Jumat siang yang mengesalkan telah berlalu. Langit lenggang bergradasi awan kelabu bercampur jingga. Langit jingga berubah menjadi langit gelap yang gulita bertabur bintang yang gemerlapan menghias bumi malam.
"Kak pinjam hape. Sebentar saja, ya?" pinta adikku Ziyah ketika aku sedang belajar malam.
"Buat apa?" tanyaku tanpa menoleh kepada Ziyah sebab aku sedang berfikir keras untuk mengerjakan tugasku dari sekolah.
"Mau ngerjain PR. Ziyah pinjem kalkulatornya. Ya kak?" Dan anak ini mulai memelas padaku.
"Nih, jangan lama-lama!" ucapku seraya memberikan ponselku kepada Ziyah. Aku tak kuasa melihat bola matanya yang berbinar memohon.
Konsentrasiku dalam belajar seketika pecah berantakan. Lagi-lagi aku teringat pada makhluk yang bernama Rangga itu. Aku fikir dia pemuda yang lugu, ternyata sama saja. Menyebalkan. Aku malu ketika kejadian tadi siang.
"Ciye. Kakak punya pacar!" Ziyah berlari ke kamarku setelah ia membawa pergi handphoneku keluar.
"Pacar apaan?" tanyaku heran. Aku takut ada sesuatu yang tidak beres terjadi di rumah ini.
"Tuh, di hape kakak ada foto laki-laki. Siapa kak namanya?" tanya Ziyah mulai menggodaku yang diiringi senyum girang.
"Apaan, sih! Mana hape kakak?" tanyaku yang mulai kesal. Sementara hatiku masih belum tenang sebab aku masih mengingat kak Rangga dengan kejadian tadi siang itu.
"Tuh ada di Mamah!" tunjuk Ziyah. Akupun segera menuju ruangan televisi dimana Mamahku berada.
"Siapa ini, kak?" Mamah memberikan ponselku padaku. Di galeriku ternyata masih ada foto kak Cokelat bersama seorang anak lelaki.
Aku berteriak dalam hati. Rahasiaku terbongkar oleh mamah. Tadi siang, Lulu menstalker instagram kak cokelat, salah satu fotonya ia screen dan di sharekan ke galeriku. Dan aku lupa belum menghapusnya lagi. Sungguh, itu adalah hal konyol yang aku sesali mengapa aku melakukannya.
"Itu Mah, em. Kakak kelas kakak. Namanya Rangga" akhirnya aku angkat bicara dan mengatakan dengan sejujurnya. Aku takut Mamah akan marah padaku atas ulahku.
"Orangnya hitam manis. Tapi kayaknya agak bandel, ya dia?" Aku tak percaya dengan apa yang Mamah katakan. Aku hanya tertawa. Sebenarnya aku ingin berkata, "Bukan bandel, Mah. Dia tuh orangnya nyebelin!" Tapi aku telan kembali kalimat itu.
"Emang dia siapanya kakak?" Ah, skakmat. Aku harus bagaimana? Aku tak diajarkan untuk berbohong. Tapi jika aku katakan yang sesungguhnya, aku akan sangat malu terhadap Mamah. Tapi kurasa aku tak punya pilihan lain selain dari membongkar segalanya. Meluapkan apa yang aku rasakan dan apa yang terjadi dengan pemuda hitam manis itu.
"Gitu, Mah ceritanya. Kok bisa ya kakak kayak gini?" ujarku setelah aku menceritakan semuanya kepada Mamah sejak aku memakinya, saling curi-curi pandang di kantin, dan bahkan kejadian tadi siang.
"Memang wajar, Kak. Kakak sekarang sudah besar. Sudah saatnya kakak mengenal cinta. Wajar, kak. Ini masa-masa kakak. Mamah juga gitu waktu Aliyah dulu. Asal jangan kelewatan saja." Aku senang karena Mamah tidak memarahiku tetapi justru Mamah memaklumiku.
"Mamah pernah suka sama lelaki waktu mamah Aliyah?" Aku bersama mamahpun larut dalam ruang nostalgia. Mamah menceritakan banyak hal tentang masa remajanya yang begitu indah. Akupun harus seperti Mamah yang tangguh dan tak banyak mengeluh serta acuh tak acuh dalam urusan cinta.
Tapi menurutku, inilah yang membuat masa remaja indah di sekolah. Dan kini aku benar-benar merasakannya.
Aku sangat percaya, Tuhan itu Maha Romantis. Sifat Maha Pencinta-Nya serasa tumbuh di dalam jiwaku. Aku tak tau kemana angin akan membawa cerita ini. Tapi, aku benar-benar bahagia dengan apa yang Tuhan beri padaku.
Hari berganti, kegiatan belajar mengajar telah usai, dan aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku singgah terlebih dahulu di kostnya Lulu untuk menonton film bersama. Ini sudah menjadi kebiasaan kami ketika pulang sekolah.
"Shan, aku tuh masih belum percya kalau kak Rangga itu suka sama Anis" ucap Lulu yang tiba-tiba membahas kak Rangga ketika film yang kami tonton telah berakhir.
"Kenapa gitu?" tanyaku yang begitu antusias membahas hal ini.
"Soalnya, aku lihat komentar-komentar teman-teman kak Rangga di Facebook yang menyuruh kak Rangga untuk meresmikan hubungan mereka. Berarti itu tandanya kalau kak Rangga belum nembak si Anis itu. Setau aku ya, Shan. Kalau laki-laki gak nembak-nembak perempuan yang sedang dekat dengannya atau malah memilih untuk menjalin Hubungan Tanpa Status gitu, berarti si laki-lakinya ini emang gak suka sama perempuannya. Coba deh Shana fikir! Kalau benar kak Rangga suka sama Anis, mungkin sudah sejak dulu kak Rangga nembak Anis." Celoteh Lulu dengan pembawaan nada bicara yang serius.
"Ah, masa sih, Lu! HTS itu kayak pacaran 'kan? Emang nembak penting banget, ya?" tanyaku dengan polosnya karena aku betul-betul belum faham dengan dunia percintaan.
"Iyalah, Shan. HTS itu hubungan yang digantung tanpa kepastian. Aku rasa, Anisnya deh yang suka sama kak Rangga. Dan menurut aku, kak Rangga itu lebih cocok sama kamu daripada sama Anis" sahut Lulu seraya memainkan laptopnya.
"Percuma kamu cocok-cocokin aku sama kak Rangga, Lu. Buktinya sampai sekarang, aku sama kak Rangga malah belum kenalan. Belum apa-apa. Semua ini masih menjadi misteri, Lu" ucapku putus asa untuk meraih kak Rangga.
"Kalau gitu, gak ada salahnya kalau kamu yang mulai duluan kenalan sama kak Rangga, Shan. Coba saja" akhirnya Lulu memberi saran padaku seperti sarannya Risma beberapa waktu lalu.
Meskipun mereka yang sudah mengetahui perasaanku terhadap kak Rangga menyuruhku untuk memulai pendekatan terlebih dahulu dengan kak Rangga, aku masih belum yakin aku bisa melakukannya.
Aku terlalu takut dalam hal ini. Aku tidak ingin aku yang terlebih dahulu memulai pendekatan, aku takut Papah atau Mamah marah padaku, lebih jauhnya, aku takut Tuhan marah padaku. Karena menurut pandanganku, jika perempuan yang memulai pendekatan lebih dahulu kepada laki-laki, maka sudah hilanglah harga dirinya sebagai perempuan.
Dapat aku bayangkan, jika aku melakukannya, mungkin aku akan menyesali perbuatanku seumur hidup karena menahan malu. Beruntung jika kak Rangga meresponku balik, jika kenyataannya justru Ia menghindariku malah risih terhadapku, aku mungkin akan merasa menjadi perempuan paling hina.
Sekarang aku sadar, bukan pendekatannya yang kumau. Tetapi kepastiannya. Aku hanya ingin tau apa alasan dia yang selalu memandangiku dalam setiap kesempatan? Apa juga alasan dia memberiku isyarat ketika dikantin itu? Aku takut aku terjebak dalam perangkap geer.
Pernah suatu hari, aku bersilangan jalan dengannya. Saat itu aku memandangnya seraya tersenyum, tetapi kak Rangga tidak melihatku. Ia justru menunduk. Tetapi setelah kami saling membelakangi, aku menoleh kembali kebelakang untuk melihat kak Rangga kembali.
Dan yang kulihat, kak Rangga tengah ditahan oleh teman-temannya. Ia seperti ingin mengejar seseorang dan ia menghadap kearahku. Mataku dengan mata kak Rangga saling bertemu. Saat itu aku hanya tersenyum kepadanya dan kak Rangga pula tersenyum ditengah badannya yang sedang ditahan oleh teman-temannya yang berteriak heboh itu.
Seketika terfikir dalam benakku apakah kak Rangga juga mencintaiku? Dan bodohnya aku berfikir kak Rangga juga mencintaiku namun gengsi yang membuat dia membisu seperti ini.