Seperti burung yang berdecit gembira bersama kawan-kawannya, saling mengejar dan meloncat kesana-kemari dan enggan untuk diam. Fikirankupun memutar segala memori yang pernah terjadi. Ia enggan untuk diam walau hanya sesaat. Kedewasaan tampaknya mulai terbit dari dalam jiwaku.
"Apa-apaan sih nih Osis! Jelas-jelas kelas kita yang duluan yang ngumpulin data recyclenya. Kenapa yang diterimanya kelas 10 IPA 2?!" gerutu Tria ketika kami berada di dalam kelas.
"Iya nih. Sudah cape-cape kita bikin, eh malah enggak di terima!" Timpal Dewi.
"Sudah-sudah kita mengalah saja. Kita buat recycle dengan tema yang baru, oke?" Ujar Nisa melerai emosi teman-teman sekelasku.
Aku hanya terdiam dongo melihat orang ribut disini sebab aku tak mengerti apa yang mereka perdebatkan.
"Laila, ini apaan sih?" Tanyaku yang akhirnya membuka suara.
"Ini, mata lomba recycle bahan dan temanya ada yang sama kayak kelas kita. Sedangkan kata Osisnya gak boleh sama. Nah, kelas kita sama kayak kelas 10 IPA 2. Jadi kelas kita harus diganti padahal yang duluin ngumpulinnya kelas kita. Ih, kamu mah! Ketinggalan topik mulu!" decak Laila yang mulai kesal padaku dan aku hanya tersenyum dan meminta maaf.
Hari ini dikelasku benar-benar free. Tak ada satupun guru yang masuk kedalam kelas ku. Jadi kami memanfaatkan waktu lenggang ini untuk berlatih menyambut pensi nanti. Untuk paduan suara, konsep menjadi ditambahkan dengan tari jaipong ketika lagu kedua dengan judul Manuk Dadali. Aku dan Adli ditunjuk sebagai penarinya.
Ketika kami sedang berlatih paduan suara, kami disibukkan dengan berbagai obrolan mengenai pendapat dan interuksi dari semua mulut. Aku dan Risma hanya menepi dan duduk diatas meja.
"Tuh, Shan. Kak Rangga bukan?" Belum saja aku duduk, Risma menyenggolku dan menunjukkanku akan sesuatu. Wajahnya mengahadap ke jendela dekat pintu kelas.
Saat kulihat, kepala seorang lelaki mengintip kedalam kelas sembari menempelkan wajahnya pada kaca jendela. Dan itu Kak Cokelat. Aku meloncat girang dan Kak Ranggapun mengakhiri aksinya dengan berjalan menyeimbangi langkah temannya yang lebih dulu darinya.
Entah apa yang terjadi padaku. Kemarin hari, aku merasa kesal padanya. Tapi mengapa kini aku bahagia?
Istirahatpun tiba. Saat aku keluar kelas, di tempat parkir di bawah sana terdapat kak Rangga bersama teman-temannya yang sedang menyaksikan anak-anak lainnya bermain footsal dilapangan. Tiba-tiba fikirku teringat pada kejadian hari jumat kemarin. Dan kini, perasaan kesal itu muncul kembali dan aku sangat enggan melihat dirinya.
"Laila, jadi gimana yang recycle?" tanyaku pada Laila yang berdiri disebelahku. Aku sengaja mengajaknya berbicara karena aku tak akan membiarkan fikiranku fokus kepada seseorang yang mempermalukanku.
"Duh, entahlah, Shan. Aku tuh pusing dari tadi mondar-mandir kesana-kemari. Eh, sudah gitu aku, Muhibban sama Nisa debat sama Osis sama 10 IPA 2 juga tentang recycle. Pas awal-awal pengumuman kan Osisnya gak ada yang bilang gak boleh sama dengan kelas lain. Tapi kenapa pas waktunya sudah dekat kok bilangnya gak boleh sama" akhirnya Laila mencerca dan meluapkan kekesalannya.
"Oh gitu?" tanyaku yang sebenarnya tidak peduli dengan masalah ini.
"Iya. Eh, kamu tau gak? Kak Cokelat kamupun ikutan belain kelas kita. Dia tuh wah, baik banget! Tadi juga untung ada Kak Rangga yang bantuin debat" ujar Laila dengan kekagumannya.
"Beneran?" Aku terperanjat tak percaya.
"Iya beneran. Kak Rangga sama Kak Irhas!" jawab Laila dengan penuh antusias.
"Oh ya? Terus gimana?" Dan Lailapun menceritakan cukup banyak tentang Kak Rangga padaku. Tentang kepolosannya, tentang pribadinya yang teramat baik, tentang sikapnya yang kadang seperti anak-anak. Dan aku rasa, kesal itu tertutupi oleh bertambahnya persentase rasa kagumku pada pemuda yang bernama Rangga Rafiqi itu.
Bel sekolah pertanda selesainya pembelajaran untuk hari ini berbunyi. Semua siswa serempak keluar dari kelasnya masing-masing dan memadati pintu gerbang untuk antri keluar dari sekolah.
Tapi tidak denganku bersama anak-anak Pramuka yang lainnya. Kami dikumpulkan oleh kakak kelas untuk menyampaikan sebuah informasi mengenai acara pramuka yang akan berlangsung tak lama setelah ini.
Saat kami diperintahkan untuk berbaris di lapangan, aku menduduki barisan pertama. Saat mataku terseret ke tempat parkir sepeda motor di pinggir lapangan sana, mataku segera menancap kepada seseorang berjaket biru dongker yang tak asing lagi dalam pandanganku. Ya, itu Kak Cokelat.
Aku begitu senang ketika Ia ada. Tapi keanehan mulai tercipta disini. Biasanya, setiap kali aku ada yang tak jauh darinya, matanya selalu menemukan keberadaanku dimana saja aku berada. Tapi lain dengan ini. Aku sengaja sedikit keluar dari barisan agar keberadaanku diketahui oleh kak Cokelat. Tapi tetap saja Ia tak melihatku.
Kuperhatikan gerak-geriknya dengan jeli. Dia mulai melajukan sepeda motornya. Namun sebelum tiba di gerbang, motornya ia hentikan. Ia seperti sedang berbicara dengan seseorang. Aku tak tau siapa lawan bicaranya karena terhalang oleh punggung kak Cokelat.
Saat lawan bicaranya bergeser satu langkah kesamping, aku baru mengetahui siapa lawan bicaranya.
Itu adalah Anis. Pacar atau mantan atau HTSnya kak Cokelat aku tak tau mana yang benar. Yang pasti dia adalah perempuan yang sedang dekat dengan kak cokelat.
Aku terkejut melihat ini. Rasa bahagia, kecewa, nyeri, gundah, riang, dan semua rasa tercipta disini. Mulutku yang semula tersenyum, mengerut menjadi diam terpaku. Aku hanya bisa diam melihat ini.
Entah rasa apa yang aku dapat dari sini. Rasa yang tak tentu. Itulah yang aku rasakan. Aku tak lagi mendengarkan kak Ryan yang sedang berbicara didepan.
"Woy! Apa lo dengar?!" Suara lantang kak Ryan menggeretak anak-anak Pramuka yang lainnya.
Aku tak terpengaruh dengan suara Kak Ryan. Tetap saja aku memperhatikan Kak Cokelat dengan Anis disana.
Salsa teman seorganisasiku menyenggol tanganku dan berbisik, "Shan. Tuh, dengerin!" Aku akhirnya menoleh pada kak Ryan dengan pandangan yang hampa.
"Kalau orang lagi ngomong didepan dengerin dong! Hargain! Lo budek apa?!" Aku tak tau kepada siapa kak Ryan marah seperti itu. Tapi aku rasa itu ditujukan padaku karena sebagian dari teman seorganisasi yang berbaris bersamaku melihatiku.
Tak ada respon apa-apa ketika aku dimarahi. Bahkan aku tidak merasa dimarahi. Sebab, perasaan nyeri ini merasuki jiwaku.
Ketika diperjalanan untuk pulang, aku hanya diam tak memperdulikan kata-kata Risma dan Sofa yang pulang bersama denganku yang kebetulan, jalan menuju rumah kami searah.
"Aarrghh. Tidak! Shana! Bantuin aku!" teriak Risma dibelakangku. Akupun menoleh kebelakang. Saat kulihat, Risma sedang tersimpuh dipinggir jalan melihati got yang ditutupi besi.
"Lo kenapa?" tanyaku antusias.
"Uang aku masuk ke dalam got. Bantuin, Shana! Itu uang aku sisa segitu lagi buat ongkos" Ah, ada-ada saja anak ini. Tanpa permisi, suara tawa keluar dari mulutku dan mulut Sofa.
"Kok bisa masuk kesana sih? Bentar, gue cari kayu dulu. Haha" sahutku sembari tertawa terpingkal-pingkal.
Akhirnya, aku menemukan sebuah bambu yang telah dipotong kecil menyerupai pagar. Kami bertiga seperti orang aneh yang sedang melakukan hal konyol bersama got dipinggir jalan. Orang-orang yang melintas dijalan tak ada yang tak melihat kami.
"Shan, perasaan dari tadi, orang-orang yang lewat ngelihatin kita mulu. Mungkin kata mereka, cari apa sih tuh anak? Haha" ujar Sopa.
"Bilangin saja, cari belut Pak!" timpalku yang diakhiri tawa renyah.
"Haha. Emang ada belut di dalam got?" Tak lama setelah kami berusaha mengambil uang Risma senilai dua puluh ribu itu, ibu-ibupun datang menghampiri kami dan dengan begitu mulianya mereka bersedia membantu kami.
Akhirnya uang Risma berhasil diselamatkan. Tawaku semakin menjadi-jadi saat melihat Risma menangis merengek seperti anak kecil.
"Terimakasih, Ibu atas bantuannya. Maaf teman kami merepotkan." Sahutku dengan sopan.
Itulah Risma sahabatku yang konyol. Meski begitu, aku selalu bahagia dengan Risma. Tingkah konyolnya yang membuatku bahagia.
Terimakasih, Ya Tuhan. Kabungku lenyap seketika. Terimakasih telah menghiburku melalui tingkah sahabatku. Engkau begitu baik padaku. Mudahkanlah aku untuk selalu bersyukur pada-Mu.