layar.

Sekarang jatah slot iklan. Aku heran, kenapa tidak ada yang mengiklankan badut ulang tahun atau sedot tinja? Padahal iklannya sering kujumpai di daerahku. Tertempel di tembok. Tertempel di kolong jembatan. Niat banget. Tertempel di tiang listrik. Barangkali kalau aku membuka pintu taman, yang empunya iklan akan langsung nempelin iklannya di jidatku. Ah, bosan, bosan.

Kucari sesuatu untuk dilakukan selama kurang lebih 10 menit ini. Di ruangan yang serba hitam ini, sepertinya bahkan jiwaku ikut tenggelam dalam kegelapan yang fana. Aku mengobrak-abrik meja hitam di sebelahku. Penuh dengan sampah. Notes yang kadaluwarsa. Puluhan surat proposal. Slip gaji.

Perlahan aku menoleh ke kanan dan kiri lalu kulihat isinya. Bah. Kosong. Kurangajar sekali orang yang meninggalkan barang ini di sini. Apa mau pamer? Frustasi, aku melihat nama penerima di bagian belakangnya.

Tertulis dengan besar,'DIANDRA MULIA'. Koreksi. Rendah hati sekali orang yang meninggalkan barang ini di sini. Beliau mau memberi tahu pada dunia hedon ini bahwa kita harus berusaha jika mau mendapatkan hal yang kita inginkan. Terimakasih sang empunya slip gaji kosong ini.

Lalu aku menemukan sesuatu terselip di antara barang-tadi. Sebuah poster. Saat ku ambil, tertulis besar tulisan 'ArtCon Surabaya 2018'. Perlahan tapi pasti, muncul nama seorang wanita yang aku lupakan sejak tadi pagi. Resyana. Aku bahkan lupa wajahnya. Aku ingin menstalking dia, tapi aku hanya mempunyai satu media untuk berkomunikasi. Berharaplah dia mempunyai profile pic di akun Gmail nya. Itu pun kalau aku juga tahu nama akunnya.

"...dan itulah mengapa lebih baik kalian makan dulu baru menyikat gigi. And the sun is coming down, which means I have to go!and this is Diandra,live on YoungFreeWild FM,see you next time!" ucapku bersemangat. Aku terduduk manja di kursiku. Sesaat aku melihat kedipan di HPku.

Si pekok Chrisjul rupanya. 'Woy, ndang rene kowe! Wes mari toh siaranmu?' diiringi emot sebuah hewan yang lazim digunakan untuk sumpah-serapah. Buset. Ngegas banget makhluk ini.

'Oke. Oke. Iki meh budal.' Ucapku basa-basi. Padahal aku masih akan keluar untuk menyeduh kopi hangat. Ah, biarlah. Toh Galaxy Mall tutup jam 10. Sekarang juga masih belum malam-malam amat. Aku pergi ke dapur terletak tepat di depan studio dan mengecek apakah ada sachet kopi yang belum disikat para kopiholik akut di bangunan ini.

Ternyata setelah aku celingak-celinguk ke mana-mana, tidak ada kopi. Hanya jejak-jejak kafein yang tersebar di mana-mana seperti istana kokain milik Scarface. Dasar orang-orang jorok, aku melirik ke arah Jerry yang melongo ke laptopnya membisu diiringi kopi dingin dan Mas Ridho yang sibuk mengurus proposal ditemani kopi hitam, serta juga Mas Joni di luar sibuk mengurus pintu yang juga diiringi kopi hitam di mejanya. Sialan. Jatahku mana coba?

Mungkin ini tanda dari yang di Atas agar aku segera menuju tempat Chrisjul berada. Pikirku mencoba positif di tengah situasi ini. Aku segera kembali ke studio untuk mengemasi barangku. Setelah aku memakai jaket, aku baru menyadari kalau Made belum juga kembali. Menilik kalender bersama yang ada di studio, sepertinya anak badung itu sedang ada konser di Bali. Beginilah anak band, riwa-riwi keliling Indonesia untuk mengisi acara ataupun pensi. Kadang bikin ngiri. Aku melangkah menjuju pintu keluar dan menyalami semua orang,

"Mas,pulang," ujarku ke Mas Ridho. Dibalas dengan acungan jempol.Dia bahkan tidak menoleh ke arahku. Kejamnya.

"Jer,pulang yo." Dia bahkan tidak berkata apa-apa. Apa yang terjadi di ruangan ini? Dimanakah kasih sayang yang dulu aku terima? Teganya kalian? Ah. Sudahlah, mungkin mereka juga capek karena sudah sore, yang ditegaskan dengan fakta bahwa Mas Joni juga tidak menyalamiku kembali. Bah.

Okelah, langsung menuju Galaxy Mall. Ini mungkin pertama kali setelah berbulan-bulan aku harus pergi menuju sebuah shopping mall yang sarat dengan makanan supermahal dan orang-orang prestisius. Aku menginjak pedal di vespaku, dan berangkat.

Sesampainya di Galaxy Mall, aku berpikir, biaya parkir di sini mahal sekali. Lima ribu rupiah. Bayangkan. Dengan nominal yang sama, aku dapat membeli pentol yang mengenyangkan. Chrisjul harus mempunyai alasan yang baik kenapa aku harus pergi ke sini. Harus. Sebelum kugorok lehernya itu.

Aku berjalan penuh dengan rasa amarah mendalam. Jauh sekali pintu masuknya. Bisa kurasakan bekas-bekas kapalan di kakiku bekas bermain futsal mulai kembali lagi. Kasihannya sepatu Vansku, harus melewati medan berat ini.

Aku menunduk dan mengelap sepatuku,"Ucucucu. Sabar ya sayangku. Hampir nyampe kok." Aku melirik ke atas melihat sesosok bayangan dengan ramput panjang. Apakah itu Sadako? Hampir benar. Manusia ini tidak lain adalah jelmaan Sadako itu sendiri, Resyana.

"Ummmm...." ujarku sambil berdiri dan menggaruk kepalaku. Pasti dia mengira aku orang schizophrenic yang mempunyai teman imajiner, yaitu sepasang sepatuku ini. Dia tetap diam terpaku.

"Kamu ngapain di sini?" ucapku mencoba sopan.

"Belanja." Timpalnya, melipat tangan di dada. Oke. Belanja. Aku kira kamu jualan nasi goreng di sini. Sepertinya dia tidak tertarik melanjutkan pembicaraan ini, jadi aku beranjak pergi meninggalkan dia sendiri.

"Oke...um...aku duluan ya." Ujarku cepat-cepat meninggalkan dia.

"TUNGGU!" katanya dengan lantang setelah aku 4-5 langkah di depannya. Seperti sebuah FTV. Yang menceritakan pertikaian Ibu Kos dan anak kos yang belum bayar, karena nada teriakan itu sama sekali tidak berbau romansa. Aku berpikir cepat dan menoleh ke belakang,

"Iya? Kenapa?" ujarku menghela napas. Kalau dia ngomong, kenapa gak dari tadi daripada membiarkan aku berdialog sendirian, ya kan? Ya kan?

"Aku mau ngomong." Masak sih, Mbak. Aku kira kamu mau menjajakan pentol balado. Aku melangkah kembali. Aku harap Chrisjul pengertian. Aku bisa membayangkan dia murka sambil melayangkan tripod ke kaca-kaca display toko baju.

"Mau ngomong apa?" dia masih diam. "Yah, aku minta maaf kalau aku sudah ngancurin karya seni kamu, dan aku bakal ngelakuin apa aja untuk membayar hal itu, Resyana."

Dia masih saja diam. "Tapi bukan berarti kamu selalu diam kayak kita pasangan yang putus hubungan dong. Aku gak bisa tahu kamu maunya apa kalau kamu diem aja." Lagi-lagi diam.

"Halo? Ada orang di sana?" aku melayangkan tanganku ke mukanya, mencoba memastikan kalau anak ini tidak melamun.

"Aku sedang berpikir," akhirnya dia berbicara. "Kan kamu hutang budi sama aku,"

"Yah,gak gitu juga sih, tapi – "

"Berarti," potongnya cepat. "Aku bisa minta tolong kamu sesuatu dong." Ujarnya melihat mataku dalam-dalam. "Anything." Balasku sambil menaikkan bahu.

"Aku minta tolong kamu bantuin aku..." ujarnya pelan. Aku deg-degan, seperti akan memenangkan kuis berhadiah. "...buat bikin karya seni yang baru." Ujarnya tegas. What?