Chereads / Tuan Cokelat / Chapter 20 - Pentas Seni

Chapter 20 - Pentas Seni

Dear diary,

Sesuai hukum alam. Kita tidak tau kepada siapa bahtera akan berlabuh. Sekalinya berlabuh,  bahtera mungkin kesulitan untuk keluar dari zona pelabuhan.

"Shana. Happy birth day, Shana!" Hanida yang tiba-tiba muncul dari kelasnya segera berlari kepadaku yang sedang berada di ambang pintu kelasku bersama Risma. Hanida memelukku erat sampai dadaku terasa pengap.

"Yah, Hanida! Kamu ngehancurin rencanaku! Tadinya aku mau pura-pura gak ingat ulang tahun Shana. Tapi karena sudah kepalang gini, ya sudah aku ngucapinnya sekarang saja. Happy birth day, Shana!" Rismapun memelukku erat sama seperti Hanida memelukku.

"Iya, terimakasih" ujarku.

"Huh, si Shana sudah tua! Semoga menjadi anak yang sholehah, semakin pinter, semakin dewasa. Jangan kayak anak kecil lagi!" ujar Hanida dengan girangnya.

"Iya. Aamiin." Lalu Hanida dan Risma mencubitku berulang kali.

"Woi, yang ulang tahun itu harusnya disenengin. Bukan diisengin. Sakit tau!" gerutuku seraya menahan rasa sakit dari cubitan dua gadis ini.

Hari ini, adalah hari spesial bagiku. Semua teman-teman yang aku kenal dan yang tak aku kenal mengucapkan selamat ulang tahun untukku, bahkan kakak kelaskupun mengucapkannya.

Tentu saja aku bahagia karena aku merasa dihargai oleh manusia. Bukankah semua manusia menginginkan pengakuan dan penghargaan? Ada pula diantara mereka yang memberi hadiah ulang tahun padaku.

Senin.

Hari pertama pensi jatuh pada hari Senin ini. Seusai Shalat Zuhur, acara baru dimulai. Untuk perlombaan hari ini adalah penampilan warta dan penampilan recycle. Untuk penampilan warta, Resilah yang menjadi pembawa acaranya. Warta di gelar di aula. Banyak penonton yang bersorak ramai selama pelombaan berlangsung. Sementara aku, Anisa, dan Dali mempersiapkan propeti untuk penampilan warta di belakang layar.

Aku terlalu sibuk dengan kegiatanku sehingga Kak Rangga yang berada didekatku aku tak sadar. Anisalah yang memberitauku.

Setelah aku sadar, aku begitu grogi dan malu. Untung saja penampilan warta dari kelas 10 IPA 3 telah usai. Aku berlari menuju ruangan tempat perlombaan recycle berlangsung.

Di sana, Nisa dan Tria yang tampil menjelaskan recycle yang dibuatnya berdiri dengan sangat percaya diri. Menerangkan kepada dewan juri dengan sangat jelas. Aku yakin kelasku yang akan menang.

Selasa.

Ini adalah hari kedua pensi. Dan mata lomba yang ditampilkan adalah short film. Kami dikumpulkan di aula dan filmpun ditayangkan.

Adli, sang sutradara dari kelasku dengan penuh keberanian mempromosikan film yang digarapnya di muka publik.

Untuk baligho. Sejak hari pertama pensi, semua baligho telah dipasang didepan pagar kelas yang berada dilantai atas.

Rabu.

Hari ketiga pensi ini, kami menampilkan teater diatas panggung. Aku ditunjuk untuk memerankan seorang anak Sekolah Dasar yang berpenampilan tomboy. Aku bersama teman-temanku yang berperan sebagai anak SD dipoles make-up dengan tidak merata sehingga kami lebih mirip seperti badut.

Sebelum aku dan teman-temanku tampil, panitia dari Osis meminta kami untuk berbaris di samping panggung. Dan saat itu Kak Rangga bertugas untuk membuka dan menutup tirai.

Ketika itu, aku tak sengaja melihat Kak Rangga yang sedang melihat kearahku. Lalu Ia tertawa puas sembari menunjuk kearahku. Aku tak tau siapa yang ditertawakan Kak Rangga. Aku lalu menengok ke belakangku. Dan nihil tak ada orang disana.

Ah, mungkin kak Rangga sedang tertawa dengan orang yang berada didepanku. Kalaupun kak Cokelat itu mentertawakanku, sangatlah wajar. Karena akupun tertawa saat melihat penampilanku dalam cermin. Akupun tertawa menertawakan suara tawa Kak Rangga yang khas itu.

Saat kami bermain, aku merasa aku jijik dengan peranku. Aku rasa penampilanku berantakan. Ditambah dengan jatuhnya Adli diatas panggung yang berperan sebagai pohon ajaib. Anak-anak Osis, termasuk kak Rangga membantu Adli untuk berdiri.

Dan apa yang dikatakan Adli? Dia bilang jika hal itu sengaja ia lakukan. Lantas, apa faedahnya menjatuhkan diri diatas panggung dengan sengaja sehingga membuat semua orang panik? Ada-ada saja temanku ini.

Saat teater dari kelas 10 IPA 3 telah selesai, kami berjejer dahulu diatas panggung untuk kata penutup sebelum kami turun.

Dan kak Rangga yang bersiap-siap menutup tirai masih tertawa terpingkal-pingkal melihat ke arahku. Aku fikir, kak Rangga menertawakan Euis yang berada disampingku. Karena kostum yang Euis kenakan adalah kostum nenek-nenek berambut putih. Akupun tertawa melihat Euis.

Setelah penampilan kami telah usai, aku segera ke toilet dan membersihkan make-up yang menempel dipermukaan wajahku.

Tak lama setelah itu, aku, Lulu, Risma, dan Anisa duduk agak jauh dari samping panggung untuk melihat penampilan teater selanjutnya.

Sepuluh menit yang akan datang penampilan akan di mulai. Aku fokus pada ponselku.

"Shan, tuh lihat. Kak Rangga kayak lagi lihatin kearah sini, deh!" Lulu berbisik padaku.

Akupun menoleh keatas panggung sana. Dan benar, disana memang ada kak Rangga. Tapi dia tidak sedang melihat kearah sini.

Ditangannya tergenggam sebuah kamera SLR. Ketika kuperhatikan, kak Rangga sedang membidik teman-temannya yang berada di samping panggung. Lalu kameranya perlahan diangkat dan difokuskan kearah kami yang sedang duduk.

Kak Rangga berdiri sambil memasang wajah kalemnya. Matanya memang tak melihat layar kamera, tapi jari telunjuknya menekan tombol yang ada pada kamera tersebut disusul dengan suara jepretan kamera.

Aku terkejut. Siapa yang dibidik kak Rangga? Bukankah disamping panggung teman-temannya sudah tidak ada?

Aku pura-pura tidak sadar dengan ini. Lalu kulihat kembali. Dalam gerak-geriknya, Kak Mutia, teman Osis kak Rangga seperti ingin tau gambar yang terdapat dalam kamera. Tapi kak Rangga tidak mengizinkan kak Mutia untuk melihatnya.

Kak Rangga mengotak-atik kamera dan mengurungkan niatnya agar mau membagi tau gambar yang terdapat dalam kamera tersebut pada kak Mutia sembari tersenyum. Setelah melihat layar kamera, kak Mutia menoleh ke arah kami. Dan sekali lagi, aku pura-pura tak tau.

Kamis.

Hari ini adalah hari terakhir sekaligus penutupan acara pensi. Dan untuk perlombaan hari terakhir ini adalah paduan suara. Kelasku mendapat undian terakhir untuk pentas. Aku bersama teman-teman sekelasku menyaksikan kelas yang lain yang sedang tampil.

Saat itu, panitia menghimbau kepada seluruh siswa-siswi jika ada yang ingin request lagu atau salam-salam dapat dikirim ke nomor telepon yang telah disebutkan.

"Oke. Ini ada pesan dari nol delapan lima sekian-sekian. Katanya, salam rindu buat Rangga Rafiqi. Ciye Rangga. Ada yang rindu, Ga! gimana jawabnya, Ga? Oh, salam rindu balik katanya. Haha" setelah pesan dibacakan oleh MC, lalu anak-anak kelas 10 IPS 1 bersorak gemuruh. Aku tebak itu pasti dari Anis. Sudah tak salah lagi. Dan aku begitu kesal dengan ini.

"Oh, ini ada pesan yang masuk dari nol delapan tujuh sekian sekian. Salamnya saja buat Rangga dari kelas 10 IPA 4. Waduh. Rangga banyak fansnya!" Aku tak tau pesan ini dari siapa. Yang pasti ini dari perempuan. Dan aku rasa kepalaku mulai panas.

"Tenang, Shan" bisik Lulu padaku. Sepertinya Lulu memahami apa yang aku rasakan saat ini.

"Shana, kamu salam-salam juga buat kak Rangga. Biar ada yang panas. Nih, pake hape aku saja" Ujar Risma padaku.

"Enggak ah. Males banget gue gitu-gituan. Alay tau gak!" ujarku yang sebenarnya gengsi.

Tak lama setelah itu, diam-diam tanganku mulai mengetik pada papan ketik ponsel Risma yang sedari tadi aku genggam.

"Salam buat pria jahat dikelas 11 IPS 1 yang tidak memiliki hasrat untuk menggembirakan sang pengagum" pesanpun terkirim dan dibaca oleh panitia menggunakan microfon.

Setelah mendengar pesan itu, semua orang diam dan suasana menjadi hening. Semua bertanya itu pesan dari siapa? teman-teman dekatku yang sudah tau cerita ini akan menduga itu pesan dariku. Tapi aku tak mengaku.

"Lu, anter gue ke wc, yuk!" pintaku pada Lulu.

Aku sudah tidak tahan lagi. Sesampainya di wc, pipiku dibanjiri oleh air dari mataku. Aku tak sadar. Tangisku pecah seketika.

"Lu, sebelumnya gue gak pernah nangis karena cowok kayak gini. Tapi si cokelat itu beraninya membuat gue nangis kayak gini! Ih, gue gak suka gue yang sekarang. Kenapa gue jadi gini? Lebay tau! Gue lebay. Ini kenapa lagi air matanya gak berhenti-berhenti? Tuh, 'kan jadi ingusnya keluar! Jijik ih. Gue jijik!" celotehku yang masih menangis.

"Haha. Shana, sudah. Aku gak kuat lihatnya. Kamu mah lucu. Lagi sedih juga masih saja aneh!" ujar Lulu sembari mengusap-usap punggungku.

"Lu, kenapa gue jadi gini!?" tanyaku.

"Shan, sekarang Shana 'kan sudah Aliyah. Masa Shana masih gitu-gitu aja! Memang sudah saatnya Shana tau lelaki. Wajar, Shan. Perempuan yang lain juga banyak yang nangis gara-gara lelaki. Si Eva, kalo ada masalah sama pacarnya 'kan nangisnya ke aku. Shana tenang saja. Enggak lebay, kok. Emang perempuan mah kayak gini, Shan!" ucap Lulu menenangkanku.

"Lu, apa ini ada hubungannya sama temen sekelas waktu Tsanawiyah yang ditolak mentah-mentah sama gue dulu? Apa ini karma? Karma itu apa sih, lu?" tanyaku kembali.

"Ah, Shana mah suka ngaco! Masa karma kayak gini! Emang ini masa-masanya, Shan. Jangan salahkan siapapun. Ini memang sudah takdirnya kayak gini. Dulu 'kan Shana gak tau cinta-cintaan. Nah, Shana taunya sekarang kalau cinta tuh kayak gini, Shan!" ucap Lulu begitu lembut.

"Gue gak nyalahin siapapun kok. Gue gak salah. Si Cokelatnya aja yang salah. Kenapa dia lihatin gue?" celotehku seraya mengusap air mata dan ingus yang merembes keluar.

"Hehe. Iya, Shan. 'Kan tadi kamu bilang kamu gak nyalahin siapapun. Kok jadi Kak Cokelat sih yang salah?" tanya Lulu dengan kekehannya.

"Emang tadi gue bilang gitu?" tanyaku dengan polosnya.

"Aduh, Shan. Sudah. Kamu tenangin diri kamu dulu, ya. Nanti ceritanya. Oke?" ah, dasar aku ini!

Kini, saatnya penampilan paduan suara dari kelasku, 10 IPA 3. Suara gemuruhnya tepuk tangan menggemakan seisi sekolah. Kamipun menikmati musik dan bernyanyi dengan kompak. Untuk paduan suara, Risma ditunjuk sebagai dirigen. Rifai sebagai pemain gitar dan Zahara sebagai pemain alat musik pianika di belakang panggung.

Respon dari penonton semakin menjadi-jadi saat aku dan Adli memainkan aksi untuk menari jaipong ditengah-tengah lagu.

Dan inilah yang kami tunggu-tunggu. Kejuaraan.

Kelasku mendapatkan 7 piala dan penghargaan. Yang menjadi juara umum adalah kelas 10 IPA 4. Kelas IPA 3 dengan IPA 4 hanya berbeda satu angka. Tapi tetap, kelasku mendapatkan piala terbanyak.