Chereads / Melepaskanmu / Chapter 4 - Chapter 4

Chapter 4 - Chapter 4

Seperti yang aku duga sebelumnya, Willy terdengar kecewa saat tahu kalau aku tidak bisa menemaninya pergi ke acara ulang tahun pernikahan kerabatnya minggu ini. Melalui sambungan telepon aku bilang padanya kalau atasanku tidak memberikan ijin dan seperti yang aku pikirkan, Willy kembali berkata kalau sebaiknya aku segera berhenti bekerja tanpa harus menunggu akhir bulan. Aku hanya bisa berdalih kalau aku tidak boleh keluar tiba-tiba begitu saja.

"Baiklah. Aku mengerti." terdengar helaan napas dari ujung telepon, Willy menyenderkan kepalanya dikursi sambil matanya menatap layar komputer yang menampilkan coding dari program yang sedang dibuatnya.

"Iya, aku akan makan. Kamu juga jangan lupa makan. Pulang nanti hati-hati, oke. Maaf aku tidak bisa menjemputmu."

Aku mematikan telepon dari Willy, pria itu tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Jujur saja aku juga sedikit kecewa karena tidak bisa menemani Willy, tapi apa boleh buat, pekerjaanku bukanlah jenis pekerjaan dimana kamu bisa ijin sesuka hati dan juga memiliki jam yang panjang.

***

"Wil, minggu ini kamu akan datang'kan?" tanya mama saat pria itu baru sampai dirumah.

"Entah. Aku malas."

Mama mendekati Willy yang sedang merebahkan tubuhnya disofa.

"Kenapa? Sherly tidak bisa menemanimu lagi?" Mama memberikan penekanan pada kata 'lagi'. Willy melirik mamanya.

"Hanya kali ini, ma. Kemarin-kemarin Sherly selalu bisa datang kok."

"Willy, dengarkan mama, Sherly itu tidak pantas untukmu. Dia tidak pantas masuk keluarga kita. Keluarga kita yang lain sering membicarakanmu yang memilih calon istri dari keluarga biasa sepertinya. Mama harap kamu bisa pikirkan lagi keputusan untuk menikahi Sherly."

Willy memejamkan matanya. Rasa kesal memenuhi hatinya tapi dia hanya bisa mengepalkan tangannya dan berusaha menahannya.

"Ma, kita pernah bicarakan ini. Aku mohon, ini hidupku, aku yang memutuskan dengan siapa aku akan menikah dan aku sudah memilih Sherly. Jadi berhenti berkata omong kosong seperti ini lagi. Aku lelah." Willy bangkit berdiri dan pergi ke kamarnya meninggalkan mama yang hanya bisa menghela napas. Mau dibujuk seperti apapun, tidak berhasil.

***

Aku sedang mengelap jendela resto sambil melamun. Semalaman aku memikirkan Willy yang begitu kecewa karena aku tidak bisa menemaninya. Aku tahu alasan kenapa Willy selalu ingin aku datang bersamanya ke setiap acara keluarganya, pria itu ingin mengenalkan aku kepada seluruh anggota keluarganya sebelum aku benar-benar masuk kedalam keluarganya, tapi sebenarnya aku selalu merasa tidak nyaman berada ditengah-tengah keluarganya.

Setiap anggota keluarganya yang bertemu denganku dan tahu siapa aku yang datang dari kalangan orang biasa, mereka akan menatapku dengan tatapan meremehkan. Aku selalu merasa sedang ditelanjangi dihadapan mereka semua. Ah, sebenarnya tidak semua. Beberapa orang dari keluarganya sangat welcome dan baik seperti tante Kumala dan om Doni yang akan mengadakan pesta minggu ini. Tante Kumala adalah adik dari papa Willy, dan ia adalah wanita yang sangat baik, meskipun diusia pernikahan mereka yang akan menginjak 25 tahun tante Kumala masih belum diberi momongan, namun mereka mengadopsi seorang anak dari panti asuhan yang sekarang sudah beranjak remaja.

"Kalau kerja yang bener, Non," tegur Ranti yang membawa nampan kosong kearah dapur.

Aku tersentak mendengar tegurannya lalu cepat-cepat membersihkan jendela sampai bersih. Sementara dari belakang aku bisa merasakan pandangan menusuk dari karyawan yang lain.

***

Chandra sedang menikmati segelas kopi sambil membaca buku disudut resto yang tidak terlalu ramai. Restoran ini terletak cukup strategis ditengah kawasan perkantoran dan berhadapan langsung dengan rumah sakit tempatnya bekerja. Meskipun sibuk, biasanya Chandra selalu menyempatkan diri berkunjung kesini hanya untuk minum kopi. Dia melakukannya disela-sela jam istirahat dan dia akan kembali ke rumah sakit satu jam kemudian. Chandra suka mengamati suasana resto dan harum resto yang dipenuhi oleh wangi makanan, tidak seperti rumah sakit yang dipenuhi oleh bau obat, alkohol atau bahkan darah.

Dia memperhatikan seorang pegawai wanita yang sedang berjongkok didepan jendela sambil melamun. Kelihatan sekali kalau wanita itu tidak fokus pada pekerjaan dihadapannya. Pandangannya menerawang jauh sampai rekannya yang lain kemudian terdengar menegurnya.

Wanita itu dengan cekatan menyelesaikan pekerjaannya mengelap jendela kemudian bangun untuk lanjut mengepel lantai. Dan kini wanita itu berdiri didekatnya sambil mengepel lantai yang terlihat kotor karena bercak kotoran dari sepatu-sepatu pengunjung.

Chandra melanjutkan membaca bukunya sambil tangannya menyesap kopi dihadapannya saat tangannya yang sedang memegang gelas kopi tersenggol tubuh pegawai wanita yang sedang mengepel itu dan membuat kopinya tumpah mengenai buku dan kemejanya.

Aku memekik saat kulihat kemeja dan buku pelanggan yang sedang duduk di kursi disudut resto terkena tumpahan kopi karena tidak sengaja tersenggol tubuhku yang sedang mengepel lantai.

"A... saya minta maaf. Sungguh minta maaf, saya tidak sengaja melakukannya."

Wajah Chandra berubah kelam, sepertinya hari ini dia sedang sial. Padahal dia berniat melepas stres dengan minum kopi direstoran ini, tapi dia malah tertimpa kemalangan.

"Sudahlah. Tidak apa-apa."

Melihat insiden yang terjadi dipojok antara Sherly dan pelanggan, manajer resto yang kebetulan sedang berada di kasir langsung bergegas ketempat mereka dan meminta Sherly untuk menjelaskan.

"Apa yang terjadi?"

Aku segera menjelaskan kejadian yang sebenarnya sampai kemudian manajer resto ikut minta maaf pada pelanggan dihadapanku ini. Seorang pria berkacamata yang selalu memesan menu yang sama dan selalu duduk disudut resto. Aku mengenalnya karena pria itu selalu datang ke resto hampir setiap hari dan dijam yang sama.

"Sekali lagi saya minta maaf. Kalau boleh saya akan melaundry kemeja anda dan mengganti buku anda," kataku pada pria ini yang dibalas dengan gelengan.

"Sudahlah. Anggap saja hari ini saya sedang sial." Chandra kemudian pergi dari resto tanpa banyak bicara. Dia harus segera mengganti kemejanya dengan kemerja bersih. Untung saja dia menyimpan beberapa kemeja di ruangannya.

Selepas pria itu pergi, Pak Trisno melirik kearahku sambil memberikan instruksi agar aku mengikutinya. Aku bisa membayangkan Pak Trisno akan marah besar padaku hari ini.