Dear diary,
Seumpama balita yang baru belajar berbicara, ia akan mengikuti suara yang terdengar disekitarnya. Itu sama halnya dengan diriku yang baru belajar mengenal pergaulan dan kedewasaan yang akan mengikuti suara kata hatiku sendiri.
Senja di bumi Kota Santri ini begitu menyejukkan kalbu. Dimana burung-burung dapat beristirahat dari pencarian nafkahnya di siang hari tadi. Begitupun dengan makhluk Tuhan yang bergelar Khalifah.
Disepanjang jalan raya dipadati oleh kuda besi yang beroda dua maupun beroda empat. Suara klakson mengiang-ngiang karena kepadatan seketika membentuk menjadi kemacetan.
Berbeda dengan di kediamanku yang berada jauh dari bau-bau jalan raya. Rumahku yang bermodel rumah Belanda kuno berdekatan dengan ladang persawahan membuat semua mata terkesima dengan pemandangan yang ada.
Semua orang yang berada di daerah ini serasa dimanjakan oleh sang angin yang membelai lembut hingga masuk ke tulang belulang.
Allah telah menyediakan segala keperluan makhluk-Nya di bumi. Kita hanya perlu bersyukur dan beribadah kepada-Nya.
"Mah, kakak mau tanya" ujarku hati-hati pada Mamah saat beliau selesai mengerjakan Shalat Asar.
"Tanya apa?" tanya Mamah yang sedang melipat mukenanya.
"Tapi mamah jangan marah" ucapku dengan nada memelas.
"Iya, Mamah gak marah" sahut Mamah dengan tenangnya.
"Mah, boleh gak kalau perempuan curhat ke laki-laki yang bukan mahramnya?" tanyaku dengan nada pelan penuh dengan kehati-hatian.
"Kalau curhat, ya jelas gak bolehlah. Apalagi curhat tentang masalah pribadi. Berbicara saja perlu ada batasan dengan lawan jenis." Tegas Mamah dengan intonasi yang menekan.
"Kalau sudah terlanjur gimana?" tanyaku yang mulai takut.
"Jangan dilanjutin! Kalau bisa, tarik semua kata-kata kakak yang kakak ceritain ke dia!" Mamah seperti sudah mengetahui bahwa apa yang aku tanyakan adalah menyangkut tentang diriku.
"Itu salah ya, Mah?" tanyaku yang sudah takut.
"Ya jelas salah!" tegas Mamah.
Berarti, aku telah melakukan kesalahan pertama dalam masa remajaku. Sebelumnya, akupun belum pernah bercerita tentang diriku kepada lelaki. Kak Irhaslah lelaki yang pertama yang aku ajak curhat.
Aku fikir, aku bersalah telah melakukan hal itu. Mengapa saat itu tidak kutahan saja keinginganku. Karena kufikir percuma juga aku bercerita. Toh aku tidak mendapatkan hasil dari jawaban yang aku inginkan.
Mungkinkah kesalahan pertama ini akan menjadi yang terakhir dalam perjalanan asmaraku ataukah kesalahan pertama ini menjadi awal dari kesalahanku yang berikutnya?
Besoknya, aku memutuskan untuk berbicara kembali kepada Kak Irhas dan menarik kembali kata-kataku yang kemarin itu.
"Kak Irhas!" Aku memanggil Kak Irhas yang sedang berjalan cepat itu. Kebetulan kak Irhas melewati depan kelasku entah ada keperluan apa aku tak tau. Sebelum menuruni anak tangga yang terakhir, Kak Irhas baru menoleh padaku.
"Iya? Kenapa?" tanya kak Irhas. Aku tak menjawab, aku hanya tersenyum.
"Oh, masalah Rangga, ya? Jadi maunya Adek gimana? Saya tuh masih-" ucap kak Irhas yang aku hela kalimatnya.
"-Enggak. Saya hanya ingin bilang kalau apa yang saya katakan kemarin itu enggak benar. Saya gak jadi sambung cerita ke Kakak. Sudah ya, Kak. Semuanya sudah kelar. Jangan katakan apa-apa lagi tentang ini!" Ujarku panjang lebar dengan sedikit berteriak.
"Jadi, Adek maunya gimana? Maksudnya gak jadi apa? Saya enggak faham." Ujar kak Irhas dengan dahinya yang mulai mengerut.
"Ya, pokoknya gak jadi, deh! Terimakasih ya, Kak." Ucapku seraya diakhiri senyum yang mengembang.
"Ya sudah. Saya buru-buru nih!" Ujar Kak Irhas sembari berbalik badan dan berjalan setengah berlari menuruni anak tangga satu persatu.
"Berdoa saja pada Allah. Serahkan semuanya sama Allah, ya Dek!" Kak Irhas berteriak dari bawah tangga.
"Iya kak. Sekali lagi terimakasih, kak." Akupun berbalik badan dan berpindah mendekati pintu kelasku. Sebelum aku memasuki kelas, Lulu menghadangku dengan pertanyaannya.
"Jadi gimana ceritanya, Shan? Apa kata Kak Irhas kemarin? Aku kepo banget!" ujar Lulu dengan semangatnya.
"Aku gak jadi cerita, Lu. Ku fikir tindakkan ku ini berlebihan. Biarkan semuanya mengalir saja, Lu. Aku baru sadar. Tindakkanku yang kemarin itu salah" sahutku seraya tersenyum setenang mungkin.
"Salahnya dimana?" tanya Lulu heran.
"Salahnya, aku perempuan, sedang Kak Irhas laki-laki. Perempuan dengan laki-laki harus ada jarak. Sedangkan yang namanya curhat berarti tidak ada jarak dan tidak ada rahasia. Masalah kita terlihat jelas dengan curhat. Dan awal aku ke kak Cokelatpun 'kan aku gak mau ada yang tau lagi tentang hal ini. Lulu yakin kak Irhas bisa dipercaya?" ceritaku dengan wajah yang meyakinkan.
"Tapi ini 'kan demi Shana. Shana 'kan mau jawaban dari kemisteriusan Tuan Cokelat itu. Iya 'kan?" sahut Lulu seperti berusaha menyakinkanku untuk tetap bercerita kepada kak Irhas.
"Sudahlah, Lu. Cari tau tentang itu bisa 'kan lewat perempuan lagi. Enggak Kak Irhas saja? Lagi pula, aku takut aku yang ke-geeran, Lu. Padahal kak Cokelat lihatin apa, eh malah disangka lihatin aku. Biarkan semesta yang menerangkan semua kemisteriusan ini, Lu" ucapku tak kalah meyakinkan Lulu untuk mengurungkan niatku bercerita lebih lanjut kepada kak Irhas.
Satu hari setelah acara Pentas seni, aku bersama seluruh jurusan IPA kelas 10 mengadakan acara ngaliwet atau bisa dibilang makan bersama dengan nasi liwet. Latar belakang acara ini diadakan adalah karena masalah kejuaraan di Pensi satu hari yang lalu.
Masing-masing kelas kami mendapat konflik yang sama, yaitu menyangkut dengan keadilan dalam perlombaan. Kami tidak ingin berpecah-belah dan saling bermusuhan hanya karena perlombaan yang tak seberapa. Semoga saja dengan acara ini dapat membangun kembali tali Silaturahim dan persaudaraan antar kelas 10 IPA. Dan Alhamdulillah, acara berjalan lancar.
Siangnya, aku bersama Risma dan teman di Pramuka yang lain berkumpul di pinggir lapangan untuk mendengarkan interuksi dari kakak senior kami.
"Mana yang lainnya? Kok hanya segini?" tanya Kak Dodi berakting seolah-olah galak dan tegas. Sentakan dan teriakan sudah menjadi bahan makanan kami sehari-hari ketika kami mengadakan pertemuan ambalan.
Hal itu tidak lain adalah untuk melatih mental para anggota Pramuka agar menjadi insan yang tangguh serta agar menjadi Patriot yang sopan dan ksatria sesuai dengan Dasa Dharma yang menjadi landasan kami para anggota Pramuka.
"Terus yang lainnya kemana? Pada niat gak sih masuk pramuka? Giliran kumpulnya saja susah banget! Kalian yang ada disini sudah kasih tau yang lainnya belum? Gak kompak amat sih! Sudah tau sekarang kumpulan!" tegas kak Yofa.
"Sudahlah, Fa. Kedepannya, kalian tuh harus lebih kompak. Kalau satu orang tau bahwa sekarang kumpulan, tolong ajak teman-teman yang lainnya biar semua tau hal apa yang dibahas ketika kumpulan itu" sahut kak Yofi meredam emosi para senior.
"Sudahlah langsung saja-" Belum saja kak Yofi selesai bicara, aku mendapat kesialan disini yang mengagetkan semua orang yang berada didekatku.
"Aduh! Tolongin. Ini gimana?" Teriakku dengan badan yang sudah terbaring.
Sungguh sial. Aku mengambil posisi duduk ditepi saluran air hujan yang kering. Kakiku kumasukan kedalam lubang saluran air yang sempit itu. Tiba-tiba, kedua kakiku terjepit didalam saluran itu dan tubuhku sudah tak seimbang lagi dan terbaringlah aku dengan kaki masih menancap di saluran air.
Semua tertawa melihat tingakah konyolku ini. Kak Minalah yang menolongku untuk berdiri karena di samping dan di belakangku laki-laki semua. Jadi mereka hanya memasang wajah bingung antara menolong atau tidak.
"Haha. Pertanda siap ditumpangi ini mah!" ujar kak Yofa diiringi tawa renyahnya.
Dasar gila! Aku fikir dimana-mana lelaki memiliki fikiran yang sangat gila tentang ketika melihat perempuan. Tetapi dari kejadian ini, aku bersyukur karena aku bisa membuat orang-orang disekitarku tertawa terpingkal-pingkal melihat kekonyolanku. Dan hal itu yang membuat suasana mencair dan aku semakin bahagia.