Chereads / Mahesa Arnaf / Chapter 16 - Mahes: Terpukau

Chapter 16 - Mahes: Terpukau

Atas kejadian pagi tadi di sekolah, jujur.

Aku benar-benar terpukau dan salut sekali terhadap sikap Balqis yang berani dan tak pernah takut untuk mengutarakan pendapatnya.

Baru kali ini aku menemukan wanita yang tangguh seperti dia.

Bahkan terkadang, dulu aku pernah berkhayal dan membuat komik asal-asalan di catatan kecil dengan alur cerita...

Di suatu waktu, datang seorang wanita yang kuat dan tak pernah takut untuk membela kebenaran. Di situ aku sangat berharap ada seseorang yang mampu mengerti perasaanku kemudian bisa menjadikanku sebagai seorang Mahes yang kuat dan tak pernah menyerah ketika menjalani kehidupan.

Karena jujur.

Dulu aku adalah anak yang sangat tak percaya diri terhadap keadaan yang aku miliki.

Aku sangat malu dan tidak mau speak up pada keadaan sekitar yang mana rata-ratanya..., mereka anak yang sempurna.

Bahkan hal terkonyol saat itu, aku sering kali menangis di pojokan kamar saat sudah selesai menonton pertunjukan anak-anak yang dengan pintarnya menunjukkan suara bagus mereka dengan nyanyian.

Mereka bernyanyi, dengan lepas dan riang gembira tanpa ada hal yang membuat mereka merasa terbebani untuk terlihat bagus di depan orang-orang.

Aku selalu berpikir, kapan keadilan bisa di dapatkan oleh orang-orang yang tidak sempurna seperti ku? Apakah ada seseorang yang mampu menerima keadaan orang orang sepertiku tanpa memandang fisik? Di mana aku bisa menemukannya?

Aku masih ingat dengan jelas sekali.

Dulu Zaid pernah bilang seperti ini kepadaku.

"Akan ada masanya kamu menemukan seseorang yang kamu harapkan seperti itu. Tapi yang perlu kamu tahu, semuanya itu memerlukan waktu. Jalani saja apa yang kamu hadapi saat ini dan jangan pernah merasa tak percaya diri dengan apa yang kamu miliki. Karena Allah pun menciptakan sesuatu dengan sebaik-baiknya. Kamu tidak berbeda seperti orang-orang kebanyakan. Kamu itu masih sama, Mahes. Kamu adalah orang yang mampu mengertikan suasana dan kondisi aku, saat kerap kali aku berpikir di mana kehadiran orang tuaku ketika aku sedang membutuhkan mereka."

Hidup itu penuh fatamorgana yang belum semuanya terkuak.

Terkadang apa yang kita inginkan, justru malah menjerumuskan kita pada kesakitan. Dan terkadang apa yang sama sekali tidak kita inginkan, justru malah akan membawa kita pada suatu hal yang membahagiakan.

Aku percaya pada kesabaran.

Lagipula hidup ini hanyalah perjalanan singgah dan sementara. Bukan kehidupan kekal, yang dengan harusnya kita menciptakan kesuksesan di dalamnya.

Sukses itu perlu.

Tapi harus diimbangi juga dengan ilmu agama yang kita miliki. Agar semuanya seimbang, yang kemudian kita bisa menjalani kehidupan di dalamnya dengan damai dan tentram.

"Aku pernah baca sebuah buku tentang motivasi kayak gitu." tiba-tiba Balqis mendatangiku kemudian tersenyum. "Kisahnya hampir sama seperti kamu. Dia tidak bisa bicara. Sejak kecil, hidupnya sudah dipenuhi dengan kesabaran yang penuh apalagi saat masa-masa sekolah seperti ini. Ada banyak hinaan dan cacian yang mereka lontarkan dengan pedas kepada dia dengan niat untuk menjatuhkan dan meremehkan. Aku sangat salut dengan sikap dia yang menganggap semuanya hanyalah angin lalu saja. Iya walau terkadang hinaan itu membuat dirinya merasa jatuh dan tak tahu bagaimana caranya untuk bangkit lagi, tapi setiap dia melihat keluar dan menghirup suasana, percikkan rasa percaya diri itu seperti mulai tumbuh dan dan mengakar lagi dalam dirinya. Dia memiliki prinsip harus kuat dan tak boleh menyerah. Dia juga orang yang sangat pintar dan mampu menyelesaikan suatu permasalahan tanpa solusi yang rumit. Hidupnya sederhana. Tak ingin dipandang baik oleh orang lain. Sebab apa?"

Aku menaikkan wajah memberi isyarat 'Apa?'

Balqis terkekeh. "Karena tidak ada orang yang memuji dia apalagi tentang fisik."

Aku benar-benar tak kuat menahan tawa tatkala Balqis mengatakan hal itu. Apa yang dikatakan dia memang ada benarnya juga bahkan sangat benar menurutku.

Selain Bu Anita dan Zaid, tidak ada orang yang memujiku dengan tulus. Lagi pula aku tidak tahu mereka melakukan hal itu kepadaku, memang karena benar-benar dari hati atau hanya untuk mengobati rasa sakitku agar tidak terlalu sesak.

"Kamu dengerinnya seksama banget, ya. Emangnya kamu suka dengerin cerita?" ujarnya lagi sambil memberiku satu bungkus roti yang tadi ia beli di kantin kepala.

Aku menganggukkan kepala sambil kemudian menerima tawaran dari Balqis.

Tanpa perlu aku katakan lagi, aku yakin kalian sudah tahu.

Dia wanita yang paling tidak mau ditolak pemberiannya oleh orang lain.

"Ya sudah. Kamu mau dengar cerita lagi?"

Aku tersenyum.

Dia mengalihkan pandangan ke langit-langit dengan tatapan yang penuh arti dan tidak mampu dijelaskan oleh orang-orang, salah satunya aku.

Keberadaan Balqis memang sudah berikan ilusi yang nyata bagi aku.

Dia hadir sebagai penawar, dan pelindung yang senantiasa membuatku merasa dihargai keberadaannya ketika berada di sini.

Sesekali aku melihat wanita itu sesaat.

Dia, adalah tentang mengapa aku bisa bertahan di sekolah ini dengan perasaan yang bahagia.

"Sebenarnya atas seluruh sikap yang kamu lihat saat ini ketika bertemu denganku, adalah suatu hal yang sangat asing jika diperhatikan oleh teman teman ataupun keluarga dekatku, Mahes." dia terkekeh. "Jujur. Sebelum bertemu dengan kamu, ak ini adalah wanita yang keras dan tak pernah mau mengerti perasaan orang lain. Aku keras kepala. Semua yang aku inginkan harus terjadi dan tidak boleh ada yang melanggarnya sedikitpun. Jahat memang. Tapi sikapku seperti itu karena dari kecil aku selalu dimanja dan dituruti semua keinginannya oleh orang tua. Bahkan ibuku sendiri sangat takut jika marahku kambuh. Aku bisa menghancurkan apa saja yang ada di sekitar jika apa yang aku inginkan itu tidak terpenuhi, ataupun terpenuhi tapi hasilnya tidak sempurna. Aku benar-benar marah dan kesal sampai waktu itu pernah aku kabur dari rumah."

Ketika Balqis mulai menceritakan tentang dirinya, aku benar-benar kaget bahkan tak percaya dia bisa berlaku seperti itu.

Dia bisa berubah dengan sebegitu mudahnya hanya karena kehadiranku.

Tapi..., apa mungkin?

"Benar. Aku pernah kabur dari rumah. Tapi selang beberapa jam kemudian, teman ayahku menemukan aku kemudian membawaku ke rumah. Aku memang anak yang keras, Mahes. Aku, adalah anak yang pendapatnya tidak mau ditentang oleh siapapun. Entah benar atau salah. Semua keegoisan itu telah aku rasa sebelum mengenal kamu. Cukup lama. Hingga belasan tahun lamanya." Sesekali aku melihat bagus melirik ke arahku sebentar. "Tapi alhamdulillah. Allah memberiku hidayah dan mengirimkan kamu ke sini, ke dalam kehidupanku. Hatiku benar-benar luluh dan seketika merasa bersalah atas apa yang telah aku lakukan terhadap semua orang yang mungkin pernah aku sakiti saat pertama kali berjumpa dengan kamu kala itu. Bahkan..., di malam harinya aku menangis karena benar-benar merasa sudah menjadi seorang anak dan manusia yang pendosa. Aku menyadari semuanya setelah kehadiran kamu, Mahes. Entah secara sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, kamu telah mengubah kehidupanku seratus persen."

...