Setelah kejuaraan diumumkan, ada sedikit masalah antara kelasku dengan kelas 10 IPA 4 masalah keadilan dalam penilaian. Tapi untung saja Kak Irhas selaku kakak tingkat dari jurusan IPA 3 melerai masalah ini dengan memotivasi dan menceramahi kami.
"Sudah ya. Dapat piala segini juga kakak sudah bangga sama kalian. Pokoknya pesan dari kakak, jaga kekompakan kelasnya. Kita sudah juara sebagai kelas terkompak. Nah, kalian buktikan kekompakan kalian bukan hanya dalam perlombaan saja, tapi selama kalian berada di sekolah ini pokonya jaga kekompakannya, tetap semangat.
Kakak bangga sama kalian. Asli. Terimakasih juga sama semua usaha kalian untuk mendapatkan piala-piala ini. Oh iya satu lagi, kita bakalan ngaliwet buat ngerayain kejuaraan ini, setuju gak?" usul kak Irhas ketika kami tengah berkumpul membentuk lingkaran.
"Setuju! Asyik. Di rumah kak Irhas ngaliwetnya." Ujar kami serempak.
"Wah, jangan dirumah saya atuh! Terlalu jauh. Yang dekat saja. Tuh, di Laila. Rumahnya 'kan deket dari sini." saran kak Irhas.
"Ya, setuju!" ucap kami bersamaan.
"Woi! Kok jadi bawa-bawa nama Laila sih?" Sahut Laila memasang wajah terkejutnya.
"Siapa suruh rumahnya deket, jadi kesebut 'kan?" Saat itu, aku merasa bahwa aku memiliki keluarga kedua di sekolah setelah di rumah. Teman-teman sekelasku ku anggap sebagai keluargaku. Dan kami benar-benar menikmati kejuaraan ini. Terimaksih, Tuhan. Engkau sungguh Maha Baik.
Sekolah telah dibubarkan. Kami yang tak lagi berkepentingan disekolahpun beranjak meninggalkan lokasi sekolah. Sebelum keluar gerbang, aku dan Lulu yang sedang berjalan berjumpa dengan kak Irhas. Aku tersenyum dan menyapa kak Irhas.
"Tetap semangat ya, Dek!" sahut kak Irhas kepadaku dan Lulu.
"Iya, kak. Pasti. Kak Irhas terimakasih ya sudah bela-belain membimbing kelas kami." Ucap Lulu dengan santainya.
"Iya, enggak apa-apa. Ini memang kewajiban kakak kok membimbing kalian. Oh ya. Mau langsung pulang?" tanya kak Irhas pada kami.
"Iya, kak." Kamipun diam sejurus. Saat aku melihat kak Irhas lagi, aku teringat pada ide dari temanku agar aku mencari orang ketiga sebagai penengah antara aku dengan kak Rangga. Jika aku malu mengatakannya, maka si orang ketigalah yang menyampaikannya.
Kufikir, Kak Irhas adalah sahabat Kak Rangga. Kulihat, Kak Irhas dengan Kak Rangga begitu dekat.
"Lu, atau kak Irhas yang jadi orang ketiganya, ya?" tanyaku dengan berbisik pada Lulu.
"Iya, sok. Coba saja. Dia teman dekatnya kak cokelat 'kan?" tanya Lulu.
"Iya. Doain ya, Lu?" Akupun menarik nafas dalam-dalam dan mengumpulkan keberanianku untuk berbicara kepada kak Irhas yang sedang berjalan disampingku.
"Em, kak. Saya mau bicara sama Kak Irhas. Tapi saya malu." Ucapku sebagai pembuka kata.
"Oh, mangga. Bicara saja. Gak apa-apa kok. Gak usah malu-malu" ucap kak Irhas meyakinkanku untuk berbicara.
"Tapi janji, ya jangan bilang siapa-siapa?" ucapku yang mulai grogi.
"Iya janji. Tentang apa?" Aku ragu harus mulai darimana aku bicara. Akupun menoleh dan tersenyum pada Lulu yang siap mendengarkan percakapanku dengan Kak Irhas.
"Kak Irhas sahabatnya Kak Rangga?" tanyaku malu-malu.
"Ya, gitu sih. Teman dekat saja. Emang kenapa gitu?" tanya kak Irhas diiringi kekehan pelannya.
Akupun tersenyum malu. Tak lama setelah Kak Irhas menoleh padaku, akhirnya dia mengerti ditandai dengan tersenyum.
"Oh, Adek suka sama Rangga?" tebak kak Irhas. Aku tak menjawab dengan kata. Aku hanya tersenyum malu.
"Sejak kapan?" tanya kak Irhas dengan mata yang berbinar.
"Sejak kapan, ya? Lupa lagi" ucapku polos.
"Haha. Oh Adek ternyata suka sama Rangga?" sahut kak Irhas seraya tertawa girang.
"Syut. Jangan disebut namanya, kak. Malu" ucapku.
"Hehe. Iya-iya. Tapi sayang. Rangganya sedang dekat sama perempuan lain. Adek tau 'kan?" tanya kak Irhas mulai menarik senyumnya.
"Iya tau, kak. Namanya Anis kan dari kelas 10 IPS 1 'kan?" sahutku yang mulai tidak enak perasaan.
"Iya. Kalo misalnya Rangganya tidak sedang dekat dengan perempuan mah, saya bakalan bantu Adek. Tapi 'kan Rangganya sekarang sudah dekat sama perempuan lain." Ucap kak Irhas menyesal.
"Iya, gak apa-apa kok. Saya hanya mau cerita saja. Semoga saja saya tau jawabannya lewat kak Irhas. Emang mereka pacaran, ya?" tanyaku setenang mungkin.
"Enggak, mereka tuh hanya Hubungan Tanpa Status gitulah. Waktu itu, Anisnya suka sama Rangga, nah kebetulan Rangga juga suka sama Anis. Jadi mereka dekat. Emang Adek asal-usulnya gimana sih, kok bisa suka sama Rangga?" tanya kak Irhas yang mulai penasaran.
"Oh, gitu? Saya juga gak tau, kak. Pokoknya, Kak Rangganya itu suka lihatin saya. Entah apa maksudnya. Saya fikir itu hanya kebetulan saja. Tapi ternyata kok semakin sering lihatinnya. Saya pernah buktiin Kak Rangga lihatin siapa sih? Saya penasaran. Terus waktu itu, kak Rangga sedang foottsal. Nah, dia tuh kayak yang lihatin gitu. Saya coba pindah, eh ternyata masih lihatin kearah saya. Saya penasaran itu apa sih maksudnya?" ceritaku tanpa ragu.
"Oh, Adek satu kampung sama Rangga?" tanya kak Irhas kembali. Dan aku hanya menjawab tidak.
"Iya tuh, Dek. Saya pengen bantuin Adek. Tapi 'kan Rangganya sudah sama Anis. Jadi saya bingung harus gimana?" ucap kak Irhas.
"Tidak apa-apa, kak. Takut ngerpotin." Percakapan kami terpotong karena Lulu pamit akan berbelok menuju ke rumah kosnya.
"Aku duluan ya, Shan. Kak Irhas, saya duluan" ucap Lulu seraya menoleh kearah kami.
"Oh, ya. Hati-hati" Jawabku bersamaan dengan Kak Irhas. Dan kini, aku hanya berjalan berdua dengan Kak Irhas namun dengan menjaga jarak agar tidak terlalu dekat.
"Nanti Shana cerita sama aku ya?" bisik Lulu sebelum membalikkan badannya. Aku menjawabnya dengan mengangguk dan tersenyum.
"Jadi gini, Dek. Saya juga pernah mengalami hal yang sama seperti Adek. Tapi ternyata perempuan itu gak suka sama saya. Tentu saja saya sakit. Nah, dari sana saya kapok dengan cinta dan perempuan. Dari sana juga saya mendapatkan pelajaran. Bahwa terlalu berharap kepada manusia itu sakit. Toh, jodoh mah Allah yang ngatur.
Tenang saja. Sudah ada kok bagiannya buat kita. Kita hanya perlu memperbaiki diri agar jodoh kita juga baik sama kayak kita. Nah, perasaan kayak gini jangan menjadikan kita tuh jauh sama Allah. Serahkan saja semuanya sama Allah. 'Kan Allah Pemilik Segala Cinta.
Allah yang mengendalikan semua hati. Ingat loh! Allah itu suka cemburu kalau kita terlalu rindu atau terlalu cinta sama sesuatu selain Dia. Jadi saran dari saya. Adek hanya sebatas suka. Jangan berlebihan." Nasihat kak Irhas serasa menamparku.
"Iya, kak. Saya faham kok. Lagi pula, ini untuk yang pertama kalinya kak saya kayak gini. Sebelumnya saya tidak tau masalah seperti ini. Asli, ini untuk yang pertama kalinya, kak" ucapku dengan mata yang tidak melihat kepada kak Irhas.
"Yang pertama?" kejut kak Irhas dan aku hanya meng-iyakan.
Aku dan kak Irhas diam sejurus. Kami masih berjalan beriringan dengan pelan. Sebenarnya aku begitu malu dan belum terbiasa berjalan beriringan dengan lelaki seperti ini.
"Sejak kapan kak Irhas sahabatan sama kak Rangga?" tanyaku memecah keheningan.
"Bukan sahabatan sih. Gimana ya? Temen deket gitu. Temen cerita. Saya suka cerita sama Rangga, Rangga juga suka cerita sama saya. Gitu, sih." Ucap kak Irhas diiringi kekehan pelan.
"Kak Irhas mau nyebrang?" Tanyaku karena kami sudah tiba di pinggir jalan raya. Dan kak Irhaspun mengangguk pertanda benar. Kemudian kami menyebrang jalan raya. Kak Irhas mengangkat tangan kirinya pertanda meminta pengendara kendaraan untuk berhenti sejenak dan membiarkan kami menyebrang.
"Naik angkot, Dek?" tanya kak Irhas seraya menaiki sebuah mobil angkutan umum.
"Enggak, kak. Rumah saya dekat dari sini kok. Jalan kaki saja. Kak Irhas janji, ya jangan bilang siapa-siapa tentang ini?" pintaku yang melihat kak Irhas dari luar angkutan umum.
"Iya. Janji." Ucap kak Irhas yang sudah duduk dikursi dalam angkutan umum.
"Terimakasih kak Irhas. Duluan ya kak." Ucapku mengakhiri pembicaraan.
"Iya, hati-hati. Tenang saja ya, Dek?" ucap kak Irhas dan akupun mengangguk dan kembali berterimakasih.
Ini adalah percakapan yang benar-benar tak ku sangka sebelumnya. Aku menjadi tau bahwa kak Rangga dengan Anis itu tak berpacaran. Mereka hanya HTS. Lalu kenapa orang-orang bilang pacaran? Ada juga yang mengatakan mantan?
Ah, sudahlah. Itu tak akan kupertanyakan lagi. Aku sudah lega karena dapat bercerita pada Kak Irhas. Aku tak tau apakah tindakanku ini salah ataukah tidak.