"Ini, buat kamu." aku memberikan satu es krim cone kepada Mahes lalu duduk bersantai di depan mini market.
Ketika kami sedang menikmati es krim, aku tiba-tiba mengingat kejadian tadi di sekolah.
...
"Anak-anak, kita hidup di dunia ini hanya sementara saja. Seperti layaknya seorang musafir yang kehausan dalam perjalanan, namun dia tetap berusaha mencari cara agar menemukan air yang dapat diminum. Penuh perjuangan memang dalam mendapatkannya. Tapi jika kita bersabar dan terus mencari, nanti kita pasti akan mendapatkan apa yang kita mau itu. Begitu pula dengan hidup." ujar seorang guru BK yang kini sedang memberi petuah di kelas kami. "Ada banyak sekali rintangan yang harus kita lalui untuk bisa mencapai sebuah kesuksesan. Karena bukan dengan cara yang mudah kita bisa mendapatkan hal itu. Ada luka, tawa dan tangis yang tentunya mampu membuat kita semakin bersemangat atau justru menyerah dalam menggapainya. Dan yang paling terpenting itu satu. Kamu semua jangan mendengarkan cerca dan hinaan orang lain. Biarkan mereka menghina atau memerlakukan kamu dengan buruk. Jangan sekali-kali membalasnya dengan kejahatan. Tunjukkan kepada mereka bahwa suatu saat nanti kamu pasti akan sukses."
"Ck. Halah...." dalam suasana yang hening, tiba-tiba Dito bersuara. "Percuma aja kalau gak ada duit, Pak. Lagi pula jaman sekarang mana ada sesuatu yang gak pake duit. Pemikiran bapak itu udah kolot. Majulah dikit. Sekarang tuh kalau kita pengen sukses harus ada duit juga. Apalagi orang-orang zaman sekarang mandang fisik."
"Maksud kamu mandang fisik?" tanya bapak itu.
"Ya orang-orang yang sempurna lah. Orang-orang yang sempurna aja susah nyari duit. Gimana kalo orang yang cacat. Contohnya kaya si bisu itu. Iya gak?" serunya sambil tertawa.
Aku berdiri dari kursi kemudian menggebrak meja dengan keras.
Brakkk!!!
Suasana di kelas tiba-tiba hening dan aku, kala ini menjadi pusat perhatian mereka.
Entahlah.
Aku tidak peduli dengan semua itu karena apa? Aku benar-benar muak sekali dengan seluruh sikap arogan Dito yang begitu menyebalkan dan jahat.
"Kamu itu bener-bener engga punya hati, ya!" ujarku menghiraukan keberadaan guru yang saat ini sedang memperhatikanku. "Udahlah stop, Dito. Jangan pernah merasa diri kamu seperti raja di sini. Kamu seolah-olah ingin dispesialkan oleh semua orang di samping sikap kamu yang arogan dan selalu saja menjatuhkan orang lain. Apa kamu sama sekali tak malu dengan Mahes? Dia enggak bersalah dan seharusnya kamu itu mikir! Udahlah sadar. Jangan sekali-kali membandingkan seseorang karena fisik. Sebab apa? Mereka engga pernah sama sekali meminta untuk diciptakan seperti itu. Apa yang diciptakan Tuhan, itu semuanya sempurna. Engga ada yang kurang sama sekali. Tuhan aja engga membedakan seseorang dari fisik, lalu kenapa ciptaan-Nya malah ngelakuin hal itu?"
"Udah, Qis. Ayo duduk." Maira berusaha menenangkanku.
"Harusnya lo yang tahu diri!" Dito malah menyahutku sambil berdiri. "Lo yang terlalu ngambil hati semua ucapan gue tadi. Lagi pula semua orang biasa aja kok. Mereka engga marah-marah. Lu aja tuh yang baperan. Apa-apa dibawa hati. Apa-apa dibawa hati."
"Hei!" gertakku. "Mereka banyak yang ngomong ke kamu karena mereka takut sama kamu, Dito! Bukan berarti apa yang kamu katakan itu benar. Kamu terlalu arogan hingga membuat anak-anak merasa tak pantas untuk mengekspresikan pendapatnya sendiri. Semua itu mungkin berlaku pada anak-anak di sekolah ini, kecuali aku. Lagipula Mana mungkin aku bisa diam aja saat kamu ngerendahin seseorang karena fisik. Kamu engga hanya ngehina Mahes. Kamu sama aja ngehina Tuhan."
"Gue bercanda, kok." dia berusaha membela diri.
"Halah bercanda apa? Kamu itu selalu saja kayak gitu. Kamu selalu memperlakukan Mahes itu kayak babu. Apa menghina bisa dikatakan bercanda? Apa menghina berkali-kali itu bisa dikatakan bercanda? Hah?"
"Ck." Dito mendelik kesal.
"Sudah-sudah, duduk." guru BK itu melerai kami. "Jangan mengelak lagi, Dito. Apa yang tadi dikatakan oleh Balqis itu benar sekali. Bapak sengaja diam saja karena bapak ingin melihat anak-anak berekspresi dan mengeluarkan pendapatnya pada kamu. Bapak kira ada banyak orang yang bakal ngebela Mahes. Tapi ternyata bapak salah. Untung saja ada Balqis di sini. Bapak sangat salut dengan sikap kamu yang tidak pernah takut untuk mengeluarkan pendapatnya dan menantang Dito untuk beradu pendapat. Terima kasih, Balqis. Bapak kasih nilai tambahan buat kamu. Untuk semua anak-anak yang ada di sini kecuali Mahes, bapak kasih tambahan tugas karena kalian engga membela dia. Dan untuk kamu, Dito. Nanti istirahat bapak tunggu di ruang BK." serunya dengan tegas kemudian keluar dari kelas dengan raut yang tidak bersahabat.
"Gila. Kamu berani banget Qis. Kamu engga takut diincer sama Dito?" bisik Maira setelah semuanya mulai mereda.
"Apa? Takut?" jawabku sambil terkekeh. "Untuk membela kebenaran itu kita gak usah takut. Lagian apa kamu setuju dengan sikap Dito yang arogan seperti itu?"
"Yaa iya juga sih. Tapi kan..., anak-anak di sini juga semuanya banyak yang gak berani sama dia. Dito itu berbahaya, Qis. Kamu harus hati-hati sama dia. Ya aku ngomong ini karena ngasih peringatan aja sih sama kamu. Dia itu nggak boleh dilawan."
"Aku engga peduli." ujarku kemudian duduk di depan bangku Mahes.
Aku melihat dia memperhatikanku kemudian tersenyum kecil. Wajahnya seperti mengisyaratkan sebuah kesan yang penuh arti dan tak mampu aku terjemahkan secara penuh.
Mahesa ini memang pria yang tampan.
Bahkan tidak hanya aku, orang-orang di sini pun mengakui akan hal itu.
Kulitnya memang putih. Tubuhnya tinggi, juga ada tahi lalat di bawah dagu dan pelipis kanan yang memberi kesan manis ketika seseorang melihatnya.
Aku sama sekali tak pernah menilai seseorang dari kesempurnaan fisik karena apa? Aku sudah menganggap bahwa Mahesa ini, adalah anak yang sempurna.
Dia sudah mengajarkanku berbagai hal. Salah satunya, tentang bagaimana caranya berjuang dalam hidup dan bagaimana caranya bersabar ketika ada rintangan yang menghalangi kita untuk berusaha kuat saat menapaki indahnya lika-liku kehidupan.
"Aku sangat berterima kasih kepadamu karena sudah membelaku di depan semua orang." hatiku benar-benar terenyuh saat Mahes memberikan papan tulisnya yang berisikan tulisan itu.
Aku mengangguk. "Demi janji itu, aku akan terus menjaga kamu dan melindungi kamu dari siapapun orang yang berusaha untuk merendahkan kamu, Mahes. Jadi kamu jangan takut lagi atau merasa jatuh, ya. Jangan dengarkan apa yang tadi dikatakan oleh Dito. Jadikan semua itu sebagai tolak ukur kamu untuk tetap bertahan dan sukses di suatu saat nanti. Yakinlah bahwa Allah pasti akan selalu bersama dengan orang-orang yang sabar dan bertawakal."
Dia mengangguk mantap. Seperti ada secercah rasa aman dan terlindungi saat mendengar penjelasanku tadi.
Ya walau aku tahu dia memang anak yang berani, Tapi tetap saja aku tidak akan pernah membiarkan dia menjadi bulan-bulanan cemoohan orang lain.
Mahes.
Kamu telah mengubah hidupku.
Dengan mengenalmu, aku jadi semakin tahu tentang betapa pentingnya kita harus mengenal orang lain dan memberi perhatian lebih kepada mereka.
...