Chereads / Tuan Cokelat / Chapter 17 - Kisah Cinta Yang Gila

Chapter 17 - Kisah Cinta Yang Gila

Rangga Rafiqi.

Kini, aku tau nama lengkapnya. Bahkan aku hafal plat nomor sepeda motornya, aku kenal jaket yang selau ia kenakan, bahkan aku tau tempat tinggalnya. Ia tinggal di kampung sebelahku. Sewaktu aku kecil, Papahku kerap kali mengajakku untuk mengunjungi rumah temannya di daerah itu. Tapi aku tidak ingat apakah sebelumnya aku pernah bertemu pemuda itu atau tidak. Karena hampir semua orang di daerah itu Papahku mengetahuinya.

Bukan hanya itu saja yang aku tau. Aku tau keluarganya meskipun hanya sebagian. Berita demi berita seolah berdatangan di telingaku. Aku sebenarnya tidak terlalu penasaran terhadap kehidupannya. Tapi semesta sepertinya sengaja mengantarkan informasi-informasi itu padaku dari mulut orang-orang yang tidak aku sangka sebelumnya.

Setelah aku tau Kak Cokelat memiliki pacar, entah mengapa jiwaku seolah diselimuti rasa benci yang berkobar terhadap dirinya. Aku tau ia tak salah. Aku yang salah, mengapa aku harus jatuh hati pada seseorang yang sudah menjadi milik orang lain.

Sebisa mungkin aku lenyapkan saja perasaan ini. Jika berpapasan di sekolah, kini aku menghindar. Jika tak sengaja beradu pandang, cepat-cepat kualihkan pandangan. Sebisa mungkin, aku tak ingin lagi berjumpa dengannya.

Tapi Tuhan berkehendak lain dengan apa yang aku hendaki. Tuhan semakin kerap mempertemukan aku dengan Tuan Cokelat itu. Bahkan aku lebih di dekatkan dengannya. Dimanapun aku berada, sepasang mata jelita itu selalu menemukan keberadaanku.

Untuk latihan Pramuka minggu ini, kakak kelas meliburkannya dalam rangka persiapan untuk menyambut pensi yang akan diadakan tiga hari yang akan datang.

Setelah Shalat Jumat, aku dan teman-teman sekelas kembali ke sekolah untuk mempersiapkan semua perlengkapan untuk pensi nanti.

Sebagian anak laki-laki yang lainnya melukis baligho. Sebagian teman-temanku dan Kak Irhas dari kelas 11 IPA 3 membuat recycle dari barang-barang bekas. Dan sebagian anak yang yang lainnya menyiapkan properti untuk lomba warta. Rifai dan yang lainnya pula mengatur nada-nada untuk paduan suara.

Sementara aku? Seperti biasanya, jika mereka sedang serius-seriusnya mengerjakan sesuatu, aku yang mengganggu mereka. Atau aku mengerjakan sesuatu yang tidak penting yang tidak ada kaitannya dengan yang mereka kerjakan.

"Hey, anak-anak! Lihat si Shana sedang apa? Bukannya membantu!" Teriak Dewi yang sedang menyiapkan properti untuk mata lomba warta atau berita.

Saat itu, aku sedang berfoto dengan properti televisi yang terbuat dari sterofom. Kemudian berganti gaya dengan memegang pot bunga kecil yang terdapat diatas meja guru. Aku bergaya layaknya seorang model yang sedang beraksi dalam pemotretannya.

"Eh, biarin saja. Gue ini!" Celotehku yang diikuti tawa kecil.

Bukannya membantu, aku, Risma dan Lulu keluar kelas dan menyaksikan anak-anak basket yang sedang berlatih di lapangan.  Meskipun perasaan benci terhadap kak Cokelat masih bersemayam dalam jiwaku, entah bisikan apa yang mencegahku untuk tidak membencinya.

Aku menyaksikan kak Cokelat berlatih basket bersama anak basket lainnya di tepi koridor VIP ini. Tanpa aku sadari, Anis pacarnya kak Cokelatpun menyaksikan anak-anak basket pula agak jauh dari sebelah kiriku. Tentu saja aku terkejut bercampur takut menyatu bersama rasa nyeri.

Kulihat dilapangan kak Cokelat fokus pada permainannya tanpa menoleh kearahku atau kearah Anis itu. Tidak biasanya dia membiarkanku tanpa menoleh sekali saja padaku. Ini benar-benar aneh.

Sebelum aku tau Anis, setiap kak Rangga bermain basket dilapangan sana selalu menyempatkan waktunya disela bermainnya untuk memandangku walau hanya beberapa detik. Tetapi kali ini lain.

Ah, sudahlah. Untuk apa aku berdebat dengan perasaanku sendiri. Aku tak punya hak untuk berbuat apa-apa.

Azan Asharpun dikumandangkan. Aku menghentikan aktivitasku dan segera menuju ke masjid sekolah untuk memenuhi seruan Azan. Setelah aku selesai Shalat bersama Risma dan Lulu, kami masih tertahan di rumah Allah ini untuk merapihkan kerudung kami.

Tanpa aba-aba, Kak Rangga bersama dua temannya memasuki masjid yang sama. Kuperhatikan dia sedang mempersiapkan diri untuk bersujud. Kupertajam kembali penglihatanku dan Kak Rangga bertindak sebagai Imam untuk menghadap Ilahi bersama-sama dengan temannya.

Allahu Akbar.

Suara takbir menggelegar memenuhi seluruh ruang hatiku. Hingga rasanya aliran darah dalam tubuhku mengalir deras. Jantungku berdebar kencang seperti seorang atlit yang sedang berlari sprint di lapangan. Bahkan lebih cepat dari itu.

Perasaan benci yang masih bergelantungan di dalam jiwaku, kini lenyap seketika. Rasa kagumku bertambah beberapa persen. Oh, tidak. Jangan mulai lagi!

"Shan, ini kesempatan buat bicara sama kak Rangga. Pura-pura saja menanyakan perihal pensi nanti bajunya gimana. Dia Osis 'kan? Ayo, Shan. Bicara Shan. Ini kesempatan!" Risma mendesakku untuk memulai pembicaraan dengan Kak Cokelat. Tapi aku masih ragu. Aku malu. Dan kini aku takut.

"Iya, iya. Nanti aku coba" tukasku menolak saran dari sahabat-sahabatku.

"Jangan nanti. Sekarang saja. Tuh lihat! Kak Rangganya mau keluar dari sini. Cepet, Shan!" Risma dan Lulu memegang tanganku erat. Mereka terus memaksaku.

Ketika Kak Rangga berada di ambang pintu Masjid hendak keluar tiba-tiba Risma dan Lulu memanggil kak Rangga.

"Kak. Tunggu! Ini Shana mau ngomong. Tunggu, Kak!" Risma dan Lulu heboh memanggil kak Rangga. Dan Iapun menoleh.

Risma dan Lulu membuat aku kesal. Aku ingin lari, tapi tanganku dicengkram erat oleh Risma. Sebelum kak Rangga melihatku, aku menyembunyikan wajahku sembari berusaha melepas tanganku dari pegangan erat Risma. Setelah terlepas aku langsung berlari menjauhi mereka dan pura-pura menghampiri Salwa yang sedang melipat mukenanya di sudut Masjid ini.

"Salwa, Senin nanti hari pertama pensi 'kan? Nah, pas hari Seninnya langsung pake baju kelas atau baju putih abu dulu?" Aku berpura-pura bertanya pada Salwa untuk menyembunyikan perasaan malu.

"Enggak tau. Padahal tadi ada Osis. Coba tanya saja sama Osis" jawab Salwa dengan memasang wajah datar.

"Oh, iya makasih, Salwa." Kulihat Kak Rangga dan teman-temannya sudah keluar dari Masjid ini. Akupun menghampiri Risma dan Lulu yang masih berdiri di tempatnya.

"Kalian tuh apa-apaan sih? Malu tau!" Gerutuku memasang wajah kesal.

"Yah, kamu mah Shana! Padahal Kak Rangganya sudah nengok ke arah sini, kamunya malah kabur. Haha" ujar Lulu di timpal oleh tawa. Kamipun tertawa mentertawakan betapa konyolnya aku dalam urusan nyali dan lelaki.

Setelah kami sembahyang, kamipun kembali ke kelas untuk melanjutkan aktivitas kami. Dan lagi-lagi aku bertemu dengan kak Cokelat. Ia berjalan di depanku. Dan aku seperti membuntutinya. Ia belok, akupun berbelok. Ia menaiki tangga, akupun menaiki tangga.

Entah apa yang harus aku rasakan disini. Apakah bahagia? Atau kesal? Ataukah aku harus benci lagi? Aku tak tau. Yang pasti semua perasaan itu membuat jantungku berdegup kencang dan mampu membuat aku grogi.

Saat aku tiba di depan kelasku, Risma dan Lulu sudah masuk kelas lebih dahulu dariku. Tapi aku tertahan oleh Wilda di ambang pintu kelas. Aku menggoda Wilda dengan kata-kata konyolku. Tak lama setelah itu Kak Rangga melintas kearahku.

"Kak, Kak!" Betapa bodohnya aku. Tanpa aku sadari, mulutku memanggil kak Cokelat. Ia sudah menoleh kepadaku. Lalu, apa yang akan aku katakan?

"Iya?" Jawab Kak Rangga sembari menghampiriku. Matanya seolah-olah menyerobot mataku.

"Mau tanya" ucapku yang tanggung memanggilnya.

"Iya?" Kini, aku berhadapan dengan tubuhnya. Ini membuat jantungku serasa akan copot dari tempatnya.

"Kan Senin mulai Pensi-" Belum saja aku selesai bicara, kata-kataku terpotong oleh seseorang yang memanggil kak Rangga dari lapangan sana. Kak Ranggapun berbicara sebentar dengan orang itu.

"Bentar, ya. Bentar, bentar." Pinta kak Cokelat padaku. Aku hanya mengangguk. Kemudian kak Cokelat berlari kedalam kelasku. Aku tidak tau apa yang Ia lakukan.

Sebelum Ia kembali, aku sibuk dengan fikiranku. Kenapa aku memanggilnya? Tingkah bodoh apa yang telah menjebakku dalam masalah ini?

Oke. Aku tepiskan saja semua pertanyaan itu. Kini fikiranku sibuk dengan merangkai kalimat. Kata apa yang akan aku pilih untuk pembicaraan ini? Sebuah ide muncul dalam difikiranku tentang kostum pensi.

Tak lama setelah itu, kak Rangga muncul dari balik pintu kelas 10 IPA 3 bersama sisa tawanya. Ia mendekatiku.

"Kenapa?" Mataku dengan matanya saling bertemu. Jarak antara aku dengannya sangat dekat. Tapi aku sedikit mundur agar aku tidak terlalu dekat dengannya. Tubuhku yang hanya sebahunya membuat aku menengadah untuk menancapkan pandanganku kedalam matanya.

"Gini, 'kan acara pensi dimulainya nanti Senin, ya? Nah, di pensi 'kan ada lomba paduan suara. Di kelas saya ketika paduan suara memakai baju kelas," kata-kataku rasanya seperti rancu. Semakin lama aku menatap matamya, mataku semakin panas. Ditambah dengan keseriusan wajahnya dalam memperhatikan kata-kataku membuat aku tak sanggup lagi untuk melihat matanya.

"Nah, yang ingin saya tanyakan, apakah langsung pake baju kelas atau pake baju putih-abu dul-" belum saja aku selesai bicara, kak Rangga sudah menghela kalimatku dengan polosnya.

"-Nah, itu tuh. Jangan tanya ke saya. Takut salah. Coba tanya saja ke si Lili atau si Irhas. Tuh, ada didalam!" sahut kak Rangga seraya menunjuk kedalam kelasku.

"Oh, Kak Irhas ya?" tanyaku sebagai basa-basi.

"Iya. Tanya saja ke dalam" ucap kak Rangga dengan entengnya.

Debaran di jantungku berubah menjadi kesal. Pertanyaanku itu bukan pertanyaan sungguhan. Itu hanya modus belaka. Akupun masuk ke dalam kelasku. Tapi ku abaikan saja perintahnya untuk bertanya ke Kak Lili atau ke Kak Irhas.

Yang pasti aku benar-benar kesal.

Wina yang kini sudah mengetahui perasaanku terhadap kak Rangga, Lulu dan Risma tak percaya aku seberani itu untuk berbicara pada Kak Rangga.

"Lili. Ada yang nyari!" Teriak Kak Rangga dari ambang pintu kelasku.

"Siapa?" Kak Lili yang sedang melihat temanku melukis baligho bertanya dengan wajah seriusnya.

"Tuh! Yang nagih hutang. Lima puluh ribu lagi 'kan?" ujar Kak Rangga sembari menunjukku diikuti tawanya. Suara tawanya seperti suara tawa jahat yang puas mentertawakan musuhnya yang kalah. Otomatis semua orang yang berada di kelasku melihatku. Rupanya makhluk itu belum puas membuatku kesal. Dan kini, ia mempermalukanku.

"Ih, apaan sih!" Jawabku kesal sambil bergidik. Tapi bibirku masih sempat menerbitkan senyum. Aku tak mengerti. Saat mereka melihatku, aku hanya tertawa menahan panasnya pipiku.

"Ciye, Shana. Haha" Wina heboh dengan peristiwa ini.

"Awas lo, Wina! Jangan ngomong! Awas lo!" Aku mengancam Wina agar tidak membongkar semuanya. Aku takut Wina yang heboh itu membongkar segalanya.

Tidak semua orang mengetahui keadaanku terhadap kak Rangga. Hanya Lulu, Risma, Eva, Wina, dan Laila saja yang tau.

Semua perasaan telah tercicipi olehku hari ini. Dan semua itu Kak Rangga penyebabnya. Aku tak menyangka bahwa kisahku adalah kisah cinta yang gila.