Chereads / Melepaskanmu / Chapter 6 - Chapter 6

Chapter 6 - Chapter 6

Aku berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan kontrakanku yang berada di daerah padat penduduk menuju halte bus. Sambil sesekali melihat jam tangan dan mengetuk-ngetukkan jari tidak sabar karena bus yang ditunggu tidak muncul juga.

"Lama banget busnya," aku menggigit bibir. "Bisa diocehin pak Trisno nih kalau telat."

Tak lama bus muncul dengan membawa penumpang begitu banyak dan bus itu terlihat sesak. Tapi, aku tidak terlalu mempedulikannya, aku segera naik ke bus dan berdiri karena tidak kebagian tempat duduk.

Tak lama bus aku berhenti dihalte dekat resto dan aku segera turun lalu mulai berlari. Resto masih akan buka 2 jam lagi, tapi kami harus masuk kerja lebih awal untuk melakukan berbagai persiapan. Pak Trisno sedang memberikan briefing pagi saat aku membuka pintu resto dan berdiri diantara yang lain yang sudah siap dengan seragam mereka. Pak Trisno berhenti sejenak saat melihatku, lalu beliau hanya geleng-geleng kepala. Rekanku yang lain banyak yang melirikku dan mendengus kesal.

"Karena sudah mau nikah dengan orang kaya, jadi banyak tingkah," bisik Ratna pada Ayu yang berdiri disebelahnya. Ayu hanya mengangguk saja. Dia tidak memberikan balasan pada Ratna karena dia merasa tidak enak membicarakan orang lain, apalagi orang tersebut ada didekatnya.

"Ah, bersabarlah sebentar lagi, Sher," bisikku dalam hati berusaha menyemangati diri sendiri.

***

"Chan, mau makan siang ke resto depan?" tanya Raka yang baru saja keluar dari toilet.

Chandra berpikir sejenak, terakhir kali kesana dia mengalami sedikit kejadian kurang mengenakkan, tapi makan siang disini dia bosan, yah, tidak ada pilihan lain. Makan siang ditempat lain juga jauh dari rumah sakit.

"Boleh."

...

Dan disinilah dia sekarang bersama Raka untuk makan siang. Seperti biasa dia memesan segelas kopi dan satu set sandwich isi telur untuk makan siang.

"Lo ga ada bosen-bosennya minum kopi."

Chandra mengedikkan bahunya. "Buat ngilangin kantuk."

Matanya mengamati sekeliling resto, tidak terlihat pelayan wanita ceroboh yang waktu itu menumpahkan kopi padanya.

"Sher, lo bisa gantiin gue cuci piring? Gue mau makan siang." tanya Ratna dari tangga.

Aku yang sedang mengelap meja di lantai atas bergegas turun dan menuju dapur kotor.

"Oh, itu dia." batin Chandra.

Aku segera membantu menggantikan Ratna cuci piring, meski sejak tadi aku merasa sedikit pusing namun aku masih bisa menahannya.

"Sher, abis ini lo bisa bersihin toilet?" tanya Toni yang sedang mengepel lantai bawah. Aku hanya mengangguk. Bisa kurasakan Toni diam-diam melempar senyum jahatnya pada pegawai yang lain. Aku menyadari kalau mereka sedang berusaha mengerjaiku, namun aku tidak dapat membantah. Aku masih membutuhkan pekerjaan ini, setidaknya sampai aku menikah dengan Willy. Jika harus berhenti bekerja, aku benar-benar akan merasa tidak enak pada Willy.

Piring-piring dihadapanku mulai terlihat samar-samar, dan genggaman tanganku terasa semakin melemah, dan prang, piring yang sedang ku cuci terlepas dan jatuh kelantai hingga hancur berkeping-keping. Aku masih dapat mendengar suara piring pecah dan suara teriakan didapur tapi aku tidak kuat untuk membuka mata hingga akhirnya kegelapan menyelimutiku.

***

"Dia sudah sadar, Pak." terdengar helaan napas lega dari Ayu saat melihat Sherly yang perlahan membuka matanya.

Pak Trisno segera menghampiri Sherly yang direbahkan diruang pegawai. Wanita itu terlihat pucat dan agak linglung.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Pak Trisno dengan wajah cemas. Tapi dia terlihat begitu lega mengetahui Sherly akhirnya sadar dari pingsannya, kalau masih belum sadar juga sampai malam nanti, mungkin dia harus membawanya ke rumah sakit.

"Saya kenapa, pak?"

Ayu dan Pak Trisno saling berpandangan.

"Kamu tadi pingsan saat sedang cuci piring. Sudah sejam kamu pingsan," jawab Pak Trisno.

"Pingsan?" aku mengerutkan kening.

Ayu mengangguk mengiyakan. "Untung saja tadi ada dokter yang kebetulan sedang makan siang disini. Jadi dokter itu bisa segera menolongmu. Hah, bikin cemas saja."

"Dokter siapa, Yu?"

"Namanya dokter Chandra. Oh, ya tadi dia menitipkan kartu namanya dan memintamu untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut di rumah sakit tempatnya bekerja." Ayu menyodorkan kartu nama pemberian Chandra pada Sherly.

Aku mengerutkan kening. "Pemeriksaan lebih lanjut? Sepertinya tidak perlu. Aku baik-baik saja."

"Kamu harus pergi." Pak Trisno melipat tangannya dengan wajah tegas.

"Tapi, pak..."

"Kamu tidak boleh datang bekerja kalau belum pergi melakukan pemeriksaan."

"Ugh...," aku mengernyit. "Baik pak."

***

Dan disinilah aku, berada dihadapan seorang pria berkacamata yang bertengger dihidungnya yang mancung serta jubah putihnya dengan tanda pengenal bertuliskan Chandra Satriajaya. Ternyata dokter Chandra yang di sebut-sebut oleh Ayu tidak lain dan tidak bukan adalah pria yang waktu itu ketumpahan kopi olehku. Rasanya aku malu sekali dan ingin menghilang saja dari muka bumi ini sekarang juga.

Kukira dokter ini akan ketus padaku jika mengingat insiden waktu itu, namun ternyata diluar dugaan, dia menjelaskan kondisiku saat aku pingsan tadi dengan suara lembut namun serius.

"Anda harus melakukan serangkaian tes agar saya bisa menentukan diagnosa atas penyakit yang anda derita."

"Apakah penyakit saya serius, dok? Belakangan ini saya memang sering sekali merasa kelelahan. Tapi selain itu saya merasa baik-baik saja."

"Saya tidak bisa mengetahui dengan pasti tanpa ada hasil pemeriksaan, besok datanglah kembali kesini dan bawa ini langsung ke laboratorium untuk menjalankan beberapa tes kesehatan."

"Baik dok," aku hanya bisa mengangguk lalu membawa surat pengantar dari dokter Chandra untuk kubawa ke pemeriksaan kesehatan besok.

Setelah mengucapkan terima kasih pada dokter Chandra yang hanya mengganguk, aku segera keluar dari ruangan dan menemukan Willy yang sedang berdiri didepan meja administrasi. Pria itu tidak menyadari kehadiranku sampai aku memanggilnya.

"Oh, itu dia. Makasih ya bu," Willy tersenyum pada petugas administrasi dan menghampiri Sherly yang terlihat pucat.

"Apa kamu baik-baik saja? Dimana yang sakit? Tadi apa kata dokter?"

Aku tertawa mendengar semua pertanyaan dari Willy yang tampak cemas sekali.

"Aku baik-baik saja, sayang."

"Benarkah? Kamu tidak sedang berbohong'kan?"

Aku mencubitnya gemas. "Sembarangan aja. Ngapain aku bohong. Yuk kita makan malam. Aku lapar sekali."

Willy meringis lalu tersenyum sambil menggandengku keluar dari lobby rumah sakit.

"Yuk."

Chandra keluar dari ruangannya untuk pergi memeriksa pasien lain saat dia melihat wanita yang tadi berkonsultasi dengannya kini bergandengan tangan dengan seseorang yang dia kenal. Willy.