Siang itu, aku sedang membersihkan meja bekas pengunjung restoran penuh dengan bungkus makanan. Aku mengelap mejanya dan membuang sampahnya ke tempat sampah alumunium yang tersedia di sudut restoran. Manager resto memanggilku, memintaku untuk menjaga mesin kasir sementara temanku makan siang. Kami makan siang secara bergantian karena biasanya dijam makan sianglah restoran ini penuh dengan pengunjung. Aku berniat untuk membuka pintu menuju konter kasir, namun pandangan mataku serasa berbayang. Knop pintu didepan mataku tiba-tiba ada dua.
Aku mengucak mataku, bayangan itu hilang. Ini aneh. Aku tidak merasa pusing sama sekali, tapi kenapa pandangan mataku jadi kabur begini. Apa mungkin mataku mulai rabun? Sepulang kerja sore itu, aku menyempatkan diri mengunjungi klinik untuk memeriksa mataku. Kalau memang mulai rabun, aku rasa aku harus memakai kacamata. Tapi, dokter yang memeriksa mataku berkata kalau mataku baik-baik saja dan belum perlu memakai kacamata. Willy menyusulku ke klinik setelah dia selesai bekerja. Wajahnya terlihat cemas, namun aku mengatakan kalau aku baik-baik saja. Dia sedikit jadi lebih tenang.
"Sher, sepertinya kamu kelelahan bekerja. Apa kamu sudah mempertimbangkan permintaanku yang kemarin?" tanya Willy saat kami sudah berada dimobil.
"Iya, aku sudah memikirkannya dan akhir bulan ini aku akan berhenti bekerja."
"Benarkah?" Willy menoleh sekilas kearahku sambil tersenyum lebar. Terlihat gembira.
"Tentu saja benar. Aku tidak berbohong."
"Ah, syukurlah. Aku senang sekali mendengarnya."
Aku tersenyum mendengar ucapan Willy.
"Oh ya ngomong-ngomong minggu ini ada pesta perayaan ulang tahun pernikahan tante Kumala dan om Doni yang ke 25. Aku sudah dapat undangannya jadi pastikan kamu bisa ijin, ya."
"Oke bos."
***
'Bisik-bisik sumbang dari para tamu undangan yang hadir mulai memenuhi aula gereja yang tadinya hening. Mereka semua berbisik kasihan pada pengantin pria yang berdiri sendirian didepan sambil memegang buket kecil yang tadinya akan dia berikan pada pengantin wanitanya yang dia tunggu sejak tadi. Tapi, mau ditunggu seperti apapun, pengantin wanitanya tidak akan pernah datang, seorang bridesmaid mendatanginya dengan tergopoh-gopoh sambil membawa secarik surat berisi tulisan tangan. Ada bercak-bercak air seperti tetesan air mata pada kertas tersebut.
'Aku tidak bisa menikah denganmu. Maafkan aku.'
Hanya sebaris kalimat, namun itu meluluh lantakkan semua kebahagiaan yang sudah dia impikan selama beberapa bulan ini. Pengantin wanitanya telah pergi dengan menggoreskan luka dihatinya yang mungkin tidak akan pernah sembuh. Sang pria hanya bisa menahan rasa sedihnya saat itu dan meminta maaf pada semua tamu, dia hanya bisa mengatakan kalau pernikahannya telah dibatalkan.'
Chandra terbangun dari tidurnya dengan mata sembab. Walau sudah 2 tahun berlalu sejak hari naas itu, tapi mimpi buruk itu tidak pernah berhenti menghantuinya. Hari dimana dirinya ditinggalkan ditengah pernikahan, hari dimana pengantin wanitanya lebih memilih pria lain untuk menjadi pendamping hidupnya ketimbang dirinya.
Chandra mengambil air minum mineral yang tersedia di atas nakas dan meminumnya dengan perlahan. Rasa segar memenuhi tenggorokannya yang kering. Sambil merenung tentang mimpinya barusan, Chandra membuka pesan whatsapp yang menampilkan pesan dari Tania, sepupunya.
'Kak, jumat ini gue balik indo. Jemput ya.' begitu to the point dan tidak bisa dibantah.
'Ga janji.' balas Chandra. Dia lalu memutuskan untuk keluar dari ruangannya dan pergi berkeliling untuk memeriksa pasien.
***
"Pak, saya mau ijin pulang lebih cepat hari minggu ini."
Pak Trisno, manager resto menatapku dari balik komputernya. "Mau ijin kemana?"
"Ah, saya ada undangan acara keluarga, Pak."
"Seingat saya, minggu lalu juga kamu sudah ijin untuk acara keluarga. Apa saya salah?"
Aku meringis. "Betul, pak."
"Lalu minggu ini kamu juga mau ijin lagi? Saya tahu kamu akan segera menikah dengan orang kaya, tapi kamu itu masih karyawan disini, saya harap kamu bisa bersikap profesional."
Aku hanya bisa menunduk mendengar ucapan Pak Trisno yang tidak sepenuhnya salah. Aku merasa tidak enak hati dan malu dalam waktu yang bersamaan karena Pak Trisno yang terkenal sangat baik sampai bicara seperti itu padaku karena aku sudah terlalu sering ijin pulang lebih cepat dari karyawan yang lain.
Aku-pun menyadari kalau aku mendapat sedikit gunjingan dari rekan-rekan yang lain, bahkan tanpa sengaja aku pernah mendengar mereka membicarakan aku dibelakang. Mereka heran kenapa aku yang akan menikah dengan orang kaya malah masih bekerja di restoran seperti ini dan yang paling parah mereka mengatakan kalau aku menggunakan susuk karena berhasil menggaet pria seperti Willy.
Aku tahu mereka merasa iri denganku. Ah, andai mereka tahu kalau aku sendiri juga bingung kenapa pria sebaik dan sesempurna Willy jatuh cinta padaku.