'TEEET!! TEEET!! TEEET!!'Suara alarm yang nyaring dari jam kecil itu membuyarkan tidurku. Kucoba untuk meraihnya sebelum gendang telingaku tersayat-sayat. 'TEEET!! TEEET!! TEEET!!'
"Sialan," bisikku pelan dengan mendengus. Ya, sulit melihat apa-apa dengan mata kantuk ini. Sepertinya segala sesuatunya dalam mode blur. 'TEEET!! TEEET!! TEEET!!' Akhirnya aku menggenggam sesuatu yang sepertinya jam. Kupencet semua tombolnya sambil mencoba duduk di tepi ranjangku yang sudah tidak karuan ini. 'TEEET!! TEE--- *klik*' Akhirnya suara jahanam ini berakhir. Kullihat sejenak jam itu. Terpampang jelas tulisan 8.31 dalam bentuk digital.
"Sepertinya masih cukup." Ujarku lirih, sembari memperbaiki rambutku yang sudah awut-awutan bagai semak belukar.
Aku mengecek HP. Ada notifikasi dari Mas Ridho. 'Diandra,jangan lupa hari ini jam 09.45 di Balai Kota,ya.' Ya, hari ini diadakan sebuah ekshibisi seni kontemporer. Dan entah mengapa dan bagaimana, aku menjadi MC dalam acara itu.
Sepertinya mereka kehabisan anak Event yang biasanya mau menjadi budak-budak pekerja sosial. Atau mungkin Mas Ridho yang mengajukan aku sebagai MC untuk acara ini. Terlalu sulit memantapkan teoriku dalam hal ini. Oke. Abaikan. Karena aku harus segera mandi dan berbenah diri. Kumatikan layar HPku dan bergegas mengambil handuk.
Aku segera memasuki kamar mandi dengan satu niat; menghilangkan bau jigong ini di sekujur tubuh dan mulutku. Setelah menggosok gigi, membasuh tubuh dan rambut dan mencuci muka dengan sangat-sangat cepat, aku segera mengeringkan seluruh badanku – dengan cara yang cepat pula.Aku segera keluar dan melihat jam dinding berwarna putih di ruang tamu. Jam menunjukkan pukul 08.58. Aku harus bergegas.
Kuambil sepatuku dan jas dan t-shirt warna putihku. Begitu panik sampai aku harus memasang sepatu duluan sebelum menyadari aku belum mengambil celana. Bodoh sekali. Kuulang lagi memasang pakaianku ini.
"Ah,eh,eh," ujarku sambil mengingat urutan yang mana yang harus dikerjakan dulu – memasang kaos kaki? Memakai t-shirt? Menggunakan deodoran? Mungkin anak kelas 6 SD bisa melakukan pekerjaan ini lebih baik dan benar. Setelah bermenit-menit menggunakan pakaian sambil panik, aku segera keluar dan mengambil kunci kontak motorku. Vespa biru muda ini harus – mau tidak mau – harus kukebut sampai titik darah penghabisan.
Mungkin aku mencintai motor mungil kunoku ini, tapi kredibilitas pekerjaanku, dan juga muka merah padam Mas ridho sudah cukup menguras rasa sayangku yang dalam ini. Oke. Mari kita langsung menuju Balai Kota.
Tidak biasanya sesepi ini di jalanan. Apakah semua orang tidur di rumah? Air mancur Balai Kota yang biasanya dipenuhi sinyo-sinyo yang kangen Dufan sekarang kosong melompong.
Mungkin diadakan sterilisasi oleh para panitia. Aku melongok ke kanan sembari memencet lampu indikator berbelok di motorku. Ada beberapa satpam. Mungkin dugaanku memang benar.
"Siang Pak," ujarku berusaha ramah yang jatuhnya malah awkward. Apa karena senyumku yang aneh, atau selilit cabe yang terhimpit rapat di antara gigiku atau mataku yang memancarkan aura psikopat.
"Siang juga Pak," ujar Satpam yang berdiri di dekatku sambil memberi hormat. "Crew ya pak?" ujarnya, menudingkan jari ke leherku yang dilingkari kartu panitia.
"Iya Pak,saya MCnya,haha..."nada tertawaku yang serasa dipaksakan menggambarkan betapa aku selalu ciut nyali di hadapan aparat.
"Ooooh,kamu MCnya! Mari,mari,silakan masuk." Sahutnya ramah sembari mempersilakan aku masuk ke dalam.
"Makasih Pak! Mari ya Pak! Mari Pak!" ujarku menyahuti semua satpam di seluruh wilayah itu. Apakah aku terlihat bodoh? Tentu saja. Tapi bersinggungan dengan beberapa laki-laki gempal berwajah menyeramkan lebih membuatku merasa dirundung setan.
Saat aku membawa vespaku masuk, sejenak kulihat pemandangan yang lazim kulihat saat kepanitiaan di perkuliahan. Anak-anak yang sepertinya dari logistik kesana-kemari membawa entah itu speaker, kabel olor, ataupun benda lainnya. Ada anak berseragam sama yang membawa kotak P3K kemana-mana dengan mata mungilnya dan wajah imutnya. Nah. Ini biasanya anak Kesehatan. Yang diterima supaya cowok bisa mengabaikan sakit yang mendalam dan memfokuskan diri melihat wajahnya. Ada juga bapak-bapak yang terlihat tua ingin sekali ikut campur. Membawa barang kesana-kemari, namun dikembalikan lagi oleh anak-anak berseragam. Biasanya yang seperti ini adalah Dosen Pembimbing. Atau Steering Commitee. Yang kerjaannya sok ngerti tapi gak pernah datang rapat dan seketika mendapat pewahyuan di hari-H dan menjadi dewa maha tahu. Ah. Nostalgia.
Aku menarik napas dalam-dalam untuk merasakan aura depresi yang mereka ekskresikan dari keringat kepanitiaan mereka. Sesaat aku menutup mata untuk bernapas, seketika itu juga vespaku menabrak seorang cewek. Membawa karya seni. Yang akhirnya hancur berkeping-keping.
Perhatian semua orang tertuju ke sini, termasuk para satpam tadi. Aku terjerembab ke tanah dan cewek tadi meringis kesakitan sembari melihat karya seninya yang pecah tidak beraturan, dia membelalakkan mata, seakan tidak percaya. Dan di kejauhan aku melihat Mas Ridho melambaikan tangan ke arahku, seolah buta melihat aku tergolek di tanah bagai ikan buntal. Berakhirlah sudah. Tamat.
Insting cowok jantanku langsung bertindak. Tanpa menghiraukan lebam di kakiku, aku sekelebat membantu cewek itu.
"Kamu gak papa?" ujarku basa-basi seperti di FTV.
"Aduh.." dia meringis kesakitan sambil memegangi tangannya. Walau tidak ada darah, jelas sekali kalau dia sedang kesakitan. Aku bingung harus berbuat apa. Di tengah kerumunan orang, ajaib sekali tidak ada satupun yang hendak menolong. Begitulah anak panitia yang diawasi ketat oleh para Steering Committee. Dan Mas Ridho semakin dekat, dia sedikit berlari untuk sampai lebih cepat ke tempatku. Gaya berlarinya seperti unta.
"Aduh,maaf banget ya! Ini semua salahku yang gak ngeliat kamu...aduh," aku mengucap kata dengan cepat saking paniknya,
"Salahku kok ini. Maaf banget ya." Timpalku dengan tangan merangsek ke mana-mana. "Ya memang." Ujar cewek itu pelan. Dan tegas. Aku sedikit tersentak. Memang aku mengharapkan jawaban ini, tapi disaat yang sama, aku tidak mengharapkan jawaban yang seperti ini. Sempat urat nadi di kepalaku putus dan aku nyaris meledak dan mengucapkan serangkaian sumpah-serapah. Tapi kembali lagi,kan ini semua salahku? Setelah menghela napas panjang aku membantu cewek itu berdiri dan mengambil karya seninya...atau lebih tepatnya,sisa dari karya seninya. Dari yang awalnya merupakan sebuah karya seni yang indah, yang anggun, sekarang menjadi sesuatu yang tidak berkodrat. Tidak cukup rasanya jika aku hanya meminta maaf.
"Aduh Mbak,karyanya rusak nih," ujarku menenteng karyanya tinggi-tinggi. Dia menoleh. "Biar saya—" "Jangan!!" seketika cewek ini langsung menarik lenganku sebelum aku memporak-porandakan karyanya lebih jauh lagi.
"Udah. Gak usah. Makasih." Ujarnya singkat dan tegas. Aku berani bersumpah, cewek ini cocok banget jadi Guru BP. Pemilihan kata-katanya mengena di hati dan menggema di kalbu.
"Sungguhan mbak? Saya bisa—" "Nggak usah,mas. Nggak usah." Cewek ini menggelengkan kepalanya sambil setengah terjerembab di tanah. Persis Sadako.
"Mas kalau mau bantu, pilihan terbaiknya satu – jangan ganggu saya." Ujarnya sambil mencoba bangkit,bertumpu ke lututnya dan berdiri. Aku baru menyadari, mbak-mbak ini ternyata cantik banget. Rambut yang diurai panjang, bibir yang manis dan alis yang 11-12 sama Maleficent.
"Okedeh,mbak. Maaf banget nih ya." Cuapku sedikit malu setelah melihat mukanya. Sembari aku menyerahkan karyanya yang sudah sah menjadi karya abstrak, aku bertanya,
"Omong-omong nih,mbaknya namanya siapa?" ujarku mencoba ramah,menjulurkan tanganku. "Resy. Resyana." Ucapnya dingin, hanya memberikan pandangan sinis terhadapku. Dan dia bahkan tidak menyambut tanganku, dia hanya sibuk merapikan karyanya.
Nampaknya aku bersalah dalam sekali kali ini. Dan aku menyadari sesuatu. Mas Ridho sedari tadi tidak menghampiriku. Saat aku bertanya kepada panitia, katanya dia sudah masuk ke dalam venue. Aku juga harus buru-buru. Jika aku terlambat lagi, kepalaku taruhannya.
Aku masuk ke dalam. Nampaknya ruangan ini sudah berubah menjadi satu kanvas besar bagi seniman. Lantai,dinding dan langit-langitnya ditutupi selambu hitam superbesar. Dan ada banyak karya seni, baik kontemporer maupun terapan disuguhkan di sini. Sungguh surga seni. Pemandangan yang kulihat sangat menguras emosi dan jiwaku. Dan aku teringat cewek tadi, pasti dia ada di sini.
Dugaanku benar. Setelah aku mencari kesana kemari melewati pelan-pelan semua karya seni ini, aku menemukan seseorang. Seorang cewek yang terduduk memperbaiki karyanya dengan serangkaian selotip. Aku melihat HPku. Masih jam 11.45.
Sepertinya masih cukup waktu sebelum aku harus memulai acara ini jam 12 tepat. Saatnya aku memperbaiki kesalahanku kali ini, pikirku percaya diri. Aku mulai menghampiri boothnya dengan langkah lebar-lebar dan dada membusung, layaknya singa terjantan di savana. Sesaat temannya melihat aku, mencolek si Resy, lalu menuding ke arahku.
Lalu Resy memberikanku pandangan yang paling dingin di dunia ini. Sedikit bergidik, namun aku memantapkan langkahku. Aku ingin membantunya. Aku hanya ingin memperbaiki kesalahanku. Benar,kan? Sugesti-sugesti positif ini mengitari kepalaku saat pandangan Resy bertambah tajam setap detiknya, membuatku berkeringat dingin dengan deras.
"Halo," sapaku sambil melambaikan tangan pelan sembari tersenyum simpul. Resy tetap memberikan pandangan tajam yang sedari tadi dia lemparkan padaku. Seakan dia tidak mempunyai emosi lain.
"Iya? Kenapa ya?" temannya menyapaku dengan cepat dan menghalangi jalan Resy yang tengah berjalan ke arahku. Aku melihat cewek ini dengan seksama. Kacamata tebal, gigi kelinci yang tersembul rapi dari mulutnya, dan wajah yang mungil.
"Namaku Stefani. Salam kenal ya." ujarnya sambil menawarkan tangannya. Nampaknya dia anak yang bijak.
"Iya. Aku Diandra." Kataku sambil menyambut tangannya yang mungil dan putih.
"Kamu kesini mau melihat-lihat seni kami?" timpalnya tersenyum dan memperlihatkan booth seni di belakangnya.
"Mmmm....ya. Tentu saja." Ucapku pelan dan tidak pasti. Sebenarnya, aku kesini hanya untuk meminta maaf pada si Resyana tadi. Aku sama sekali tidak menaruh perhatian pada karya seni di tempat ini sekecilpun. Sesaat aku akan mengikuti Stefani yang mulai menjauh, Resyana langsung menghadangi jalanku dengan beringas.
"Heh! Kowe lapo nang kene?" bisiknya cukup keras dan menudingkan jari putihnya nyaris mengenai mukaku.
"Yo rapopo. Sebenarnya aku cuman mau minta maaf ke kamu sih", ujarku menjelaskan situasi yang pelik.
"Gak usah!" bisiknya lagi cukup keras, melayangkan tangannya ke mana-mana seperti orang sakit ayan. "Mending kamu pergi aja deh. Aku tahu dari caramu megang karyaku kalau kamu gak peduli sama seni." Bisiknya lagi setelah menyadari Stefani mulai beranjak kembali.
Sebenarnya, aku ingin sekali mengiyakan semua ucapannya, tapi aku menyadari aku sudah bersikap sangat kasar kepadanya. Apakah aku tidak boleh meminta maaf? Bukannya itu sikap yang sepantasnya? Sepertinya waktunya sudah tiba.
Para anak panitia di belakang mulai meneriakkan hal-hal mengenai kesiapan dan venue, semua pemilik booth mulai meringkasi barangnya dan bersiap-siap. Entah kenapa Mas RIdho belum mencari aku dari tadi. Sampai aku menyadari ada 12 missed call di Whatsappku. Sebelas dari Mas Ridho dan satu dari ibuku.
Menyadari aku yang sedikit panik karena HP dan keributan ini, Resyana mulai bicara, "Kayaknya kamu harus pergi deh. Kamu orang penting di acara ini kan?" ujarnya sambil dirangkul oleh Stefani khas-khas cewek Mean Girls. Benar. Aku harus pergi.
"Oke," ujarku mengangguk pelan. "Tapi kita pasti ketemu lagi." Balasku sembari melihat wajahnya yang sekusut pakaian kotor. Aku berlari kecil menuju backstage.
Aku tidak sempat melihat wajahnya tadi. Ah,biarlah. Aku punya masalah yang lebih penting sekarang. Sesosok tinggi memanggilku dengan nada yang agak tinggi di kejauhan.
"Andra! Ngapain aja kamu?" ujar Mas Ridho sambil menyunggingkan tangan ke pinggangnya. "15 menit lagi kita mulai ya. Jangan lupa ambil cue card di deket panggung." Ujarnya lagi sembari melihat jam tangan yang melingkar di tangannya.
"Oke mas." Ucapku singkat. Tidak ada gunanya meminta maaf atau memberikan pembelaan sekarang. Banyak sekali kesalahanku sedari tadi, mencoba memberikan penjelasan hanya akan menambah marah Mas Ridho. Aku mengambil cue card di stage dan mulai menempelkan kertas materi MC ku di sana. Sesaat, anak panitia menghampiriku.
"Ini mas, mic nya. Udah di check sound tadi." Ucapnya sambil menyodorkan mic ke arahku.
"Thanks ya." Ujarku sembari mengalihkan pandangan lagi ke cue card ku. "5 Menit! 5 Menit!" teriak anak panitia dengan papan dada dan headset terhubung ke HT di belakang. Aku beranjak ke panggung. Saatnya bekerja.
"Pagi para penikmat Seni dan selamat datang di ArtCon Surabaya 2019!!" ucapku lantang sembari tersenyum lebar. Gemuruh tepuk tangan diikuti dengan suara-suara siulan dan teriakan tidak jelas. Khas lelaki anarkis pencinta indie hardcore.
"Aku yakin kalian pasti bertanya-tanya tema kita tahun ini apa," ujarku mengayunkan tangan ke samping, memberikan petunjuk bahwa baliho besar di sampingku adalah tulisan temanya. Terpampang besar tulisan "VIBRANT" dengan aksen-aksen berwarna-warni.
"Tema kita kali ini adalah Vibrant!" ujarku menunjuk ke arah baliho, "Ada yang tahu arti Vibrant ini apa?" "Bagi yang nggak tahu,guys. Vibrant artinya adalah warna yang tajam. Basically sebuah emphasis. Yang berarti kita harus menjadi sorotan, in a good way. Menjadi bersinar, menjadi striking. Kita harus menjadi orang-orang yang menjadi panutan orang lain. Menjadi orang-orang yang disukai karena karyanya yang keren. Yang breathtaking." Ujarku dengan percaya diri.
"Nah,sudah cukup dengan temanya...mari kita berkenalan dengan panel juri kali ini." "Untuk para juri, bisa silahkan berdiri." Ketiga orang di bangku persis di depanku pun beranjak berdiri diiringi tepuk tangan penonton.
"Yang pertama adalah Pak Devin! Pak Devin ini adalah seorang kurator yang notabene guys, adalah pekerjaan yang jarang banget di Indonesia. Tepuk tangan untuk Pak Devin!" Pak Devin adalah seorang kurator museum berumur 40an yang sekarang tinggal di Berlin. Orangnya ramah, friendly dan father figure banget. Orangnya juga pengertian dalam memberi kritik dan saran. Bertubuh sedang dan kurus, menggunakan fedora warna marun, syal warna coklat tua yang menyembunyikan lehernya dan kacamata hitam tebal yang bertengger manis di mukanya. Dengan jas dan sweater yan berwarna coklat tua, jelas sekali terlihat kalau Bapak ini sudah terbiasa dengan iklim yang dingin.
Celana khaki dan moccasin nya yang juga berwarna coklat memperlihatkan kalau Pak Devin ini orang yang cukup stylish.Walaupun jika dilihat dari kejauhan dengan pakaiannya yang serba coklat, dia lebih menyerupai dahan pohon yang meranggas.
"Terimakasih Pak Devin. Bapak bisa duduk." Ucapku sambil mempersilakan beliau duduk kembali. Tampaknya umurnya yang cukup matang membuktikan dia tak mampu berdiri lama.
"Yang berikutnya, Kak Sheila! Tepuk tangan untuk Kak Sheila!" lanjutku yang juga diiringi dengan tepuk tangan cowok-cowok bernafsu tinggi. Kak Sheila adalah seorang desainer kelas atas. Dan seseorang yang multitalent.Dia sudah melanglang buana di daratan Eropa dengan fashion house nya yang serba kontemporer.
Sosok wanita yang independen. Rambut panjangnya yang dicat pirang di akar dan hijau di ujung, maskaranya, lipstiknya, bedaknya, sepertinya semuanya produk branded. Mungkin pasta giginya saja lebih mahal dari total penjualan kedua ginjalku yang sehat. Dibalut dress putih yang mini dan heels yang juga putih membuat semua cowok di dekatnya berliur. Semoga saja aku sendiri tidak kebanjiran air liur.
"Kak Sheila bisa silahkan duduk." Ucapku.
"Dan selanjutnya adalah penyelenggara acara ini dari tahun ke tahun, tidak lain dan tidak bukan, Mas Bagus!" Tepuk tangan dan teriakan terdengar dari setiap sudut penjuru ruangan. Dan aku bahkan belum mempersilahkan mereka bertepuk tangan. Sosok ini menginspirasi banyak sekali anak muda di Indonesia. Gedhe Bagus Sutrisno.
Seorang yang cukup subur dengan rambut kribo dan kombinasi kumis, cambang, dan jenggot yang sekilas mirip perwira China Guan Yu. Kaos hitamnya yang bertuliskan Localized Soundwaves, sebuah solo project yang digarapnya saat ini. Semua anak yang pernah mendengarkan lagu indie pasti tahu karyanya sebelum Mas Bagus mulai mainstream. Band terdahulunya, Daun Melati dan kemunculannya di berbagai media dan konser membuat nama Mas Bagus dikenal anak muda dimana-mana. Tangannya dipenuhi tato dan celana ripped jeans nya yang sobek dimana-mana seperti seseorang yang baru dicabik singa di Kebon Binatang Surabaya. Sepatunya boots tinggi. Sepertinya di dalamnya juga tersembunyi sebuah surat tilang. Itulah Mas Bagus. Sangat-sangat dipuja karena karyanya yang melegendaris di mana-mana. "Terimakasih Mas Bagus. Mas bisa duduk."ujarku.
"Dengan ini acara ArtCon Surabaya resmi dimulai!!" ujarku dengan totalitas yang disambut pula dengan totalitas para audiens. Seluruh ruangan serasa bergetar malam itu. Aku puas. Namun aku melihat ada satu orang di antara beribu-ribu manusia itu yang terlihat tidak puas. Ya. Sesosok cewek yang sepertinya hanya memiliki satu emosi. Si Resyana.
Sesaat setelah acara selesai, aku pergi ke backstage untuk mengganti pakaianku dengan kaos oblong dan celana pendek. Setelah mencari berjam-jam di tasku, aku baru menyadari kedua barang itu tertinggal di vespaku. Nasib. Saat aku mengambil kunci kontakku di meja, datanglah Mas Ridho dengan muka yang sumringah.
"Selamat ya, Andra. Crowd nya histeris banget malem ini. You've done well." Ujar Mas Ridho bangga sambil menepuk pundakku.
"Siap Mas," balasku mengembalikan senyumnya yang hangat. Aku bergegas kembali ke tempat parkir. Ada ribuan vespa di sini. Seperti tongkrongan anak hipster lokal. Andai saja vespaku dilengkapi fitur pemanggil layaknya motor canggih jaman sekarang. Mulailah perjalananku mengitari tempat parkir sembari sedikit menunduk untuk mencocokkan pelatnya. Jika ada satpam yang melihat, bisa-bisa aku dikira maling.
Dan muncullah sebuah pertanyaan. Kenapa tidak ada satpam di sini? Minimal aku bisa bertanya ke satpam kira-kira di mana motorku.
"Ngapain kamu?" suara yang tidak asing membuyarkan kritik pedasku terhadap security di tempat ini. Yap. Sesaat aku menoleh ke atas, alis jahat itu tidak menipu siapapun. Resyana.
Aku merapikan bajuku. Dan mukaku.
"A-aku cari motorku." Ucapku terbata-bata. Sial. Kenapa aku harus gagap di saat ini? Pasti dia mengira aku maling. Hanya seorang pemuka agama ataupun anak kecil polos yang mengira aku memiliki niatan baik disini.
"Vespa?" ujar Resyana, menaikkan satu alisnya ke atas, persis The Rock.
"Uh. Ya." Balasku sedikit heran. Kenapa dia tahu motorku?
"Biru? Yang tadi pagi kamu gunakan untuk nabrak aku?" ujarnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih tinggi. Benar juga. Aku menabrak dia tadi siang.
"Iya. Kamu lihat?" balasku tanpa basa-basi.
"Noh. Di ujung sana." Ujarnya sembari menunjuk ke ujung parkiran, dimana aku melihat seorang satpam yang tertidur di motor dengan jok paling lebar. Lengkap sudah kritikku.
"Oh iya bener! Oke. Aku pulang dulu ya." Ujarku tanpa berlama-lama, meninggalkan Resy yang sepertinya berada di tempat parkir untuk suatu tujuan. Aku mungkin menyembuhkan jiwaku hari itu, tapi aku menyakiti milik yang lain.